TAHI
LALAT
20 tahun yang
lalu aku dilahirkan dari rahim Emakku. Kata Emak aku lahir di bidan Yayuk, yang
rumahnya di jalan Jatayu, kelurahan Badayu, Kecamatan Cicenyu, no.77, dan tiap
kali pamitan sama orang rumah, bidan itu akan bilang:”Yuk yah yuuuuk.”
Aku betah banget
di perut Emak. 10 bulan sejak sperma Abah membuahi sel telur Emak, barulah aku
lahir ke dunia. Waktu aku lahir aku nangis kenceeeeng banget. Bidan Yayuknya
saja sampai kaget. Apalagi ketika aku nangis sambil pipisin muka nya.
Alhamdulillah bidan Yayuk sabar dan baik banget. Aku dimandikan dan dibungkus
kain hangat, kemudian segera diserahkan pada Emak. Tapi aku curiga bidan Yayuk
cepat-cepat menyerahkanku ke Emak biar engga pipisin mukanya lagi. Yah, namanya
juga bayi gitu loh!Cuman mungkin karena kualat sama bidan Yayuk, ada tahi lalat
menclok di hidungku yang bulat seksi.
Kata Emak karena
suara tangisanku kenceng banget, tangisanku bisa kedengeran sampai 2 RT. Kata
Abah sih, aku calon Bilal, yang suka mengumandangkan adzan itu. Tapi Emak
bilang daripada jadi Bilal, mendingan aku menggunakan kelantangan suaraku untuk
jadi Imam.
“Jadi si Udin
kalau cermah atau Imamin sholat di Mesjid ga usah pake toa Mesjid Bah.
Setuju
kan ?”
Abahku hanya
menganggukan kepala saja. Takut dipelototin Emak tercinta. Nah, karena Emak
pengen aku jadi Imam, sejak bayi aku diajarin baca Quran. Karena tidak ada papan
tulis, Emak menulis huruf Hijaiyah di dinding ruang tamu. Abah membiarkan saja
dinding ruang tamu yang dicat biru telur asin jadi warna-warni. Setiap aku
menyusu, tangan Emak menunjuk pada huruf Hijaiyah itu.Begitu terus sampai
usiaku 2 tahun dan sudah disapih. Tapi usia 3 tahun aku sudah bisa mengeja
huruf Hijaiyah itu dan hafal surat pendek seperti Al-Fatihah, dan
Qulhufalaqbinnas.
Ada kejadian
lucu saat aku mulai belajar berjalan. Aku pernah masuk dalam gentong air.
Untung saat itu air di gentong sedang habis. Abah lalu memecahkan gentong
memakai kapak. Bukan itu saja. Aku pernah merayapi kisi jendela yang rendah
tempat Abah menyimpan silet cukurnya. Hasilnya, tanganku berdarah-darah terkena
sayatan silet yang tajam. Aku lalu dilarikam ke dokter terdekat dan tanganku
dibalut perban. Dasar balita, aku tidak kapok untuk mengeksploring rumah dengan
kedua kaki kecilku. Suatu malam saat mati lampu, Emak memasang lampu semprong
di meja untuk penerangan. Mungkin cahaya api dari lampu semprong itu menarik
perhatianku. Lalu aku memainkan lampu semprong itu dan tak sengaja meletakkan
ujung lampu ke daguku. Saat Emak berlari menghamppiriku, aku sedang menangis
dengan dagu yang berdarah. Daguku sejak saat itu terbelah alami bukan dari
pabriknya, tanpa operasi plastik pula,
tapi gara-gara lampu semprong.
Mulailah aku
masuk SD. Kalau anak lain masih menangis tidak ditinggal Ibunya, aku malah
sudah menjahili teman sekelasku dengan menyembunyikan tasnya. Bu Dewi, guru
kelas 1, menjewerku dengan keras. Karena aku marah dan malu, aku pipis di kelas
secara tak sengaja. Bu Dewi tambah dongkol dong. Dipencetnya hidungku yang
bertahi lalat dengan gemas. Dan aku pun disuruh pulang. Sampai sekarang jika
aku mendengar nama Dewi, bulu kudukku meremang, keringat dingin keluar, kakiku
jadi lumpuh dan maunya pipis dicelana! Singkatnya aku trauma. Alhamdulillah
Emakku pintar. Untuk mengalihkan ketakutanku pada Bu Dewi, aku didorong untuk
hafal Juz Amma dan mengkhatamkan bacaan Quranku.Saat aku kelas 3,
pertamakalinya aku khatam Quran. Emak
membuatkanku nasi kuning dengan lauk ayam serundeng, sambal goreng tempe,
sambal dan kerupuk udang kesukaanku. Tahun
berikutnya aku hafal Juz Amma, Al-Mulk, dan Yasin. Abah memberiku sepeda
BMX berwarna hitam dan kuning, tanpa rem.
Aku belajar
sepeda sendiri. Beratus kali aku terjatuh dari sepeda itu. Secara, tidak ada
orang yang menahan sepedaku utnuk terus berjalan tanpa kukayuh. Akhirnya aku
mencoba menuruni bukit pasir di lapangan. Tanpa gentar aku menuruni bukit
walaupun tahu sepedaku tanpa rem. Keinginanku untuk bisa bersepeda membuatku
masa bodoh pada keselamatan jiwaku. Turunan yang landai itu akhirnya mendorong
sepedaku jauh dari bukit dengan posisi sempurna. Dan akupun bisa mengayuhnya
denga sukses selama 20 menit. 20 menit
kemudian sepedaku yang tanpa rem meluncur mulus ke selokan dan menceburkan diriku dengan
sukses. Hidungku yang bertahi lalat mencium setang dengan mesra yang
mengakibatkan hidungku bengkak dan berdenyut-denyut selama 3 hari.
Saat aku lulus
SD, aku harus merelakan sepeda itu dijual Abah untuk menambah biaya masuk SMP.
Aku menangis selama seminggu tanpa henti. Hanya berjeda untuk makan pagi, makan
siang dan makan malam saja. Tapi mau tak mau aku harus merelakannya. Aku masuk
ke sebuah SMP Islam. Disana pelajaran agamanya lebih banyak 20 persen dibanding
SMP biasa. Jika aku masuk kelas siang hari, ada kewajiban absensi sholat yang kelak
akan membantu nilai kenaikan. Karena aku laki-laki, aku selalu mengisi absensi
sholat itu dengan penuh. Tapi banyak teman perempuanku yang sering mengisi
absensi sholat itu dengan tulisan”Haid”. Aku bertanya pada Emak apa arti Haid
itu.Emak hanya melihatku dengan pandangan bertanya.
“Emangnya kenapa
tanya-tanya tentang haid segala?”
“Ya Udin pengen
tahu dong Mak. Soalnya kalau temen perempuan Udin engga sholat suka nulis Haid
di absensi sholatnya.”
“Haid itu darah
yang keluar dari anunya wanita. Itu tandanya wanita itu udah baligh, udah
dewasa. Buku amalannya udah ada. Jadi setiap kelakuannya akan dicatat sama
malaikat.”
“Anunya wanita
itu apa Mak?”tanyaku polos.
Emak
berdecak,”Udah deh Din, kalau kamu udah gede, kamu juga bakalan tau.”
Aku hanya
garuk-garuk hidungku mendengar penjelasan Emak yang setengah-setengah. Apa
mungkin anunya perempuan itu hidungnya?
Atau keteknya gitu? Atau udelnya? Aku semakin bingung. Hingga suatu saat,
akhirnya aku tahu darimana haid perempuan itu berasal. Saat itu Shinta, anak
perempuan tercantik di kelasku haid. Saat Shinta berdiri, di rok belakangnya
terdapat noda gelap. Aku kaget lalu berteriak dengan suaraku yang
lantang,”Shintaa, pantat kamu berdarah!”
Shinta menoleh
padaku dengan bingung. Wajahnya berubah menjadi merah padam karena malu ketika
Wulan, teman sebangkunya memberinya jaket untuk menutupi roknya. Keduanya pun
lalu pergi keluar kelas. Roni sohibku, menertawakanku.
“Shinta dapat
haid tahu!Bodoh sekali kau ini!”
“Hah? Haid? Jadi
haid itu keluar dari pantat ya?”
“Apa? Hua ha ha
ha.Bukan dari pantatnya bodoh! Dari anunya!” seru Roni sambil tertawa terus.
“Anunya itu
apanya?”tanyaku polos.
Roni menatapku
dengan pandangan geli campur kasihan. Dia mengegeleng-gelengkan kepalanya. Dia
menyuruhku mendekat. Dia lalu membisikkan kata-kata. Setelah mendapat bisikan
itu aku jadi malu bila bertemu dengan Shinta. Bukan hanya Shinta saja, tapi
semua perempuan. Aku jadi pendiam dan pemalu kalau di hadapan perempuan. Dan
sejak aku jadi pendiam, tahi lalat di hidungku mulai membesar. Yang asalnya
tahi lalat, berkembang menjadi tahi tikus, lalu tumbuh menjadi tahi tupai.
Untung saja tidak berubah seukuran tahi kuda. Kemana harus kusimpan wajah
imutku ini?
Emak membawaku
ke dokter kulit. Dokter kulit menyarankan operasi kecil terhadap tahi lalatku yang telah bermutasi menjadi
tupai dengan 3 helai rambut itu.
“ Berapa harga
operasi kalau tahi lalatnya seperti tahi tupai gitu dok?”Tanya Emak.
“Emm, sekitar
enam ratus ribu Bu.”
“Kalau seukuran
tahi tikus?”
“Sekitar enam
ratus ribu juga Bu.”
“Kalau seukuran
tahi lalat?”
“Satu juta Bu.”
“Lho kok lebih
mahal yang ukuran kecil dokter?”
“Yang lima ratus
ribu itu biaya operasinya, yang lima ratus ribu lagi biaya ngusir lalat biar ga
hinggap sembarangan lagi di muka orang!”
“Ah dokter bisa
saja,”sahut Emak,”Untung tahi lalat si
Udin seukuran tahi kuda dok. Jadinya gratis ya?”
Dokter hanya
mesem-mesem saja.(rinz)