BENAR-BENAR
SELAMAT TINGGAL
Sarah
memunguti buah zaitun yang terjatuh diatas terpal. Buah zaitun yang hijau,
segar, dan mengkilap itu diraupnya kedalam keranjang plastik oleh jemari
mungilnya. Keringat menetes dari dahinya, mengalir melewati pipi halusnya,
menggantung sejenak di rahang lembutnya, kemudian jatuh ke atas terpal,
membentuk noda gelap. Rambut ikalnya tidak diikat dan dibiarkan terurai
sepanjang punggungnya yang kecil. Gadis kecil berumur tujuh tahun itu memakai
abaya katun berwarna hijau pastel yang sejuk. Kakinya tidak beralas. Tingginya sudah mencapai satu
meter tigapuluh centi. Alisnya menukik dan tebal. Matanya besar dan lentik.
Bibirnya tebal dengan warna kemerahan alami. Ada rona kemerahan tersengat
matahari tergambar di pipi halusnya. Dia tidak sekolah. Sekolah jauh dan mahal.
Sarah dididik untuk menjadi seorang istri dan calon ibu yang cakap oleh sang Ibu,
Khadijah, yang juga tidak pernah menginjak bangku sekolah. Namun, walaupun
Sarah tidak pernah mengecap bangku sekolah, ia dididik untuk mendalami agama
Islam. Ayahnya adalah seorang Imam di mushola kecil di desanya, Borqa, sebelah
timur Ramalah. Khalid hafal 30 juz surat
Al-Quran. Dan sejak dulu, secara turun temurun, keluarga mereka selalu dididik
untuk menghafal ayat-ayat Al- Quran.
Karena keluarga mereka terkenal sangat fasih hafalan Quran-nya, banyak
tetangganya yang meminta kepala keluarga mereka untuk menjadi Imam di mushola
kecil mereka.
Sarah
menatap ke arah langit biru yang
membentang di atas kebun milik kedua orangtuanya dipinggiran daerah
Khirbat Al-Tira. Panen zaitun kali ini tidak seperti tahun lalu. Hasil tahun
ini lebih melimpah. Pohon-pohon zaitun yang rindang dan telah berusia ratusan
tahun itu agak bermurah hati pada keluarga mereka tahun ini. Pohon-pohon itu
teduh, dengan batang pohon berdiameter
satu meter. Cabang-cabangnya yang rapat menghasilkan ribuan bunga mayang bakal
buah. Daun-daun pohon zaitun berbentuk pipih dengan panjang sekitar delapan
centimeter dan tebal. Sarah senang
tiduran di bawahnya dengan beralas sehelai tirai bekas warna biru.
Karung-karung bekas gandum dipakai untuk membawa zaitun-zaitun itu ke kota
untuk dijual.
Dulu,
jika Ayahnya akan menjual zaitun-zaitun itu, maka ia akan bermobil bersama Irsyad dan Imran, kedua
kakak laki-lakinya. Kedua laki-lakinya juga tidak bersekolah. Hanya saja mereka
belajar membaca dan menulis dari seorang tetangga yang baik hati, seorang
pensiunan dosen dari Universitas An-Najah. Kedua kakak laki-lakinya pintar. Mereka cepat
mengerti ilmu yang diajarkan mantan dosen tersebut. Selain itu, mereka juga telah khatam Quran ratusan kali.
Irsyad
telah berumur dua puluh tahun. Wajahnya tampan dengan rambut yang juga ikal
besar-besar seperti Sarah, yang dipotong sebahu. Rambut ikal mereka merupakan warisan
kedua orangtua mereka. Irsyad telah menghafal 30 juz Al-Quran. Dia seorang
pemuda yang kuat. Karenanya, ia selalu membantu di kebun zaitun dan kebun kurma
milik tetangga. Kadang-kadang jika Ayahnya sakit, maka tugas Irsyad-lah menggantikannya
menjadi Imam di mushola. Suaranya merdu
dan nyaring. Matanya tajam dan ceria. Cita-citanya hanya satu, membahagiakan
Ayah dan Ibu. Sarah sangat menyayangi Irsyad,
kakak tertuanya,
karena Irsyad sering memanjakannya dan menggendongnya di punggung jika ia
menangis.
Kakak
laki-lakinya yang lain, Imran, berumur lima belas tahun dengan postur tubuh
tinggi kurus. Matanya yang bulat dan besar selalu kelihatan berkaca-kaca. Imran
lebih pendiam daripada Irsyad. Hafalan Qurannya baru 20 juz. Tapi dia sangat
suka membaca buku-buku pengetahuan yang diberi oleh Tuan Abdurahman, mantan
dosen yang mengajar mereka tulis dan baca. Tak pernah terlihat tangannya kosong
dari buku. Buku-buku tentang tehnik mesin, perkebunan, atau musik, semua
dilahapnya. Tempat membaca kesukaanya jika di rumah yaitu kebun belakang di
bawah pohon Paloverde, di kursi rusak
yang dialasi kain bekas. Dia akan terus berada disana jika tidak sedang memanen
zaitun, terselang oleh sholat dan makan. Seringkali Sarah memergokinya sedang
menatap langit yang tengah beranjak senja. Tatapan matanya yang menerawang,
menembus batas langit desa kami,
mengembarakan otaknya entah kemana. Dia akan terus seperti itu jika saja adzan
Magrib tidak berkumandang. Terkadang
Imran berkhayal jika dirinya pergi meninggalkan rumahnya dan memulai kehidupan
di belahan dunia yang lain. Jika dia dan Ayah pergi untuk menjual hasil panen
zaitun, ia selalu mengucapkan selamat tinggal kepada desanya. Seakan dia hendak
pergi jauh. Namun, dia selalu kembali lagi. Nyalinya tidak pernah terlalu
berani untuk meninggalkan keluarga dan desa kelahirannya.
Suatu
siang, tahun yang lalu, Ayahnya membawa
Irsyad ke kota Ramalah untuk menjual buah zaitun yang mereka miliki. Panen
tahun kemarin hanya berupa dua karung gandum saja. Tapi sorenya, sang Ayah hanya pulang
seorang diri saja. Entah kemana Irsyad pergi. Ketika Sarah menanyakan pada
Ibunya, Khadijah hanya menangis. Ayahnya
lalu mendelik pada Ibunya ketika tangisan itu terdengar olehnya.
“Irsyad
dibutuhkan oleh negara kita. Hapus airmatamu! Jangan membuat anakmu rindu
karena kau terus mengingatnya. Dia anak titipan Allah. Kita sudah menunaikan
kewajiban kita untuk mendidik dan membesarkannya. Setelah baligh dan dewasa,
anak kita adalah milik Tuhan Pemilik Takdir. Jika dia memilih takdir yang baik,
maka doakanlah olehmu. Biarkan doamu menjaganya dari ujian yang menimpanya.
Bersabarlah istriku. Insyaallah anakmu akan menjadi simpanan terbaik kita
kelak. Jadi sudahi tangisanmu itu”, ucap Khalid keras.
Setelah
itu dia duduk dan menyandarkan punggung tuanya di dinding rumah. Matanya
menatap langit-langit. Berkaca-kaca. Sarah hanya terdiam tak mengerti, menatap kedua orangtuanya, yang
tengah tenggelam dalam pemikiran masing-masing.
Sejak
saat itu Sarah belum pernah lagi bertemu dengan Irsyad. Ia begitu kehilangan
akan sosok kakaknya yang penuh kasih sayang. Begitu juga anggota keluarganya
yang lain. Irsyad tidak pernah memberi kabar apapun. Namun setelah itu, Ayah
dan Ibunya jadi sering melakukan sholat pada dini hari. Mereka berjamaah
mengerjakan tahajud. Lantunan ayat-ayat Al-Quran yang dihafal Ayahnya
menyelusup menembus pintu kamarnya. Sering Sarah bangun dan memperhatikan mereka.
Jika telah begitu,
Sarah akan meniru dan sholat di belakang mereka. Namun umurnya yang baru
tujuh tahun, tidak bisa menahan kantuk yang
menyerangnya. Esoknya, ia akan bangun di
kamarnya dengan masih mengenakan
hijab lebar untuk sholat.
Pagi itu Sarah mendengar keributan dari ruang depan. Terdengar kata-kata
bernada tinggi dan kasar dari orang yang belum pernah dikenalnya. Lalu Ayahnya
membalas dengan lembut, berusaha mencairkan kemarahan orang yang membentaknya.
“ Tapi tuan, kami hanya petani biasa. Kami tidak punya tempat untuk
bernaung jika tuan mengusir kami dari rumah kami sendiri. Rumah ini telah kami
tempati sejak puluhan tahun yang lalu. Kami bahkan memiliki surat-surat dan
dokumen aslinya!”
“ Aku tidak perduli! Siang ini kalian harus pergi dari rumah ini, atau aku
akan mengusir kalian seperti anjing!”
Lalu terdengar suara pintu yang ditendang. Keributan itu kemudian
menghilang tergantikan suara tangisan Ibunya. Terdengar suara Imran yang
menghibur Ayah dan Ibunya.
“ Ayolah Bu, kita pergi saja dari sini. Kita tinggal sementara di kebun
Zaitun lalu kita pergi ke Rammalah. Mungkin disana kehidupan kita akan lebih
baik. Daripada disini, lambat laun, remaja tak tahu kesopanan dari Israel itu
akan menyakiti kita. Aku bahkan takut mereka akan membunuh kita dan menguburkan
mayat kita di kebun belakang.”
“ Tapi ini tanah kita Imran! Bagaimana bisa aku begitu saja menyerahkan
tanah dan rumah yang telah kita tempati puluhan tahun yang lalu. Tanah dan rumah
yang ingin kuwariskan kepadamu, kepada Sarah. Aku tak bisa merelakannya!”
“ Apa Ayah lebih memilih tanah dan rumah ini dibanding keselamatan kita?
Mereka telah mengusir para petani yang ada di ujung desa. Hanya menghitung hari
saja mereka akan mengusir kita atau membunuh kita. Sadarlah Ayah!”
Sarah melangkah dengan takut-takut ke arah ruang depan lalu memeluk Ayahnya
yang tengah menekuri diri. Ibunya mengatupkan selendang untuk menutupi
tangisnya.
“ Apa kau tak menyesal Imran?”tanya Ayah.
Imran berdiri. Matanya memancarkan tekad bulat.
“Tidak Ayah! Aku yakin, cobaan ini tidak semata-mata diujikan pada kita
selain karena kita mampu! Bumi Allah itu luas Ayah. Walau, aku juga ingin
berperang dengan mereka sampai titik darah penghabisan seperti Kak Irsyad yang
telah mujahid di Gaza. Namun Ayah, insyaallah, kita masih punya banyak
kesempatan. Setiap orang mempunyai medan jihadnya sendiri-sendiri. Ayo kita
pergi dari sini untuk menyelamatkan iman,agama dan harga diri kita. Biarlah
mereka mengambil semua yang pernah kita miliki! Semoga Allah membalas perbuatan
mereka!”seru Imran.
Ayah sejenak terpaku mendengar perkataan Imran yang panjang lebar. Lalu
senyum lebarnya tersungging di wajahnya yang arif.
“ Alhamdulillah, engkau telah dewasa Imran! Aku setuju dengan engkau
anakku! Marilah kita berkemas dengan hal yang perlu saja. Aku akan memeriksa
mobil. Semoga Allah meridhoi keputusan kita,”seru Ayah.
Imran mengangguk. Lalu dia membelai rambut Sarah,
“ Sarah, bereskan beberapa pakaian milikmu. Simpan di dalam buntalan taplak
meja atau gorden. Kita akan bepergian yang jauh.”
Sarah mengangguk lalu berlari ke kamarnya. Imran memeluk Ibunya lalu
berkata,
“Bu, kita hanya punya waktu sampai hari ini. Maka kuatkanlah hatimu! Kita
akan pergi bertamasya! Anggaplah seperti itu. Pengorbanan kita tidaklah
sebanding dengan pengorbanan Irsyad yang telah syahid!”
“ Baiklah Imran. Jika Ayahmu sudah setuju denganmu, maka Ibu tidak bisa
berkata apa-apa lagi. Mari kita pergi!”
Ibu dan Imran lalu mulai membereskan barang-barang yang akan mereka bawa.
Ada 4 buah selimut tebal berlapis wol yang dilipat dan diikat di karpet. Imran
memasukkan beberapa pasang sepatu cadangan dalam karung. Beberapa foto yang
menggantung di dinding, di masukkannya
ke dalam tas ranselnya. Lalu dia mengumpulkan bahan makanan, seperti acar
zaitun yang dimasukkan dalam botol selai kaca, sekarung tepung terigu, 5
jerigen plastik minyak zaitun yang hendak di jual di Ramallah, 10 kaleng daging
cingcang, sekilo bawang bombay, bawang putih, teh, kopi, 5 kilo beras, bermacam-macam
bumbu dapur seperti lada, ketumbar, dill, adas manis, kayu manis, jinten, jeruk
lemon, saffron. Tidak lupa juga saus tahini, ghee, kuskus, dan satu jeriken
plastik yoghurt. Semua itu kemudian dimasukkan ke dalam bagasi mobil, kecuali
selimut yang tersimpan di pojok jok mobil.
Ibu datang dan memasukkan buntelan berisi pakaian ke dalam bagasi. Ayah
sedang mengisi bensin dengan persediaan bensin dari botol kaca. Sarah datang
tergopoh-gopoh karena kerepotan membawa buntelan berisi pakaiannya sendiri.
Imran memeriksa semuanya dengan puas. Ditatapnya langit yang naik sepenggalan
seakan mengingatkan dirinya untuk dhuha. Tiba-tiba dirinya teringat akan Tuan
Abdurrahman yang tinggal di ujung desa. Entah bagaimana nasib mereka kini.
Imran menoleh pada Ayahnya.
“Ayah, sebelum kita pergi, bolehkah kita mampir ke rumah tuan Abdurrahman?
Aku ingin mengucapkan selamat tinggal padanya,”seru Imran.
“ Tentu saja anakku, dia adalah gurumu.”
Mereka pun lalu masuk ke dalam Peugeot 206 yang mulai berkarat disana-sini.
Untungnya mesin mobil mereka sering dirawat dan dibersihkan Imran. Begitu juga
dengan knalpot, karburator, oli dan rem. Semuanya berkat bimbingan Tuan
Abdurrahman. Mereka berempat pun masuklah ke dalam mobil. Imran yang menyopir.
Perlahan roda mobil bergerak meninggalkan rumah yang telah menaungi mereka
selama puluhan tahun. Ibu dan Sarah menatap rumah kecintaan mereka untuk yang
terakhir kalinya. Ibu kembali terisak dan sibuk dengan selendang yang menjadi
hijabnya. Sarah memeluk Ibunya, lalu menghapus airmata yang bercucuran di
matanya.
Beberapa saat kemudian sampailah
mereka di ujung desa Borqa. Di depan rumah Tuan Abdurrahman, Imran menghentikan
mobil.
“ Ayah, aku hanya sebentar,”seru Imran.
Ayah mengangguk. Ditatapnya punggung anaknya dengan bangga.
Imran mengetuk pintu. Namun walau telah ditunggunya beberapa saat, tidak
ada sahutan dari dalam rumah. Dengan entakan pelan pintu itu terbuka.
“ Assalammualaikum?Tuan Abdurrahman?Anda ada di dalam?”seru Imran.
Imran memasuki rumah dengan sungkan. Tidak biasa baginya memasuki rumah
orang lain tanpa ijin si empu rumah. Namun kali ini berbeda. Dia hendak pergi
meninggalkan desa itu. Mungkin untuk selamanya. Dan tak sopan rasanya jika dia
tidak berpamitan terlebih dalu pada gurunya itu. Aneh. Ada yang tak beres
dengan rumah itu. Rumah itu remang-remang. Bau apak menyengat hidungnya. Sinar
matahari yang menerobos lewat celah gorden, memantulkan bayangan yang membuat
dirinya kaget. Rumah itu berantakan. Laci meja tergeletak di luar mejanya.
Lampu berdiri, jatuh dan hancur di lantai. Lemari buku tampak berantakan.
Keluarga Tuan Abdurrahman telah pergi!
Imran keluar dari rumah dengan rona wajah bingung. Diputarinya mobil lalu
dengan lesu dia duduk di belakang kemudi. Ayahnya menangkap ketidakberesan atas
sikap Imran.
“ Imran? Ada apa nak? Kau baik-baik saja?”tanya Ayah.
“ Iya Ayah. Aku hanya terkejut, rumah mereka telah kosong sebelum kita
datang. Rupanya mereka telah diancam juga oleh pemuda berandalan itu.”
“ Ya sudahlah, mari kita teruskan perjalanan kita,”seru Ayah.
Imran menarik kopling lalu menginjak pedal gas. Lewat kaca spion,
ditatapnya desa yang telah menjadi tempat dia bertumbuh selama 20 tahun ini. Berbagai
kenangan dan cerita telah terukir di setiap jengkal tanah, pohon dan debu
desanya.
“ Selamat tinggal desaku, kali ini benar-benar selamat tinggal.”(rinz)