Senin, 31 Maret 2014

Tahi Lalat



TAHI LALAT

20 tahun yang lalu aku dilahirkan dari rahim Emakku. Kata Emak aku lahir di bidan Yayuk, yang rumahnya di jalan Jatayu, kelurahan Badayu, Kecamatan Cicenyu, no.77, dan tiap kali pamitan sama orang rumah, bidan itu akan bilang:”Yuk yah yuuuuk.”
Aku betah banget di perut Emak. 10 bulan sejak sperma Abah membuahi sel telur Emak, barulah aku lahir ke dunia. Waktu aku lahir aku nangis kenceeeeng banget. Bidan Yayuknya saja sampai kaget. Apalagi ketika aku nangis sambil pipisin muka nya. Alhamdulillah bidan Yayuk sabar dan baik banget. Aku dimandikan dan dibungkus kain hangat, kemudian segera diserahkan pada Emak. Tapi aku curiga bidan Yayuk cepat-cepat menyerahkanku ke Emak biar engga pipisin mukanya lagi. Yah, namanya juga bayi gitu loh!Cuman mungkin karena kualat sama bidan Yayuk, ada tahi lalat menclok di hidungku yang bulat seksi.
Kata Emak karena suara tangisanku kenceng banget, tangisanku bisa kedengeran sampai 2 RT. Kata Abah sih, aku calon Bilal, yang suka mengumandangkan adzan itu. Tapi Emak bilang daripada jadi Bilal, mendingan aku menggunakan kelantangan suaraku untuk jadi Imam.
“Jadi si Udin kalau cermah atau Imamin sholat di Mesjid ga usah pake toa Mesjid Bah.
Setuju kan ?”
Abahku hanya menganggukan kepala saja. Takut dipelototin Emak tercinta. Nah, karena Emak pengen aku jadi Imam, sejak bayi aku diajarin baca Quran. Karena tidak ada papan tulis, Emak menulis huruf Hijaiyah di dinding ruang tamu. Abah membiarkan saja dinding ruang tamu yang dicat biru telur asin jadi warna-warni. Setiap aku menyusu, tangan Emak menunjuk pada huruf Hijaiyah itu.Begitu terus sampai usiaku 2 tahun dan sudah disapih. Tapi usia 3 tahun aku sudah bisa mengeja huruf Hijaiyah itu dan hafal surat pendek seperti Al-Fatihah, dan Qulhufalaqbinnas.
Ada kejadian lucu saat aku mulai belajar berjalan. Aku pernah masuk dalam gentong air. Untung saat itu air di gentong sedang habis. Abah lalu memecahkan gentong memakai kapak. Bukan itu saja. Aku pernah merayapi kisi jendela yang rendah tempat Abah menyimpan silet cukurnya. Hasilnya, tanganku berdarah-darah terkena sayatan silet yang tajam. Aku lalu dilarikam ke dokter terdekat dan tanganku dibalut perban. Dasar balita, aku tidak kapok untuk mengeksploring rumah dengan kedua kaki kecilku. Suatu malam saat mati lampu, Emak memasang lampu semprong di meja untuk penerangan. Mungkin cahaya api dari lampu semprong itu menarik perhatianku. Lalu aku memainkan lampu semprong itu dan tak sengaja meletakkan ujung lampu ke daguku. Saat Emak berlari menghamppiriku, aku sedang menangis dengan dagu yang berdarah. Daguku sejak saat itu terbelah alami bukan dari pabriknya,  tanpa operasi plastik pula, tapi gara-gara lampu semprong.
Mulailah aku masuk SD. Kalau anak lain masih menangis tidak ditinggal Ibunya, aku malah sudah menjahili teman sekelasku dengan menyembunyikan tasnya. Bu Dewi, guru kelas 1, menjewerku dengan keras. Karena aku marah dan malu, aku pipis di kelas secara tak sengaja. Bu Dewi tambah dongkol dong. Dipencetnya hidungku yang bertahi lalat dengan gemas. Dan aku pun disuruh pulang. Sampai sekarang jika aku mendengar nama Dewi, bulu kudukku meremang, keringat dingin keluar, kakiku jadi lumpuh dan maunya pipis dicelana! Singkatnya aku trauma. Alhamdulillah Emakku pintar. Untuk mengalihkan ketakutanku pada Bu Dewi, aku didorong untuk hafal Juz Amma dan mengkhatamkan bacaan Quranku.Saat aku kelas 3, pertamakalinya aku  khatam Quran. Emak membuatkanku nasi kuning dengan lauk ayam serundeng, sambal goreng tempe, sambal dan kerupuk udang kesukaanku. Tahun  berikutnya aku hafal Juz Amma, Al-Mulk, dan Yasin. Abah memberiku sepeda BMX berwarna hitam dan kuning, tanpa rem.
Aku belajar sepeda sendiri. Beratus kali aku terjatuh dari sepeda itu. Secara, tidak ada orang yang menahan sepedaku utnuk terus berjalan tanpa kukayuh. Akhirnya aku mencoba menuruni bukit pasir di lapangan. Tanpa gentar aku menuruni bukit walaupun tahu sepedaku tanpa rem. Keinginanku untuk bisa bersepeda membuatku masa bodoh pada keselamatan jiwaku. Turunan yang landai itu akhirnya mendorong sepedaku jauh dari bukit dengan posisi sempurna. Dan akupun bisa mengayuhnya denga  sukses selama 20 menit. 20 menit kemudian sepedaku yang tanpa rem meluncur mulus  ke selokan dan menceburkan diriku dengan sukses. Hidungku yang bertahi lalat mencium setang dengan mesra yang mengakibatkan hidungku bengkak dan berdenyut-denyut selama 3 hari.
Saat aku lulus SD, aku harus merelakan sepeda itu dijual Abah untuk menambah biaya masuk SMP. Aku menangis selama seminggu tanpa henti. Hanya berjeda untuk makan pagi, makan siang dan makan malam saja. Tapi mau tak mau aku harus merelakannya. Aku masuk ke sebuah SMP Islam. Disana pelajaran agamanya lebih banyak 20 persen dibanding SMP biasa. Jika aku masuk kelas siang hari, ada kewajiban absensi sholat yang kelak akan membantu nilai kenaikan. Karena aku laki-laki, aku selalu mengisi absensi sholat itu dengan penuh. Tapi banyak teman perempuanku yang sering mengisi absensi sholat itu dengan tulisan”Haid”. Aku bertanya pada Emak apa arti Haid itu.Emak hanya melihatku dengan pandangan bertanya.
“Emangnya kenapa tanya-tanya tentang haid segala?”
“Ya Udin pengen tahu dong Mak. Soalnya kalau temen perempuan Udin engga sholat suka nulis Haid di absensi sholatnya.”
“Haid itu darah yang keluar dari anunya wanita. Itu tandanya wanita itu udah baligh, udah dewasa. Buku amalannya udah ada. Jadi setiap kelakuannya akan dicatat sama malaikat.”
“Anunya wanita itu apa Mak?”tanyaku polos.
Emak berdecak,”Udah deh Din, kalau kamu udah gede, kamu juga bakalan tau.”
Aku hanya garuk-garuk hidungku mendengar penjelasan Emak yang setengah-setengah. Apa mungkin anunya perempuan  itu hidungnya? Atau keteknya gitu? Atau udelnya? Aku semakin bingung. Hingga suatu saat, akhirnya aku tahu darimana haid perempuan itu berasal. Saat itu Shinta, anak perempuan tercantik di kelasku haid. Saat Shinta berdiri, di rok belakangnya terdapat noda gelap. Aku kaget lalu berteriak dengan suaraku yang lantang,”Shintaa, pantat kamu berdarah!”
Shinta menoleh padaku dengan bingung. Wajahnya berubah menjadi merah padam karena malu ketika Wulan, teman sebangkunya memberinya jaket untuk menutupi roknya. Keduanya pun lalu pergi keluar kelas. Roni sohibku, menertawakanku.
“Shinta dapat haid tahu!Bodoh sekali kau ini!”
“Hah? Haid? Jadi haid itu keluar dari pantat ya?”
“Apa? Hua ha ha ha.Bukan dari pantatnya bodoh! Dari anunya!” seru Roni sambil tertawa terus.
“Anunya itu apanya?”tanyaku polos.
Roni menatapku dengan pandangan geli campur kasihan. Dia mengegeleng-gelengkan kepalanya. Dia menyuruhku mendekat. Dia lalu membisikkan kata-kata. Setelah mendapat bisikan itu aku jadi malu bila bertemu dengan Shinta. Bukan hanya Shinta saja, tapi semua perempuan. Aku jadi pendiam dan pemalu kalau di hadapan perempuan. Dan sejak aku jadi pendiam, tahi lalat di hidungku mulai membesar. Yang asalnya tahi lalat, berkembang menjadi tahi tikus, lalu tumbuh menjadi tahi tupai. Untung saja tidak berubah seukuran tahi kuda. Kemana harus kusimpan wajah imutku ini?
Emak membawaku ke dokter kulit. Dokter kulit menyarankan operasi kecil terhadap  tahi lalatku yang telah bermutasi menjadi tupai dengan 3 helai rambut itu.
“ Berapa harga operasi kalau tahi lalatnya seperti tahi tupai gitu dok?”Tanya Emak.
“Emm, sekitar enam ratus ribu Bu.”
“Kalau seukuran tahi tikus?”
“Sekitar enam ratus ribu juga Bu.”
“Kalau seukuran tahi lalat?”
“Satu juta Bu.”
“Lho kok lebih mahal yang ukuran kecil dokter?”
“Yang lima ratus ribu itu biaya operasinya, yang lima ratus ribu lagi biaya ngusir lalat biar ga hinggap sembarangan lagi di muka orang!”
“Ah dokter bisa saja,”sahut Emak,”Untung tahi lalat  si Udin seukuran tahi kuda dok. Jadinya gratis ya?”
Dokter hanya mesem-mesem saja.(rinz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar