Kamis, 03 Juli 2014

CERPEN UNTUK PALESTINA



BENAR-BENAR SELAMAT TINGGAL



Sarah memunguti buah zaitun yang terjatuh diatas terpal. Buah zaitun yang hijau, segar, dan mengkilap itu diraupnya kedalam keranjang plastik oleh jemari mungilnya. Keringat menetes dari dahinya, mengalir melewati pipi halusnya, menggantung sejenak di rahang lembutnya, kemudian jatuh ke atas terpal, membentuk noda gelap. Rambut ikalnya tidak diikat dan dibiarkan terurai sepanjang punggungnya yang kecil. Gadis kecil berumur tujuh tahun itu memakai abaya katun berwarna hijau pastel yang sejuk. Kakinya  tidak beralas. Tingginya sudah mencapai satu meter tigapuluh centi. Alisnya menukik dan tebal. Matanya besar dan lentik. Bibirnya tebal dengan warna kemerahan alami. Ada rona kemerahan tersengat matahari tergambar di pipi halusnya. Dia tidak sekolah. Sekolah jauh dan mahal. Sarah dididik untuk menjadi seorang istri dan calon ibu yang cakap oleh sang Ibu, Khadijah, yang juga tidak pernah menginjak bangku sekolah. Namun, walaupun Sarah tidak pernah mengecap bangku sekolah, ia dididik untuk mendalami agama Islam. Ayahnya adalah seorang Imam di mushola kecil di desanya, Borqa, sebelah timur Ramalah. Khalid hafal 30 juz surat Al-Quran. Dan sejak dulu, secara turun temurun, keluarga mereka selalu dididik untuk  menghafal ayat-ayat Al- Quran. Karena keluarga mereka terkenal sangat fasih hafalan Quran-nya, banyak tetangganya yang meminta kepala keluarga mereka untuk menjadi Imam di mushola kecil mereka.
Sarah menatap ke arah langit biru yang  membentang di atas kebun milik kedua orangtuanya dipinggiran daerah Khirbat Al-Tira. Panen zaitun kali ini tidak seperti tahun lalu. Hasil tahun ini lebih melimpah. Pohon-pohon zaitun yang rindang dan telah berusia ratusan tahun itu agak bermurah hati pada keluarga mereka tahun ini. Pohon-pohon itu teduh, dengan batang pohon  berdiameter satu meter. Cabang-cabangnya yang rapat menghasilkan ribuan bunga mayang bakal buah. Daun-daun pohon zaitun berbentuk pipih dengan panjang sekitar delapan centimeter dan tebal.  Sarah senang tiduran di bawahnya dengan beralas sehelai tirai bekas warna biru. Karung-karung bekas gandum dipakai untuk membawa zaitun-zaitun itu ke kota untuk dijual.
Dulu, jika Ayahnya akan menjual zaitun-zaitun itu, maka ia  akan bermobil bersama Irsyad dan Imran, kedua kakak laki-lakinya. Kedua laki-lakinya juga tidak bersekolah. Hanya saja mereka belajar membaca dan menulis dari seorang tetangga yang baik hati, seorang pensiunan dosen dari Universitas An-Najah.  Kedua kakak laki-lakinya pintar. Mereka cepat mengerti ilmu yang diajarkan mantan dosen tersebut. Selain itu, mereka juga  telah khatam Quran ratusan kali.
Irsyad telah berumur dua puluh tahun. Wajahnya tampan dengan rambut yang juga ikal besar-besar seperti Sarah, yang dipotong sebahu. Rambut ikal mereka merupakan warisan kedua orangtua mereka. Irsyad telah menghafal 30 juz Al-Quran. Dia seorang pemuda yang kuat. Karenanya, ia selalu membantu di kebun zaitun dan kebun kurma milik tetangga. Kadang-kadang jika Ayahnya sakit, maka tugas Irsyad-lah menggantikannya menjadi Imam di  mushola. Suaranya merdu dan nyaring. Matanya tajam dan ceria. Cita-citanya hanya satu, membahagiakan Ayah dan Ibu. Sarah sangat menyayangi Irsyad, kakak tertuanya, karena Irsyad sering memanjakannya dan menggendongnya di punggung jika ia menangis.
Kakak laki-lakinya yang lain, Imran, berumur lima belas tahun dengan postur tubuh tinggi kurus. Matanya yang bulat dan besar selalu kelihatan berkaca-kaca. Imran lebih pendiam daripada Irsyad. Hafalan Qurannya baru 20 juz. Tapi dia sangat suka membaca buku-buku pengetahuan yang diberi oleh Tuan Abdurahman, mantan dosen yang mengajar mereka tulis dan baca. Tak pernah terlihat tangannya kosong dari buku. Buku-buku tentang tehnik mesin, perkebunan, atau musik, semua dilahapnya. Tempat membaca kesukaanya jika di rumah yaitu kebun belakang di bawah pohon Paloverde,  di kursi rusak yang dialasi kain bekas. Dia akan terus berada disana jika tidak sedang memanen zaitun, terselang oleh sholat dan makan. Seringkali Sarah memergokinya sedang menatap langit yang tengah beranjak senja. Tatapan matanya yang menerawang, menembus batas langit desa kami, mengembarakan otaknya entah kemana. Dia akan terus seperti itu jika saja adzan Magrib tidak berkumandang. Terkadang Imran berkhayal jika dirinya pergi meninggalkan rumahnya dan memulai kehidupan di belahan dunia yang lain. Jika dia dan Ayah pergi untuk menjual hasil panen zaitun, ia selalu mengucapkan selamat tinggal kepada desanya. Seakan dia hendak pergi jauh. Namun, dia selalu kembali lagi. Nyalinya tidak pernah terlalu berani untuk meninggalkan keluarga dan desa kelahirannya.
Suatu siang, tahun yang lalu,  Ayahnya membawa Irsyad ke kota Ramalah untuk menjual buah zaitun yang mereka miliki. Panen tahun kemarin hanya berupa dua karung gandum saja. Tapi sorenya, sang Ayah hanya pulang seorang diri saja. Entah kemana Irsyad pergi. Ketika Sarah menanyakan pada Ibunya, Khadijah hanya menangis. Ayahnya  lalu mendelik pada Ibunya ketika tangisan itu terdengar olehnya.
“Irsyad dibutuhkan oleh negara kita. Hapus airmatamu! Jangan membuat anakmu rindu karena kau terus mengingatnya. Dia anak titipan Allah. Kita sudah menunaikan kewajiban kita untuk mendidik dan membesarkannya. Setelah baligh dan dewasa, anak kita adalah milik Tuhan Pemilik Takdir. Jika dia memilih takdir yang baik, maka doakanlah olehmu. Biarkan doamu menjaganya dari ujian yang menimpanya. Bersabarlah istriku. Insyaallah anakmu akan menjadi simpanan terbaik kita kelak. Jadi sudahi tangisanmu itu”, ucap Khalid keras.
Setelah itu dia duduk dan menyandarkan punggung tuanya di dinding rumah. Matanya menatap langit-langit. Berkaca-kaca. Sarah hanya terdiam  tak mengerti, menatap kedua orangtuanya, yang tengah tenggelam dalam pemikiran masing-masing.
Sejak saat itu Sarah belum pernah lagi bertemu dengan Irsyad. Ia begitu kehilangan akan sosok kakaknya yang penuh kasih sayang. Begitu juga anggota keluarganya yang lain. Irsyad tidak pernah memberi kabar apapun. Namun setelah itu, Ayah dan Ibunya jadi sering melakukan sholat pada dini hari. Mereka berjamaah mengerjakan tahajud. Lantunan ayat-ayat Al-Quran yang dihafal Ayahnya menyelusup menembus pintu kamarnya. Sering Sarah bangun dan memperhatikan mereka. Jika telah begitu, Sarah akan meniru dan sholat di belakang mereka. Namun umurnya yang baru tujuh  tahun,  tidak bisa menahan kantuk yang menyerangnya.  Esoknya, ia akan bangun di kamarnya dengan masih mengenakan hijab lebar untuk sholat.
Pagi itu Sarah mendengar keributan dari ruang depan. Terdengar kata-kata bernada tinggi dan kasar dari orang yang belum pernah dikenalnya. Lalu Ayahnya membalas dengan lembut, berusaha mencairkan kemarahan orang yang membentaknya.
“ Tapi tuan, kami hanya petani biasa. Kami tidak punya tempat untuk bernaung jika tuan mengusir kami dari rumah kami sendiri. Rumah ini telah kami tempati sejak puluhan tahun yang lalu. Kami bahkan memiliki surat-surat dan dokumen aslinya!”
“ Aku tidak perduli! Siang ini kalian harus pergi dari rumah ini, atau aku akan mengusir kalian seperti anjing!”
Lalu terdengar suara pintu yang ditendang. Keributan itu kemudian menghilang tergantikan suara tangisan Ibunya. Terdengar suara Imran yang menghibur Ayah dan Ibunya.
“ Ayolah Bu, kita pergi saja dari sini. Kita tinggal sementara di kebun Zaitun lalu kita pergi ke Rammalah. Mungkin disana kehidupan kita akan lebih baik. Daripada disini, lambat laun, remaja tak tahu kesopanan dari Israel itu akan menyakiti kita. Aku bahkan takut mereka akan membunuh kita dan menguburkan mayat kita di kebun belakang.”
“ Tapi ini tanah kita Imran! Bagaimana bisa aku begitu saja menyerahkan tanah dan rumah yang telah kita tempati puluhan tahun yang lalu. Tanah dan rumah yang ingin kuwariskan kepadamu, kepada Sarah. Aku tak bisa merelakannya!”
“ Apa Ayah lebih memilih tanah dan rumah ini dibanding keselamatan kita? Mereka telah mengusir para petani yang ada di ujung desa. Hanya menghitung hari saja mereka akan mengusir kita atau membunuh kita. Sadarlah Ayah!”
Sarah melangkah dengan takut-takut ke arah ruang depan lalu memeluk Ayahnya yang tengah menekuri diri. Ibunya mengatupkan selendang untuk menutupi tangisnya.
“ Apa kau tak menyesal Imran?”tanya Ayah.
Imran berdiri. Matanya memancarkan tekad bulat.
“Tidak Ayah! Aku yakin, cobaan ini tidak semata-mata diujikan pada kita selain karena kita mampu! Bumi Allah itu luas Ayah. Walau, aku juga ingin berperang dengan mereka sampai titik darah penghabisan seperti Kak Irsyad yang telah mujahid di Gaza. Namun Ayah, insyaallah, kita masih punya banyak kesempatan. Setiap orang mempunyai medan jihadnya sendiri-sendiri. Ayo kita pergi dari sini untuk menyelamatkan iman,agama dan harga diri kita. Biarlah mereka mengambil semua yang pernah kita miliki! Semoga Allah membalas perbuatan mereka!”seru Imran.
Ayah sejenak terpaku mendengar perkataan Imran yang panjang lebar. Lalu senyum lebarnya tersungging di wajahnya yang arif.
“ Alhamdulillah, engkau telah dewasa Imran! Aku setuju dengan engkau anakku! Marilah kita berkemas dengan hal yang perlu saja. Aku akan memeriksa mobil. Semoga Allah meridhoi keputusan kita,”seru Ayah.
Imran mengangguk. Lalu dia membelai rambut Sarah,
“ Sarah, bereskan beberapa pakaian milikmu. Simpan di dalam buntalan taplak meja atau gorden. Kita akan bepergian yang jauh.”
Sarah mengangguk lalu berlari ke kamarnya. Imran memeluk Ibunya lalu berkata,
“Bu, kita hanya punya waktu sampai hari ini. Maka kuatkanlah hatimu! Kita akan pergi bertamasya! Anggaplah seperti itu. Pengorbanan kita tidaklah sebanding dengan pengorbanan Irsyad yang telah syahid!”
“ Baiklah Imran. Jika Ayahmu sudah setuju denganmu, maka Ibu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mari kita pergi!”
Ibu dan Imran lalu mulai membereskan barang-barang yang akan mereka bawa. Ada 4 buah selimut tebal berlapis wol yang dilipat dan diikat di karpet. Imran memasukkan beberapa pasang sepatu cadangan dalam karung. Beberapa foto yang menggantung  di dinding, di masukkannya ke dalam tas ranselnya. Lalu dia mengumpulkan bahan makanan, seperti acar zaitun yang dimasukkan dalam botol selai kaca, sekarung tepung terigu, 5 jerigen plastik minyak zaitun yang hendak di jual di Ramallah, 10 kaleng daging cingcang, sekilo bawang bombay, bawang putih, teh, kopi, 5 kilo beras, bermacam-macam bumbu dapur seperti lada, ketumbar, dill, adas manis, kayu manis, jinten, jeruk lemon, saffron. Tidak lupa juga saus tahini, ghee, kuskus, dan satu jeriken plastik yoghurt. Semua itu kemudian dimasukkan ke dalam bagasi mobil, kecuali selimut yang tersimpan di pojok jok mobil. 
Ibu datang dan memasukkan buntelan berisi pakaian ke dalam bagasi. Ayah sedang mengisi bensin dengan persediaan bensin dari botol kaca. Sarah datang tergopoh-gopoh karena kerepotan membawa buntelan berisi pakaiannya sendiri. Imran memeriksa semuanya dengan puas. Ditatapnya langit yang naik sepenggalan seakan mengingatkan dirinya untuk dhuha. Tiba-tiba dirinya teringat akan Tuan Abdurrahman yang tinggal di ujung desa. Entah bagaimana nasib mereka kini. Imran menoleh pada Ayahnya.
“Ayah, sebelum kita pergi, bolehkah kita mampir ke rumah tuan Abdurrahman? Aku ingin mengucapkan selamat tinggal padanya,”seru Imran.
“ Tentu saja anakku, dia adalah gurumu.”
Mereka pun lalu masuk ke dalam Peugeot 206 yang mulai berkarat disana-sini. Untungnya mesin mobil mereka sering dirawat dan dibersihkan Imran. Begitu juga dengan knalpot, karburator, oli dan rem. Semuanya berkat bimbingan Tuan Abdurrahman. Mereka berempat pun masuklah ke dalam mobil. Imran yang menyopir. Perlahan roda mobil bergerak meninggalkan rumah yang telah menaungi mereka selama puluhan tahun. Ibu dan Sarah menatap rumah kecintaan mereka untuk yang terakhir kalinya. Ibu kembali terisak dan sibuk dengan selendang yang menjadi hijabnya. Sarah memeluk Ibunya, lalu menghapus airmata yang bercucuran di matanya.
Beberapa saat kemudian  sampailah mereka di ujung desa Borqa. Di depan rumah Tuan Abdurrahman, Imran menghentikan mobil.
“ Ayah, aku hanya sebentar,”seru Imran.
Ayah mengangguk. Ditatapnya punggung anaknya dengan bangga.
Imran mengetuk pintu. Namun walau telah ditunggunya beberapa saat, tidak ada sahutan dari dalam rumah. Dengan entakan pelan pintu itu terbuka.
“ Assalammualaikum?Tuan Abdurrahman?Anda ada di dalam?”seru Imran.
Imran memasuki rumah dengan sungkan. Tidak biasa baginya memasuki rumah orang lain tanpa ijin si empu rumah. Namun kali ini berbeda. Dia hendak pergi meninggalkan desa itu. Mungkin untuk selamanya. Dan tak sopan rasanya jika dia tidak berpamitan terlebih dalu pada gurunya itu. Aneh. Ada yang tak beres dengan rumah itu. Rumah itu remang-remang. Bau apak menyengat hidungnya. Sinar matahari yang menerobos lewat celah gorden, memantulkan bayangan yang membuat dirinya kaget. Rumah itu berantakan. Laci meja tergeletak di luar mejanya. Lampu berdiri, jatuh dan hancur di lantai. Lemari buku tampak berantakan. Keluarga Tuan Abdurrahman telah pergi!
Imran keluar dari rumah dengan rona wajah bingung. Diputarinya mobil lalu dengan lesu dia duduk di belakang kemudi. Ayahnya menangkap ketidakberesan atas sikap Imran.
“ Imran? Ada apa nak? Kau baik-baik saja?”tanya Ayah.
“ Iya Ayah. Aku hanya terkejut, rumah mereka telah kosong sebelum kita datang. Rupanya mereka telah diancam juga oleh pemuda berandalan itu.”
“ Ya sudahlah, mari kita teruskan perjalanan kita,”seru Ayah.
Imran menarik kopling lalu menginjak pedal gas. Lewat kaca spion, ditatapnya desa yang telah menjadi tempat dia bertumbuh selama 20 tahun ini. Berbagai kenangan dan cerita telah terukir di setiap jengkal tanah, pohon dan debu desanya.
“ Selamat tinggal desaku, kali ini benar-benar selamat tinggal.”(rinz)