Senin, 31 Maret 2014

Tahi Lalat



TAHI LALAT

20 tahun yang lalu aku dilahirkan dari rahim Emakku. Kata Emak aku lahir di bidan Yayuk, yang rumahnya di jalan Jatayu, kelurahan Badayu, Kecamatan Cicenyu, no.77, dan tiap kali pamitan sama orang rumah, bidan itu akan bilang:”Yuk yah yuuuuk.”
Aku betah banget di perut Emak. 10 bulan sejak sperma Abah membuahi sel telur Emak, barulah aku lahir ke dunia. Waktu aku lahir aku nangis kenceeeeng banget. Bidan Yayuknya saja sampai kaget. Apalagi ketika aku nangis sambil pipisin muka nya. Alhamdulillah bidan Yayuk sabar dan baik banget. Aku dimandikan dan dibungkus kain hangat, kemudian segera diserahkan pada Emak. Tapi aku curiga bidan Yayuk cepat-cepat menyerahkanku ke Emak biar engga pipisin mukanya lagi. Yah, namanya juga bayi gitu loh!Cuman mungkin karena kualat sama bidan Yayuk, ada tahi lalat menclok di hidungku yang bulat seksi.
Kata Emak karena suara tangisanku kenceng banget, tangisanku bisa kedengeran sampai 2 RT. Kata Abah sih, aku calon Bilal, yang suka mengumandangkan adzan itu. Tapi Emak bilang daripada jadi Bilal, mendingan aku menggunakan kelantangan suaraku untuk jadi Imam.
“Jadi si Udin kalau cermah atau Imamin sholat di Mesjid ga usah pake toa Mesjid Bah.
Setuju kan ?”
Abahku hanya menganggukan kepala saja. Takut dipelototin Emak tercinta. Nah, karena Emak pengen aku jadi Imam, sejak bayi aku diajarin baca Quran. Karena tidak ada papan tulis, Emak menulis huruf Hijaiyah di dinding ruang tamu. Abah membiarkan saja dinding ruang tamu yang dicat biru telur asin jadi warna-warni. Setiap aku menyusu, tangan Emak menunjuk pada huruf Hijaiyah itu.Begitu terus sampai usiaku 2 tahun dan sudah disapih. Tapi usia 3 tahun aku sudah bisa mengeja huruf Hijaiyah itu dan hafal surat pendek seperti Al-Fatihah, dan Qulhufalaqbinnas.
Ada kejadian lucu saat aku mulai belajar berjalan. Aku pernah masuk dalam gentong air. Untung saat itu air di gentong sedang habis. Abah lalu memecahkan gentong memakai kapak. Bukan itu saja. Aku pernah merayapi kisi jendela yang rendah tempat Abah menyimpan silet cukurnya. Hasilnya, tanganku berdarah-darah terkena sayatan silet yang tajam. Aku lalu dilarikam ke dokter terdekat dan tanganku dibalut perban. Dasar balita, aku tidak kapok untuk mengeksploring rumah dengan kedua kaki kecilku. Suatu malam saat mati lampu, Emak memasang lampu semprong di meja untuk penerangan. Mungkin cahaya api dari lampu semprong itu menarik perhatianku. Lalu aku memainkan lampu semprong itu dan tak sengaja meletakkan ujung lampu ke daguku. Saat Emak berlari menghamppiriku, aku sedang menangis dengan dagu yang berdarah. Daguku sejak saat itu terbelah alami bukan dari pabriknya,  tanpa operasi plastik pula, tapi gara-gara lampu semprong.
Mulailah aku masuk SD. Kalau anak lain masih menangis tidak ditinggal Ibunya, aku malah sudah menjahili teman sekelasku dengan menyembunyikan tasnya. Bu Dewi, guru kelas 1, menjewerku dengan keras. Karena aku marah dan malu, aku pipis di kelas secara tak sengaja. Bu Dewi tambah dongkol dong. Dipencetnya hidungku yang bertahi lalat dengan gemas. Dan aku pun disuruh pulang. Sampai sekarang jika aku mendengar nama Dewi, bulu kudukku meremang, keringat dingin keluar, kakiku jadi lumpuh dan maunya pipis dicelana! Singkatnya aku trauma. Alhamdulillah Emakku pintar. Untuk mengalihkan ketakutanku pada Bu Dewi, aku didorong untuk hafal Juz Amma dan mengkhatamkan bacaan Quranku.Saat aku kelas 3, pertamakalinya aku  khatam Quran. Emak membuatkanku nasi kuning dengan lauk ayam serundeng, sambal goreng tempe, sambal dan kerupuk udang kesukaanku. Tahun  berikutnya aku hafal Juz Amma, Al-Mulk, dan Yasin. Abah memberiku sepeda BMX berwarna hitam dan kuning, tanpa rem.
Aku belajar sepeda sendiri. Beratus kali aku terjatuh dari sepeda itu. Secara, tidak ada orang yang menahan sepedaku utnuk terus berjalan tanpa kukayuh. Akhirnya aku mencoba menuruni bukit pasir di lapangan. Tanpa gentar aku menuruni bukit walaupun tahu sepedaku tanpa rem. Keinginanku untuk bisa bersepeda membuatku masa bodoh pada keselamatan jiwaku. Turunan yang landai itu akhirnya mendorong sepedaku jauh dari bukit dengan posisi sempurna. Dan akupun bisa mengayuhnya denga  sukses selama 20 menit. 20 menit kemudian sepedaku yang tanpa rem meluncur mulus  ke selokan dan menceburkan diriku dengan sukses. Hidungku yang bertahi lalat mencium setang dengan mesra yang mengakibatkan hidungku bengkak dan berdenyut-denyut selama 3 hari.
Saat aku lulus SD, aku harus merelakan sepeda itu dijual Abah untuk menambah biaya masuk SMP. Aku menangis selama seminggu tanpa henti. Hanya berjeda untuk makan pagi, makan siang dan makan malam saja. Tapi mau tak mau aku harus merelakannya. Aku masuk ke sebuah SMP Islam. Disana pelajaran agamanya lebih banyak 20 persen dibanding SMP biasa. Jika aku masuk kelas siang hari, ada kewajiban absensi sholat yang kelak akan membantu nilai kenaikan. Karena aku laki-laki, aku selalu mengisi absensi sholat itu dengan penuh. Tapi banyak teman perempuanku yang sering mengisi absensi sholat itu dengan tulisan”Haid”. Aku bertanya pada Emak apa arti Haid itu.Emak hanya melihatku dengan pandangan bertanya.
“Emangnya kenapa tanya-tanya tentang haid segala?”
“Ya Udin pengen tahu dong Mak. Soalnya kalau temen perempuan Udin engga sholat suka nulis Haid di absensi sholatnya.”
“Haid itu darah yang keluar dari anunya wanita. Itu tandanya wanita itu udah baligh, udah dewasa. Buku amalannya udah ada. Jadi setiap kelakuannya akan dicatat sama malaikat.”
“Anunya wanita itu apa Mak?”tanyaku polos.
Emak berdecak,”Udah deh Din, kalau kamu udah gede, kamu juga bakalan tau.”
Aku hanya garuk-garuk hidungku mendengar penjelasan Emak yang setengah-setengah. Apa mungkin anunya perempuan  itu hidungnya? Atau keteknya gitu? Atau udelnya? Aku semakin bingung. Hingga suatu saat, akhirnya aku tahu darimana haid perempuan itu berasal. Saat itu Shinta, anak perempuan tercantik di kelasku haid. Saat Shinta berdiri, di rok belakangnya terdapat noda gelap. Aku kaget lalu berteriak dengan suaraku yang lantang,”Shintaa, pantat kamu berdarah!”
Shinta menoleh padaku dengan bingung. Wajahnya berubah menjadi merah padam karena malu ketika Wulan, teman sebangkunya memberinya jaket untuk menutupi roknya. Keduanya pun lalu pergi keluar kelas. Roni sohibku, menertawakanku.
“Shinta dapat haid tahu!Bodoh sekali kau ini!”
“Hah? Haid? Jadi haid itu keluar dari pantat ya?”
“Apa? Hua ha ha ha.Bukan dari pantatnya bodoh! Dari anunya!” seru Roni sambil tertawa terus.
“Anunya itu apanya?”tanyaku polos.
Roni menatapku dengan pandangan geli campur kasihan. Dia mengegeleng-gelengkan kepalanya. Dia menyuruhku mendekat. Dia lalu membisikkan kata-kata. Setelah mendapat bisikan itu aku jadi malu bila bertemu dengan Shinta. Bukan hanya Shinta saja, tapi semua perempuan. Aku jadi pendiam dan pemalu kalau di hadapan perempuan. Dan sejak aku jadi pendiam, tahi lalat di hidungku mulai membesar. Yang asalnya tahi lalat, berkembang menjadi tahi tikus, lalu tumbuh menjadi tahi tupai. Untung saja tidak berubah seukuran tahi kuda. Kemana harus kusimpan wajah imutku ini?
Emak membawaku ke dokter kulit. Dokter kulit menyarankan operasi kecil terhadap  tahi lalatku yang telah bermutasi menjadi tupai dengan 3 helai rambut itu.
“ Berapa harga operasi kalau tahi lalatnya seperti tahi tupai gitu dok?”Tanya Emak.
“Emm, sekitar enam ratus ribu Bu.”
“Kalau seukuran tahi tikus?”
“Sekitar enam ratus ribu juga Bu.”
“Kalau seukuran tahi lalat?”
“Satu juta Bu.”
“Lho kok lebih mahal yang ukuran kecil dokter?”
“Yang lima ratus ribu itu biaya operasinya, yang lima ratus ribu lagi biaya ngusir lalat biar ga hinggap sembarangan lagi di muka orang!”
“Ah dokter bisa saja,”sahut Emak,”Untung tahi lalat  si Udin seukuran tahi kuda dok. Jadinya gratis ya?”
Dokter hanya mesem-mesem saja.(rinz)

PENDAR DI MATAMU



PENDAR DI MATAMU 


Ada pendar itu dimatamu. Berapa kali harus kukatakan itu pada diriku sendiri? Engkau begitu dekat, tapi sekaligus begitu jauh. Kau di depanku, tapi aku bahkan tidak bisa bertanya padamu. Senyummu tertuju untuk kami semua yang hadir di ruangan ini. Namun, entah mengapa, setiap kali kau menyapukan pandanganmu kearahku, tatap matamu tertahan dua detik lebih lama daripada pandanganmu pada orang lain. Mengapa oh mengapa? Kau membuat dadaku berdesir pada sebuah pengharapan. Namun aku tidak mau memuja harapan itu. Walau patah hati sudah biasa untukku. Walau pupus harapan sudah terlalu meninggalkan luka untukku.
Jemarimu yang kekar cekatan membuka laptop Sisi yang rusak. Sengaja Sisi memintaku mengantarnya padamu untuk memperbaiki layar laptopnya yang tiba-tiba gelap total. Dan dibalik kerling Sisi, bisa kurasakan niatnya untuk mendekatkanmu padaku. Sisi dan Maria. Mereka kompak untuk menjodohkan aku denganmu. Coba , kedengarannya sangat lucu bukan? Bukankah aku yang pertama mengenalkanmu pada mereka? Secara teori aku lebih dekat denganmu dibanding mereka bukan? Tapi aku butuh mereka untuk mendekatkan kita? Mendekatkan kamu padaku? Aihhh. Pengecutnya aku.
Aku jatuh cinta padamu ketika kau sedang memperbaiki komputerku yang rusak. Saat itu entah mengapa, aku ingin sekali menatapmu lebih lama dari yang biasa kulakukan. Dan saat menatapmu itu, ada kenikmatan menjalar di dadaku. Bahagia. Ya bahagia. Entah kau merasakannya juga atau tidak. Yang jelas, malamnya aku tidak bisa tidur karena memikirkanmu. Tingkah yang seharusnya tidak kulakukan. Karena jelas, dengan hanya menatap wajahmu saja aku menyiksa hatiku dan melupakan Tuhan.
Kebersamaan kita terlalu lama sebagai sahabat. Aku banyak mendengar kisahmu dan perempuan-perempuan itu. Cerita tentang keidealisan dirimu. Cerita tentang keluargamu. Semuanya. Dan aku yakin kau pun tahu cerita  laki-laki temanmu yang membuatku patah hati. Ajaibnya, kita melewatkan tahun-tahun bersama sebagai sahabat. Aku tahu persis kesukaanmu pada komputer, tekhnologi dan makanan pedas. Dan kau tahu tentang kesukaanku pada musik, film dan mie ayam. Bergantian kita saling mentraktir semangkuk mie ayam, atau baso, atau rujak petis yang rasanya pedas dan membuat ingus kita meleleh setelah menyantapnya.
Aku tahu kapan kau sedih. Aku tahu kapan kau bahagia. Bahkan saat kau tidak menceritakannya padaku. Seperti saat Ayahmu yang tiba-tiba sakit. Waktu itu kau memegang jabatan sebagai ketua panitia acara. Dan kami butuh kau disana. Dengan sangat bertanggungjawabnya, kau melakukan kewajiban sebagai ketua panitia. Saat itu kau disana, hadir dan  tersenyum, tapi tidak matamu. Matamu menyorotkan kesedihan dan kebimbangan. Aku merasakannya juga. Sungguh. Dan aku berdoa agar acara kita cepat selesai, agar kau bisa langsung menjenguk Ayahmu di rumah sakit.   Dan aku juga berdoa agar dirimu tidak sedih terus dan cepat riang kembali. Itu bukti aku memperhatikanmu lebih dari yang lain bukan? Lalu kapan aku tahu kau memperhatikanku?
 Saat itu aku sedih karena masalah dengan Mama di rumah. Dan sumpah, aku tidak memberi tahu siapapun tentang hal itu, tapi kau menghiburku dengan leluconmu yang konyol dan membuatku tertawa terbahak-bahak. Lelucon yang membuat wajah cemberutku berubah menjadi wajah gembira. Kalau tidak salah, saat itu aku mulai menyanyangimu sebagai teman. Karena saat itu, yang bisa mengalihkan kesedihan dan kemarahanku dari masalah yang dibuat keluargaku hanya kau. Bahkan ketika kau mendengar bahwa Michael putus denganku dan menikahi Zahra, engkau tahu betapa hancurnya hatiku. Dan kau pun mulai mengajakku ikut dalam segala macam kepanitiaan acara. Benar sekali, luka yang paling dalam sekalipun akan sembuh jika kita mengalihkan pikiran kita pada hal yang lain.  Sejak saat itu setiap perhatianmu, yang terasa biasa untukmu, terasa luar biasa bagiku.
Kau tahu lagu Lucky-nya Jason Meraz yang berduet bareng ama Joshua Pretty? Mungkin saat itu perasaanku seperti lirik lagu itu. Lucky to be in love with our best friend. Itulah yang aku rasakan. Berada di dekatmu sangat membahagiakan. Berbicara denganmu membuat hari-hariku ceria. Aku bahkan merasa kita lebih dekat dari orang yang sedang pacaran. Aku merasa bahagia. Tapi apakah kau juga merasakan hal yang sama denganku?
Kau pernah bilang bahwa kau mengidamkan perempuan dengan wajah cantik hingga kau tidak akan pernah bosan menatapnya seharian. Kau juga ingin perempuan itu berusia sepuluh tahun lebih muda darimu. Aku menghitung usiaku saat itu juga. Kita hanya bertaut sekitar dua tahun. Dan kau menginginkan perempuan yang umurnya berselang sepuluh tahun denganmu?
Aku juga merasa wajahku hanya manis biasa, tidak cantik jelita. Maka saat itu aku mulai bertanya-tanya dalam hati. Apakah semua yang kaukatakan itu merupakan petunjuk agar aku tidak mengharapkanmu? Apakah keinginanmu itu adalah pengusiranku secara perlahan dalam kehidupanmu?
Kalau iya, mengapa tidak engkau katakan terus terang padaku? Hatiku terlanjur menyayangimu tanpa syarat sekian lama ini.  Ya, kau tidak menyuruhku menyukaimu. Tapi tahukah  kau, dirimu yang membuat aku menyukaimu.
Lalu lamaran itupun datang. Aku dilamar seseorang.  Seseorang itu ingin menikahiku walaupun ia tidak mencintaiku. Aku tertawan oleh kenyataan yang diujikan Tuhan padaku. Kalau saja kau tahu betapa bimbang hati ini memutuskan untuk menerima atau menolak lamaran itu. Tapi kau tidak tahu bukan? Aku baru menyadari, kau hanya menganggapku sebagai seorang teman. Tidak lebih. Karena kau bahkan tidak mau berbicara tentang pernikahan bila berada di dekatku.
Namun, entah mengapa, setiap kali kau menyapukan pandanganmu kearahku, tatap matamu tertahan dua detik lebih lama daripada pandanganmu pada orang lain. Ingin aku langsung bertanya, apa yang kau rasakan terhadapku? Sebatas temankah? Atau pernahkah tersirat diriku sebagai pendamping hidupmu?
Dan saat aku memberanikan diri untuk bertanya padamu, di sisi sungai itu, mengapa sinar matamu tiba-tiba berubah menjadi ketakutan?
 Duhai, pangeran impian, aku patah hati saat itu juga. Sebelum engkau mengucapkan jawabannya, sebelum engkau memuntahkan kata-kata setajam silet untuk merobek hatiku jadi dua. Aku patah hati lagi! Tidak hanya itu , aku patah arang.
Detik-detik menuju pelaminan terasa cepat bagiku. Aku tidak kuasa menghentikan degup jantung yang bertalu-talu ingin menyuarakan kesedihan. Dulu ada engkau sebagai penghiburku, namun kini engkaulah yang menorehkan kepedihan ini. Kalau saja saat ini kau tiba-tiba datang dan memohon cintaku, aku bersedia  untuk  melarikan diri bersamamu, dengan gaun pengantinku yang berwarna putih bercorak emas. Aku tidak akan memperdulikan harga diri dan martabat keluarga. Yang kuperdulikan hanya dirimu dan cintamu. Aku tidak perduli pada materi dan harta yang tidak kau miliki. Asalkan bersamamu, aku pasti akan bahagia. Hanya saja, kau tidak datang..
Di hari  itu, akhirnya engkau datang di penghujung hari. Saat tamu-tamu yang lain pulang dan hanya menyisakan sedikit makanan, kau datang bersama Liana,guru TPA. Wajahmu tersenyum padaku dan pada suamiku. Namun tidak matamu. Entahlah mungkin hanya perasaanku saja. Liana menyapaku dengan hangat, kecup pipi kiri dan pipi kananku
“Barakalloh ya Teh, semoga berkah,”ucap Liana dengan hangat.
“ Aamiin, semoga Liana cepat menyusul ya,”balasku.
Liana tersenyum, ditatapnya kedua mataku. Dia mengangguk
“Insyaallah Teh, doakan saja.”
Diam. Engkau hanya diam di belakang Liana. Lalu, kalian pamit pulang.
“Kami pamit pulang dulu Teh.”
“Loh kok? Kalian kan belum makan ?”
Liana tersenyum penuh misteri.
“ Kami datang untuk mendoakan Teteh. Itu yang penting Teh.”
Aku mengangguk dan menangis dalam hati. Ya Rabb, awal pernikahanku dimulai dengan perjuangan menghapus suka kepada seorang hambamu yang  pernah menjadi sahabatku. Dan aku akan berjuang untuk itu. Karena disisiku kini menjulang laki-laki yang Kau takdirkan menjadi pendamping hidupku. Laki-laki yang telah meminangku dengan tulus. Laki-laki yang bersedia menjadi imam dan penanggung jawabku.
Di kamar, aku dan suamiku mengerjakan sholat sunat dua rakaat. Lalu setelahnya, dia membalikkan badannya ke arahku. Wajahnya memang tidak setampan dirimu. Tapi kilau di matanya terlihat tajam. Matanya seakan berbicara banyak.
“ Teteh, sekarang saya sudah menjadi suami Teteh. Saya memohon kepada Allah sifat baik Teteh dan berlindung dari sifat jelek Teteh. Semoga Teteh bisa menerima saya apa adanya saya. Baik itu kelebihan atau kekurangan saya. Jika memang nanti ada sikap saya yang kurang berkenan di hati Teteh, bersabarlah, dan mohonlah pertolongan pada Allah dengan sholat. Sesungguhnya Allah Maha Menolong orang yang selalu minta pertolonganNya. Saya tidak tahu saya akan berjodoh dengan Teteh seperti sekarang. Mungkin sebelum saya Teteh menyukai laki-laki lain. Dan sebelum Teteh saya juga menyukai wanita lain. Dan banyak juga manusia di luar sana yang menanti saya atau Teteh. Tapi ternyata, Allah telah menakdirkan kita berjodoh. Semoga pernikahan ini menjadi rahmat dan berkah bagi kita, aaamiin.”
Lalu suamiku meletakkan tangan kanannya di ubun-ubunku dengan lembut. Doa dari mulutnya terdengar lirih. Tangannya bergetar. Aku mendongak dan mendapati pipi suamiku basah oleh airmata. Aduhai, tatkala aku melihat airmata itu perasaan suka kepadamu hilang seketika. Aku bawa tangannya ke keningku. Kucium jemarinya dengan takzim. Aku menatap laki-laki di depanku ini. Dialah kekasih halalku. Dialah suamiku. Dialah manusia yang dikirim Allah untukku. Aku berjanji dalam hati aku tidak akan menyia-nyiakannya. Dan seiring doaku yang menderas, pandangan mataku kabur oleh air mata. .(rinz)
(teruntuk temanku yang risau menghadapi jodoh dari orangtuanya, Allah Maha Mengetahui hatimu mbak, istikhorohlah dengan sepenuh jiwa, dan saat hatimu mantap menerima, melangkahlah dengan tegar.)


Minggu, 30 Maret 2014

SAJADAH BIRU





Adzan sudah berkumandang. Waktunya pergi ke mesjid. Saat hendak mengambil sajadah, Ridwan tertegun sejenak. Sajadahnya terlihat lusuh karena terlalu sering digunakan. Bagaimana tidak. Sajadah itu milik mediang almarhum Ayah. Entah berapa tahun usia sajadah itu kini. Yang jelas sajadah itu pasti sudah tua. Akhirnya Ridwan pergi ke mesjid tanpa membawa sajadahnya.
Saat Ridwan pulang. Ibu sedang menjahit pesanan pakaian tetangga seperti biasanya.
“ Makan dulu, Wan?”seru Ibu.
“Iya  Bu.” Lalu membaca bismillah, Ridwan makan malam dengan lauk seadanya. Setelah selesai, Ridwan membuka-buka buku pelajarannya. Baru juga 15 menit Ridwan membaca ulang buku IPS-nya, rasa kantuk menyerangnya. Tak terasa, Ridwan tertidur di atas meja.
Terasa ada yang menjawil pundaknya. Ridwan terbangun dari tidurnya. Dia menoleh ingin tahu siapa yang menjawilnya. Wajahnya terkejut ketika dilihatnya sajadah biru berdiri dibelakangnya dan berkacak pinggang.
“ Kenapa kamu tidak membawa aku saat ke Mesjid?”tanya Sajadah Biru dengan marah.
Ridwan ternganga saking kagetnya.
“ Kamu tahu tidak ya Ridwan, aku ini warisan Ayahmu. Aku sudah bersama Ayahmu sejak lama.”tanya Sajadah Biru.
Ridwan masih terdiam. Lalu Sajadah Biru menariknya dan mendudukkanya  ke atas dirinya.
“ Sudah, kamu diam saja dan lihatlah petualangan yang pernah kami lakukan bersama!”
Sajadah Biru membawa Ridwan melintasi sabut awan yang tipis. Angin dingin menerpa pipinya dengan kencang. Tapi Ridwan tidak takut. Ridwan malah merasa senang. Ditatapnya langit  bertabur bintang.
“Sajadah, bawa aku menuju bintang dong,”teriak Ridwan.
“ Beneran kamu mau melihat bintang yang diatas itu?”tanya Sajadah Biru.
“Bener! Ayo, cepat bawa aku kesana!”
Sajadah Biru melesat ke atas langit, dan tambah ke atas lagi. Lampu-lampu bersinar dari rumah-rumah di bawahnya. Semarak lampu yang berasal dari lampu jalanan dan lampu neon iklan, berkerlap-kerlip dengan indahnya. Bumi terlihat bagai taman hiburan yang penuh dengan lampu. Ridwan tersenyum. Dalam hidupnya ia tidak pernah merasa gembira seperti ini. Apakah dulu Ayahnya mengalami hal yang ia rasakan saat ini?tanya hati kecil Ridwan.
 “ Allah telah memberikan karunia buat anak yang soleh, yang selalu sholat dan pergi ke mesjid dengan penjagaan malaikat. Aku yang menjadi saksi bahwa Ayahmu yang selalu pergi ke Mesjid untuk sholat berjamaah, dijaga oleh malaikat. Malaikat itu mengajaknya terbang ke angkasa seperti yang kau lakukan saat ini.”
“ Lalu  mengapa bukan malaikat yang mengajakku terbang?”tanya Ridwan
“Aku meminta pada Allah agar bisa mengajakmu terbang. Aku ingin memberitahumu, jika kau terus membawa aku ke Mesjid, maka pahala akan mengalir untuk Ayahmu.”
Ridwan terdiam. Tiba-tiba terasa ada yang menjawil pundaknya. Namun kali ini jawilannya tidak keras. Ridwan menoleh ke belakang. Dilihatnya wajah Ibu.
“Ibu? Ibu ikut terbang juga?”
Ibu menatapnya dengan heran.
“Ikut terbang apanya? Ayo tidur dikamarmu! Nanti badan kamu sakit kalau tidur di atas meja seperti ini!”
Ridwan tersentak. Dia tidak terbang ke langit. Dia tidak melayang di antara awan. Tapi, kok pipi dan wajahnya terasa dingin?  Ridwan menatap sajadah biru yang tersampir di kursi. Dia teringat akan kata-kata terakhir yang diucapkan Sajadah Biru. Jika dia terus membawa sajadah biru ke Mesjid, maka pahala akan mengalir untuk Ayahnya. Ridwan tersenyum.
“ Aku akan selalu membawamu ke Mesjid, sajadah biru, selalu,” janji Ridwan.(rinz)