Selasa, 01 April 2014

KENZI



Kenzi

Hujan deras membasahi tanah dengan sekejap. Petir menyambar-nyambar dengan ganasnya di langit yang berawan  kelabu. Setiap mahluk hutan Gunung Gede, Pangrango, berteduh di rerimbunan pohon, mencoba menghangatkan diri dari serbuan rasa dingin yang menerpa mereka. 2 orang pemuda, Kenzi dan Tegu, tengah berteduh di bawah pohon dengan mengatupkan tudung jaket diatas kepala mereka. Kenzi mendekapkan kedua tangannya didepan dadanya. Rasa khawatir tergambar jelas di wajah orientalnya.
“Guh, bagaimana nih? Kita cuman 2 kilometer dari pos terdekat. Kalau mau tidak telat, kita harus berani turun.”
“Kamu gila apa? Tidak dengar petir menggelegar seperti itu?”ujar Teguh jengkel.
Kenzi menatap G-Shock birunya.
“Tidak ada  waktu lagi Guh, atau kamu mau kita dicoret dari MAPALA?”seru Kenzi tak sabar.
“Sabar Kenzi, sabar. Kamu mau mati tersambar petir hah?!”
“Mati atau tidak itu urusan Tuhan, Sobat,”sahut Kenzi.
Satu halilintar menyambar 10 meter diatas langit tempat mereka berteduh. Bunyi pohon terbelah terdengar dari tempat mereka. Wajah Teguh memucat. Mereka saling berpandangan.
“Kalau kita diam, kita bisa seperti itu juga Guh,”ujar Kenzi kecut.
Hujan deras membuat penglihatan kabur. Jarak penglihatan hanya sekitar 2 meter. Kenzi mengyeletingkan reslueting jaket tebal birunya. Tekad bulat tergambar di wajahnya. Kakinya melangkah dari tempet mereka berteduh.
“Ayo Guh!!”seru Kenzi.
Tiba-tiba sekelebat cahaya berpijar di depan mata Kenzi. Suara ledakan terdengar dekat sekali di telinganya. Terdengar suara orang memanggilnya. Namun, cahaya yang membutakan itu merengut kesadarannya. Hanya tercium aroma terbakar yang entah apa. Lalu, seketika alam mendadak gelap gulita.*
Jemari Kenzi yang terbalut perban perlahan bergerak. Kenzi mencoba membuka matanya yang terasa berat. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan ngilu. Seluruh tubuhnya juga terbalut kain kasa seperti mumi. Kenzi mengerang. Namun hanya geraman pelan keluar dari mulutnya. Ibunya menggeliat, mencari posisi tidur yang lebih nyaman sebelum kemudian terjaga. Dengan takjub, ditatapnya jemari Kenzi yang bergerak patah-patah. Secepat kilat Martha berlari ke tempat tidur Kenzi.
“ Kenzi? Anakku, kamu siuman nak?”tanya Martha penuh harap.
Kenzi mendengar suara ibunya. Namun, dia tidak bisa melihatnya. Matanya gelap total. Tak ada secercah cahaya yang bisa memantulkan bayangan ibunya. Dirinya panik. Tangannya yang sakit digerak-gerakkanya dengan kalap. Berulangkali dia menepuk wajahnya, namun tetap saja gelap itu merajai matanya. Kenzi berteriak, namun hanya geraman tak jelas keluar dari mulutnya. Ia tidak bisa melihat! Dirinya buta! Airmatanya merebak dan merembes dari kain kasanya. Dunia seakan berakhir baginya. Dia buta. Buta!
 Martha melihat keadaan anaknya dengan perasaan hancur. Anak laki-laki yang selalu dibanggakannya kini hanya bisa menunduk tak berdaya di depannya. Anaknya yang selalu menjadi juara 1 sejak di SD dulu. Yang menjadi pelatih Tae Kwon Do di 2 Dojo yang mereka milki.. Anaknya yang calon dokter, yang 5 bulan lagi akan diwisuda. Kini yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk bahu anaknya dan turut menangis. **
Martha memapah Kenzi ke dalam kamar tidurnya. Tiga bulan  berlalu sejak Kenzi tersambar petir di Gunung Gede, Pangrango.  Kini Kenzi duduk di atas ranjangnya sendiri yang empuk. Kain kasa yang membelit tubuhnya telah dibuka sebulan yang lalu. Luka bakarnya telah mengelupas. Kulitnya yang baru mulai tumbuh hingga Kenzi merasa kulitnya gatal dan sedikit kemerahan. Luka bakar di matanya juga telah sembuh. Dokter berkata petir telah membakar kornea matanya. Kemampuan melihatnya hanyalah 10 persen. Satu-satunya jalan agar Kenzi bisa melihat kembali adalah dengan jalan operasi. Itu juga jika ada donor mata yang sesuai. Pupus sudah hasil kerja kerasnya selama 6 tahun kuliah kedokteran. Semuanya hilang  dalam sekejap gara-gara dirinya tersambar petir. Kenzi menangis diam-diam diatas bantal. Menangisi nasibnya hingga dirinya terlelap.
Sesuatu membuat matanya perih. Kenzi lalu menggosok matanya perlahan. Akhirnya Kenzi bangkit dari tempat tidurnya. Dengan meraba sekitar dan mengandalkan ingatannya, Kenzi mencari jendela. Kamarnya terasa pengap. Dia butuh udara segar. Dirabanya kunci jendela, lalu dibukanya perlahan daun jendela itu. Bermacam aroma menyerbu hidungnya. Aroma dedaunan yang tajam. Pucuk mawar yang baru mekar menguarkan aroma lembut dan manis. Aroma jerami dan rerumputan kering dari sarang burung yang terjemur matahari menusuk-nusuk pula di hidungnya. Kenzi tertegun. Ada bayangan merah kecil tergambar di matanya yang buta. Bayangan merah kecil itu menyerupai bentuk anak-anak burung. Mereka bergerak, berkeciapan. Hati Kenzi tersentak. Dia bisa melihat bayangan anak burung itu. Kenzi termangu  sesaat.
“Kenzi? Waktunya makan siang Nak,” suara Ibunya membuyarkan lamunan Kenzi.
Kenzi berbalik. Dan dibalik matanya yang buta, dia bisa melihat bayangan Ibunya memancarkan siluet merah yang sama. Ibunya memegang sesuatu seperti baki. Dari baki itu tercium bau lezat yang mengundang selera. Soto ayam Madura kesukaanya! Dengan aroma bawang goreng dan taburan seledri segar. Ada juga harum sambal ijo yg diulek kasar dan diberi kucuran minyak panas. Kenzi hampir saja meneteskan air liurnya. Ibunya bergerak kearah meja. Namun, sandal rumahnya tersangkut pada karpet Persia empuk yang dihamparkan di kamar Kenzi.
“Aaahh…”jerit Martha.
Mangkuk panas berisi soto ayam itu terlempar ke udara dan mendarat berantakan di atas kasurnya. Kuah kuningnya, telur dan bihun, menyebar cepat diatas sprei putih.
“Kenzi ? Makan siangmu…,”desah Martha menyesal.
Martha hendak bangkit dari posisinya yang aneh. Badannya setengah terjatuh, namun tangan Kenzi yang kokoh memeluk perut Ibunya sehingga Ibunya tidak jadi terjerembab ke atas tumpahan sambal ijo yang pedas luar biasa yang jatuh di karpet. Posisi Kenzi setengah berlutut di samping Ibunya, memeluk perutnya.
“Aduh jadi berantakan deh kasur kamu Kenz,. Maafin Ibu yang teledor ya? Ibu tidak hati-hati tadi.”ucap Martha seraya bangkit dan membereskan kekacauan itu.
Kenzi  berdiri dengan heran. Ketika tadi menahan Ibunya, Kenzi merasakan getaran listrik lembut yang berasal dari tubuh Ibunya. Getaran listrik itu membimbing tangannya untuk menahan Ibunya dari terjatuh. Ditatapnya siluet Ibunya yang memancarkan sinar kemerahan. Kenzi tertegun. Kini ia baru menyadari jika matanya bisa melihat benda yang memiliki panas. Matanya bisa melihat seperti infra merah. Menembus gelap kebutaan matanya. 
                                                                  ***
Kenzi bisa mendengar lalu lalang kendaraan. Hidungnya yang bertambah peka sejak ia kehilangan matanya, mencium bau karbon dioksida yang berasal dari knalpot kendaraan. Sebuah warung tenda yang menjual bakso, menguarkan aroma kaldu sapi. Kenzi tiba-tiba merasa mual. Semua aroma itu menyerbu hidungnya. Berbaur dan membuatnya pening. Dengan tergesa, Kenzi menutup hidungnya dengan tisu. Dengan lega ia menarik nafas. Aneka aroma itu sedikit tertahan oleh tisu. Dengan lega dia bersandar pada mobilnya yang terparkir di luar salon Les Meribles, salon langganan Ibunya.
Tiba-tiba dari kejauhan telinganya yang juga bertambah tajam, mendengar bunyi decitan ban. Ditatapnya asal bunyi itu. Kenzi bisa melihat banyak orang yang memancarkan sinar kemerahan dari tubuhnya. Tapi ada dua orang yang tengah terduduk di sebuah mobil, melaju kencang ke arahnya. Sinar kemerahan yang dipancarkan kedua orang itu berpijar. Di belakang mereka berdua ada satu sosok yang terbaring di jok belakang. Sinar kemerahan yang dipancarkannya meredup. Terdengar bunyi klakson yang memekakkan telinga dari mobil kedua orang itu. Mobil kedua orang itu berusaha menghindari sebuah truk pengangkut tabung gas 3 kilo yang keluar dari area parkiran. Sopir Innova itu membanting stir ke kiri, tepat ke halaman salon Les Mirables. Mobil itu meluncur bebas melewati halaman parkir dan menabrak tembok salon. Beberapa saat kemudian banyak wanita pengunjung salon yang berteriak ketakutan, keluar dari pintu salon.
 Kabut asap keluar dari  kap mesin mobil. Sopir mobil itu dan kedua penumpangnya, pingsan tak sadarkan diri. Kenzi yang melihat kejadian itu lewat mata infra merahnya, bergegas menghampiri. Langkahnya tegap dan tidak ragu-ragu. Dirabanya pintu mobil yang naas itu. Pijar kemerahan dari tubuh sang sopir masih memnacar kuat. Dengan perlahan ditariknya tubuh lunglai itu dari jok . Ada beberapa orang yang membantunya kini. Penumpang yang satunya lagi juga telah dikeluarkan. Kenzi mengalihkan tatapannya kea rah penumpang yang tergolek di jok belakang. Gawat. Pijar kemerahan dari tubuhnya semakin meredup. Kenzi membuka pintu geser mobil dan mulai memeriksa urat nadi di leher sosok itu. Detak jantungnya lemah dan semakin lemah. Kenzi mencoba memusatkan konsentrasinya. Namun dia tidak tahu kondisi sosok dihadapannya itu. Yang pasti, sosok itu tengah dalam keadaan koma dan perlu pertolongan segera.
“Panggil ambulan! Ada yang sekarat disini!”teriak Kenzi. Sosok itu mulai berhenti bernafas. Dadanya berhenti memompa oksigen ke dadanya. Pijar kemerahan itu tambah memudar dari tubuhnya.Kenzi menggelengkan kepalanya.
“Tidak, tidak! Kamu tidak boleh mati disini! Kamu tidak boleh!”bisik Kenzi. Dipompanya dada tubuh sosok itu. Namun sosok itu tetap belum bernafas.
“Ayo, ayo!”ucap Kenzi.
” Tuhan berikan keselamatan pada orang ini.”doanya penuh kesungguhan.
Tiba-tiba tangannya seperti kesemutan. Kenzi merasakan aliran energy listrik mengalir dari tangannya. Rasanya sakit. Namun otak Kenzi bekerja cepat. Disentuhnya dada tubuh orang itu. Dan tubuh orang itu melonjak karena kejutan energy listrik dari kedua tangannya. Kenzi menyentuh tubuh itu sekali lagi. Lalu perlahan, tubuh orang itu memancarkan pijar kemerahan yang semakin memerah. Kenzi mengulurkan tangannya hendak meraba nadi, namun tangannya sontak ditarik kembali. Dia takut listrik dari tangannya itu kembali menyengat orang itu dan malah berakibat fatal. Kenzi menoleh pada orang-orang yang berkerumun di belakangnya.
“Pak tolong dilihat, dia sudah bernafas lagi atau tidak?”ucap Kenzi seraya memundurkan tubuhnya dari mobil.
Bapak itu memeriksa nadi dan hidung tubuh orang yang tadi diambang kematian tadi.”Sudah bernafas Dik.”seru Bapak itu.
Kenzi mengangguk.”Dia harus ke rumah sakit Pak. Harus dirawat segera. “
“Baik, Dik. Hey Bobbi, kamu bawa mobil kan?Ayo kita ke rumah sakit!”
Kenzi berjalan perlahan diantara kerumunan orang-orang yang melihat kejadian itu. Tangannya di sedekapkan ke dadanya. Beberapa meter dari lahan parkir yang penuh dengan orang, Kenzi berdiri sambil menatap tangannya. Walau matanya tidak bisa melihat, namun kini kedua tangannya bisa mengalirkan energy listrik yang menyelamatkan nyawa seseorang. Kenzi menangis. Bukan karena menangisi nasibnya kali ini, tapi karena bersyukur ia masih diberi kesempatan untuk hidup dan menolong orang lain..(rinz)

khadam padang pasir



KHADAM  PADANG PASIR

Yuri termenung menatap dinding berkeramik merah muda itu. Ada sesuatu yang membakar di hatinya. Aku ingin pulang! Aku ingin pulang! Kemarahannya berangsur memuncak. Yuri menjerit sambil memukul dinding.
 “Aku ingin pulang!Kenapa aku masih disini!Apa salahku!”
Laki-laki yang tambun dan berkulit gelap itu membanting gelas plastik ke jeruji pintu.
”Diaaam!!”
Para petugas bermunculan dari ruang tunggu. Yuri merasa geram. Secepat kilat dia berlari memasuki kamar mandi. Pintunya dia kunci. Dan menangislah dia disana sepuasnya.
“Hey, keluar! Sedang apa kamu?” seru seseorang dari balik pintu.
 Yuri meringkuk di sudut kamar mandi sambil menangis. Beberapa saat kemudian pintu terbuka dengan suara keras. Laki-laki tambun itu merengut paksa tangan Yuri hingga berdiri dari ringkukannya. Yuri memberontak dan berteriak. Sekuat tenaga dia mencoba melepaskan diri dari laki-laki itu. Dia berusaha mencakar dan memukul laki-laki gemuk itu. Namun tenaganya kalah jauh. Laki-laki itu menundukkan tubuh Yuri ke lantai. Ditahannya kedua tangan Yuri.
“Aku ingin pulang sialan! Aku hanya ingin pulang! Lepaskan!Lepasakan!”jerit Yuri. Seorang laki-laki lainnya membawa suntikan. Dengan cepat  dia menyibak rok panjang dan  menusukkan suntikan itu dipaha Yuri. Yuri bisa merasakan ketika jarum itu ditarik dari pahanya. Airmatanya mengalir di kedua pipi halusnya. Dia merasa dizalimi. Demi Allah, dia tidak akan pernah lupa kejadian ini. Tidak akan!
*******
Yuri menatap keluar jendela. Awan-awan berarak dan menggumpal-gumpal. Yuri mendesah. Dalam khayalannya, dia ingin sekali terjun kedalam lembutnya gumpalan awan itu. Meloncat dengan riang diatasnya lalu tidur disana. Tapi itu tidak mungkin. Karena jika pintu pesawat itu dibuka, maka seluruh isi pesawat akan tersedot keluar. Angin akan membanting mereka kesana kemari sebelum gravitasi bumi menarik mereka kedalam hamparannya.
Inilah kali pertama ia menapakkan kakinya dibandar udara Riyadh, Arab Saudi. Penerbangan keduanya untuk hari ini. Pesawat perintis itu menurunkan Yuri dan ratusan TKW lain dari Indonesia  di bandara Abu Dhabi. Sekelompok TKW yang akan dibekerjakan di Abu Dhabi, akan melanjutkan perjalanan mereka dengan bis agen. Sedangkan TKW yang bekerja di Arab Saudi harus menaiki pesawat terbang lagi walau dengan waktu 30 menit.
Tahun itu virus flu burung sedang mewabah di negera Asia. Jadi disetiap Bandara, terdapat video berinfra merah, antisipasi dari serangan virus asia. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, Yuri dan TKW lainnya harus menunggu dijemput sang majikan di sebuah ruangan berukuran 7 kali 10 meter. Ada ranjang susun dengan kasur lapuk dan bantal. Ada kursi, karpet, dan makan siang berupa nasi briyani dengan potongan ayam diatasnya. Yuri sempat memakan makan siangnya yang lezat sebelum majikannya datang menjemputnya. Dia juga berkenalan dengan beberapa TKW dari daerah lain.
Majikannya, Khalid bin Abdurrahaman al Rivai,  adalah seorang manager bank di Riyadh, Arab Saudi. Wajahnya bulat dengan kedua mata yang besar dan lentik. Hidungnya mancung khas Arab dan bibirnya kecil. Suaranya berat dan menenangkan. Khalid tinggal di hotel selama hari kerja, lalu pulang ke keluarganya sendiri yang ada di Dawadmi. Desa kecil yang jauh dari Riyadh itu dikunjunginya seminggu sekali. Perjalanan menuju Dawadmi  sangat lancar karena jalanan lengang. Di kanan kiri jalan terbentang padang pasir dan bukit-bukit berbatu. Yuri teringat kisah Nabi Muhammad saw. Airmatanya menetes diam-diam di sudut matanya. Dirinya bagai terjaga dalam mimpi. Dirinya ini berada di tanah yang sama dengan tanah kelahiran Nabi yang tercinta. Dengan mata berkaca-kaca karena mengingat perjuangan berat Nabi Muhammad saw mendakwakan Islam, Yuri berusaha mengingat pemandangan tanah Arab.
  Perjalanan itu memakan waktu 8 jam. Tiap adzan berkumandang, mereka menyempatkan untuk sholat dan istirahat di mushola yang tersedia di sisi jalan setiap beberapa kilometer. Hari itu Yuri melihat kawanan unta melenggang dijalan raya yang mulus membelah padang pasir. Mereka tidak takut pada suara klakson mobil. Bahkan mereka membalasnya dengan mengeluarkan ringkikan. Ada  juga pertanian sayuran yang disiram melalui sebuah mesin  berpipa dengan lubang banyak yang berputar-putar ke setiap lahan. Yuri menatap para penggembala yang berwajah khas Arab. Berhidung mancung dan bermata coklat. Kulit mereka retak-retak tanda sering terpanggang matahari.
Akhirnya sampailah mereka di Dawadmi. Rumah Khalid berada dekat pintu gerbang kawasan keluarganya. Rumah orangtua Khalid berada dibelakang rumah besar milik kakaknya. Rumah orangtua istrinya, Sophia, ada disisi kanan rumah. Sedangkan rumah kakak dan adiknya, menyebar ke bagian kiri dari rumahnya. Kumpulan rumah klan Al Rivai membentang luas dari klan-klan tetangganya di desa Dawadmi itu.
Walaupun kaya, rumah Khalid di Dawadmi biasa-biasa saja. Ruang tamu  dibiarkan kosong dari furnitur. Dapurnya kecil namun nyaman. Ada sebuah kulkas besar merek Sharp di sudut, di sebelahnya kompor gas yang memilki pemanggang, tempat mencuci piring dengan raknya. Lalu ada lemari berisi simpanan terigu, rempah-rempah, kopi, teh hitam, teh hijau, ghee(mentega dari lemak kambing), biscuit dan toples-toples kosong. Ada 4 buah termos kosong dengan motif bunga yang cantik berjajar rapi. Sebuah penghangat makanan yang tak dinyalakan terdiam di sudut lemari.
Yang membuat Yuri heran adalah kamarnya. Tempat ia tidur adalah sebuah gudang panas dengan banyak barang persediaan musim dingin. Ada perabot berdiameter besar yang berlapis debu, tergantung di dinding. Belum tumpukan kardus besar berisi peralatan makan yang sengaja disimpan. Sebuah ranjang yang terdiri dari tumpukan selimut tebal dan kasur busa yang sudah layu.Yuri disuruh untuk beristirahat. Besok pagi pekerjaanya baru dimulai.
***
Yuri terbangun dengan terengah-engah. Mimpinya barusan sangat menakutkan. Sebuah wajah dengan tampang mengerikan mendekati wajahnya yang sedang tertidur. Yuri bisa merasakan hangat nafas wajah itu menghembus pipi kirinya. Yuri menatap ke sekeliling gudang. Tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama. Ditatapnya jam alarm, 03.20. Waktu Shubuh masih lama. Dan dia masih merasakan lelah dan pegal akibat terbang  dan naik mobil dari Riyadh ke Dawadmi. Dicobanya untuk tidur lagi.
Wajah  mengerikan itu datang lagi diiringi suara tawa yang memekakkan telinga. Yuri yang tidur dengan miring, merasa dirinya dipeluk dengan erat. Sekuat tenaga Yuri mencoba membuka matanya. Aneh, matanya seperti susah dibuka. Yuri mencoba untuk meronta. Namun tangannya tidak bisa digerakkan. Panik, Yuri mencoba berteriak. Tapi mulutnya tetap terkatup. Yuri semakin merasakan pelukan itu semakin erat mencengkeram tubuhnya. Cengkeraman itu membuat nafasnya terasa sesak. Pening kepalanya mulai menguasai dirinya. Sebentar lagi dia pasti pingsan. Namun sudut otaknya berteriak untuk membaca ayat Kursi dan Qulhufalaqbinnas. Dalam hati Yuri membaca ayat Kursi dan Qulhufalaqbinnas dengan tartil. Seiring dengan dibacanya ayat demi ayat, cengkraman itu mulai melemah. Yuri membuka paksa matanya. Matanya terbuka. Ditatapnya sekeliling ruangan dengan ketakutan. Namun tidak ada siapapun disana. Yuri mencoba menggerakkan jemarinya dan bangkit dari ranjang. Tubuhnya terasa pegal. Tenggorokannya kering. Bayangan mengerikan dan cengkraman kuat itu membuatnya tidak bisa terlelap lagi. Yuri duduk ketakutan sembari membaca doa-doa yang dihapalnya. Dari kejauhan terdengar sayup-sayup adzan Shubuh berkumandang.(bersambung)*



MNENUNGGU KEAJAIBAN



MENUNGGU KEAJAIBAN



“Menunggu keajaiban Mas,”ujar Elsa
“Menunggu keajaiban?”hardik Yanto, suaminya.
Nada tinggi dari suara suaminya itu seakan menembus gendang telinganya. Diraihnya kemeja Yanto yang kerahya sudah robek. Lalu diambil juga tempat benang dan jarum dari atas meja. Mata Elsa memanas.
“Iya, menunggu keajaiban Mas,” tegas Elsa lirih.
Yanto  mendengus.
 “Coba sekarang mana keajaiban  yang kamu tunggu itu?Mana? Sudah seminggu kita hidup kekurangan uang. Kamu masak tempe sama asin terus. Aku juga jadi ga bisa beli rokok!”
Elsa berusaha menabahkan hatinya yang terasa sakit. Dengan sabar dijahitnya kerah kemeja suaminya itu.
“ Jangan diam saja! Coba mana keajaiban yang kamu janjikan? Mana? Nol besar kan?”keluh Yanto seraya menyulut sebatang rokok lagi.
 Elsa menatap suaminya dengan sedih
“Jadi Mas ga percaya janji Allah dalam Al-Quran?”
“Bukan begitu maksud Mas. Elsa, kita hidup di dunia ini harus realistis aja deh. Kalau kamu mengharapkan balasan 10 kali lipat dari balasan sedekah kamu tanpa usaha, itu namanya konyol! Tidak akan ada uang yang menghampiri kita dengan segitu gampangnya!”
Yanto dengan kesal menghempaskan pantatnya ke balai bambu. Hembusan rokoknya menyebabkan kamar menjadi berkabut.
“Elsa yakin Mas, balasan dari Allah lebih baik dan lebih besar dari uang yang kita sedekahkan. Mas harus percaya pada Elsa. Bukan! Mas harus percaya pada Quran! Kan ada ayat yang menyebutkan, barangsiapa menyedekahkan satu maka balasannya adalah 10 kali lipatnya, atau seratus kali lipatnya atau seribu kali lipatnya atau berapapun kali lipat yang Allah hendaki . Kita hanya harus percaya Mas.”
“Mas percaya Sa. Cuma, uang yang kamu sedekahkan itu gede!Limaratus ribu!Coba bayangkan uang lima ratus ribu itu kalau dibelanjakan bisa buat beli barang apa saja. Beras, minyak, ayam, daging sapi, cicilan motor…”
“Rokok!”sela Elsa sebal.
Yanto menatap istrinya dengan masam.
” Banyak tetangga kita  yang lebih kaya dari kita Elsa. Biar saja mereka yang sedekah pada pembangunan mesjid itu. Kita ini orang miskin. Hidup pas-pasan begini sok sedekah lagi!”
Elsa menurunkan tangannya dengan kesal.
“Tapi Elsa juga ingin harta kita ambil bagian dalam pembangunan Mesjid Mas. Ga cuma orang kaya yang bisa sedekah. Kita juga bisa.”   Elsa menghela nafas,
”Lagipula uang itu kan uang hasil tabungan Elsa.”
“Iya, tapi dari Mas juga kan? Mas ngasih duit itu untuk masak, bukan buat disedekahin!”seru Yanto ikut kesal.
“Allah tidak akan membiarkan orang yang bersedekah di jalan Allah menderita Mas. Walau kita ga punya uang buat masak, pasti Allah akan memberi kita rezeki. Bisa saja nanti siang ada yang ngirim masakan, atau kita diundang kenduri misalnya, atau apa gitu,”ucap Elsa.
Yanto mengacak-acak rambutnya.Dia merasa heran mengapa dia dulu pernah jatuh cinta pada Elsa. Dulu kelihatannya Elsa seorang gadis yang anggun, pikir Yanto. Tipe gadis yang akan menurut pada suami, manut, patuh, tidak banyak tanya, tidak banyak menuntut. Dan kini setelah menikah, dia harus menelan pil pahit itu. Elsa ternyata cerewet dan penuntut. Elsa tak segan menegurnya jika ia tidak sholat. Elsa juga akan menegurnya jika dia pulang subuh-subuh sehabis menonton orang yang meronda sambil bermain catur atau kartu remi. Elsa adalah seorang perempuan yang merasa dirinya benar dan pintar, batin Yanto sebal. Gara-gara setiap shubuh istrinya nonton ceramah Yusuf Mansyur di teve, Elsa merasa harus mengikuti hal-hal yang dianjurkan Ustadz itu. Sedekah limaratus ribu!
Kekesalannya memuncak.
“Nurut aja apa yang Mas bilang! Kenapa sih maunya kamu tuh bertengkar aja. Kamu tuh istri!Harus manut ama suami!”
Elsa menatap suaminya.
”Elsa akan manut kata-kata Mas, kalau kata-kata Mas menyuruh pada kebaikan. Sedekah buat pembangunan Mesjid kan kebaikan Mas. Kenapa Mas melarang?”
Yanto menekan puntung rokok ke dalam asbak kaca.
”Susah ngomong ama kamu!Menyesal aku nikahin kamu!” seru Yanto seraya berlalu meninggalkan Elsa.
Elsa mendengar suara pintu depan yang dibuka dan ditutup dengan kasar. Elsa menunduk terdiam. Airmatanya jatuh satu satu. Namun cepat dihapusnya airmata itu. Dia mengingat ayat Quran yang dihapalnya,“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Segera diambilnya wudhu. Dalam sholat sunat itu, hatinya memohon kekuatan agar selalu dikuatkan dan disabarkan. Ketika Elsa membaca Quran, matanya terpaku pada ayat:”…dan sesungguhnya Allah menurunkan Al-Quran bukan untuk menyusahkanmu. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bertakwa. Bagi mereka ada rezeki dan ampunan Tuhannya.”
Elsa terisak. Bukan karena kesedihan kali ini, tapi karena kelemahannya yang begitu manusiawi. Tiba-tiba terdengar suara Ibu kost-nya memanggil dari pintu depan. Elsa cepat membereskan mukenanya, mengenakan jilbab ungu lalu keluar kamar. Ditatapnya Ibu Maemunah sedang menenteng  rantang enamel berwarna putih 3 tumpuk.
“Ibu tadi dari selamatan orang yang menikah. Ibu sudah makan enak disana. Eh pulangnya malah dibekali lagi 3 rantang. Padahal tadi pagi Ibu sudah masak Soto Madura buat Bapak. Dirantang bawah ada kue cucur, bugis sama onde-onde kesukaanmu. Ibu jadi ingat sama kamu. Kamu kan paling suka cucur, bugis sama onde-onde. Ini buat kamu saja ya Sa,” seru Ibu Maemunah seraya menyerahkan  rantang itu ke tangan Elsa. Elsa menerimanya dengan terharu.
”Terima kasih Bu,”jawab Elsa.
“Udah ya Ibu pergi dulu. Dimakan tuh makanan. Jangan dikasihin lagi ke orang.”
Elsa mengangguk seraya tersenyum. Ditatapnya punggung Ibu kost-nya itu. Ingatannya terbayang ayat Quran yang tadi dibacanya.
 “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”…dan sesungguhnya Allah menurunkan Al-Quran bukan untuk menyusahkanmu. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bertakwa. Bagi mereka ada rezeki dan ampunan Tuhannya.”
Elsa mengusap tutup panci  yang terasa hangat dengan tangan gemetar.
“Alhamdulillah…”bisiknya. “ ada makanan lagi hari itu. Bukan dari uang suamiku, tapi dariMu ya Allah, lewat perantara Ibu kost,”batinnya lagi.
Makanan itu ditata dalam mangkok-mangkok. Makanan itu banyak dan melimpah. Ada semangkuk padat nasi wangi yang pulen, semangkuk ayam suwir yang gurih dan pedas, semangkuk tumis capcay dengan irisan baso dan sosis sapi. Belum lagi sepiring besar kue cucur yang legit manis, kue bugis yang gurih, dan kue onde-onde bertabur wijen yang lezat. Tiba-tiba Mas Yanto datang masih dengan wajah kusut. Matanya terbelalak tak percaya.
“Dapat uang darimana Sa?Kamu bohongin Mas ya?”
“Engga Mas. Makanan ini rezeki dari Allah. Dikirim lewat Ibu Maemunah.”
Yanto duduk di kursi tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
“Makan!” serunya.
 Elsa bergegas membawa piring dan segelas teh hangat manis kesukaan suaminya. Ditatapnya Yanto yang sedang  makan dengan lahap. Bibirnya tersenyum.
“Enak Mas?” tanyanya.
Yanto mengangguk.
Tet tet tet, suara klakson motor dari pintu depan terdengar. Elsa keluar dan melongok dari pintu. Pak Pos dan motor oranyenya, menunggunya di depan teras. Elsa membenahi jilbabnya dan menghampiri Pak Pos.
“Ada yang bernama Elsa Handayani?”
“Saya sendiri Pak,”jawab Elsa.
Pak Pos menyerahkan sebuah bungkusan segiempat yang lumayan berat beserta selembar formulir.
“Tolong ditandatangani disini,”ujar Pak Pos.
Elsa membaca formulir itu dengan cepat. Tenggorokannya tercekat. Western Union? Limaratus dollar?
“Ini kiriman darimana Pak?”
Pak Pos tersenyum,”Lihat aja alamatnya Bu.”
Elsa menepuk jidatnya.”Oh iya. Saya lupa. Makasih Pak.”
Pak Pos mengangguk sebelum menancap gas dan berlalu untuk menunaikan tugasnya mengirim surat dan paket. Elsa membalik bungkusan coklat itu. Alamatnya dari Bali. Dari James and Martha Collins. Mereka adalah pasangan suami istri dari London yang dengan tabungan yang mereka milki, berkeliling dunia sebelum akhirnya menetap di Bali. Tiga tahun yang lalu, Elsa membukukan hasil perjalanan mereka via internet dengan bayaran tiga juta rupiah. Uang itu digunakannya untuk menambah biaya pernikahannya dengan Mas Yanto.
“Surat dari siapa Sa?”Tanya Yanto.
Elsa lalu menjelaskan tentang surat dan kiriman  royalty itu. Begitu mendengar istrinya mendapat kiriman uang limaratus dollar, mata Yanto langsung membulat,
”Ayo kita cairkan gironya!”
Yanto tertawa-tawa dengan riang sekembalinya mereka dari kantor pos.
“Mas boleh ga pinjem uangnya tiga juta buat dp motor? Ada motor bagus yang Mas incer. RX King!Jadi kalau Mas kerja jadinya lebih cepat. Dan kita pun bisa kemana-mana dengan bebas. Ga harus naik angkot lagi. Jadi hemat duit kan?”
Elsa terdiam. Pikirannya bercabang. Uang sebesar lima juta itu tersimpan dengan rapi di dalam tasnya.
“Sa?Ngomong dong! Aku manusia. bukan batu!
“Yang nyebut Mas batu itu siapa?”
“Habis kamu cuekin suami kaya gitu. Istri apaan  tuh?”
Elsa melengos. Mereka berjalan melewati Mesjid. Ditatapnya  Mesjid yang sedang dalam perbaikan itu dengan tekad bulat.
“Kamu tuh kenapa? Dari tadi diam saja? Awas loh kalo uangnya habis buat beli perhiasan. Harga emas bisa jatuh lagi Sa!”
Elsa masih terdiam mendengar kalimat sinis suaminya. Lamat-lamat terdengar khotbah Ustadz Yusuf Mansyur dari speaker Mesjid. Khotbah tentang keajaiban sedekah yang diputar lewat CD.
“…pada 1990 lalu, ia yakin dan telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menunaikan ibadah haji. Namun, menjelang hari pemberangkatan ia memliliki masalah sehingga batal ke Tanah Haram. Begitu pula pada tahun 2003. Saat itu, Yusuf kembali memiliki segala persiapan untuk berangkat ke Arab Saudi. Namun karena terganjal masalah keluarga, lagi-lagi ia batal untuk menunaikan ibadah haji. Di tengah kondisi yang kurang mengenakkan, tiba-tiba seorang sahabatnya dari luar kota datang dan hendak meminjam uang sebesar Rp 40 juta. Uang tersebut akan digunakan sahabatnya memberangkatkan saudaranya ke Tanah Suci. Karibnya itu memberi jaminan sebuah mobil tua yang kalau dijual harga tertingginya sekitar Rp 30 juta.
”Subhanallah walhamdulillah, karena saya sering menyuruh orang untuk bersedekah, saya diuji bertubi-tubi,” ujar Yusuf Mansyur.
Dengan kesabaran dan keikhlasan, ia pun memberikan uang tersebut kepada kawannya. Sedangkan mobil tua itu ia biarkan saja. Yusuf sempat bertanya pada Allah tentang hikmah apa yang ada dibalik semua ujian kegagalannya berhaji. Setelah pendaftaran haji 2006 ditutup, ia pun pasrah. Tapi diluar dugaan, ia bertemu dengan seorang Habib keturunan Arab yang mengajaknya makan siang.
Di akhir pertemuannya, sang Habib menanyakan kapan berangkat haji.
”Saya cuma katakan, tidak jadi berangkat. Tidak punya uang,” ujarnya.
Allah kemudian menunjukkan Kuasa-Nya. Di saat pendaftaran haji sudah tutup, ia bersama istrinya justru berangkat ke Tanah Haram. Yusuf pun semakin sadar apa yang ada dalam persepsi manusia tidak sepenuhnya benar. Ia pun semakin merasakan kehebatan sedekah yang luar biasa. ”Allah memiliki skenario terbaik,”
Khotbah itu terasa menelusup ke telinga dan hati Elsa . Di depan Mesjid, Elsa menghentikan langkahnya. Wajahnya menyiratkan tekad. Kakinya melangkah ke pelataran mesjid yang penuh dengan bahan bangunan seperti batu bata, semen, kerikil dan lain-lain. Dihampirinya marbot mesjid yang sedang mengomandori proyek pembangunan mesjid itu. Dikeluarkannya amplop coklat berisi uang, diambilnya seratus ribu, lalu memberikan sisa uangnya pada marbot tersebut. Marbot itu terkejut mendapat sumbangan dari Elsa. Dengan mengucapkan salam, Elsa meninggalkan pelataran mesjid dengan tersenyum lega.
Yanto yang melihat dari jauh kejadian tersebut sangat jengkel. Ditatapnya Elsa dengan galak. Setibanya mereka di rumah, Yanto segera mendampratnya dengan kata-kata kasar.
“ Mas kan bilang mau pinjem uang kamu buat dp motor. Kok malah disumbangin semua  uangnya?Wis gila kowi ? ”hardik Yanto.
Elsa menghela nafas dalam-dalam. Ditatapnya laki-laki berkumis dan kasar itu dengan pandangan lembut.
“Masih ada sisa kok Mas. Seratus ribu. Cukup buat masak seminggu.”
Yanto melemparkan puntung rokoknya yang masih panjang ke lantai.
“Trus beli yang lain-lainnya apa cukup segitu? Awas ya kalo minta uang lagi sama Mas!Mas ga percaya lagi ama kamu! Pasti uang yang Mas kasih kamu sedekahin semua. Di rumah makan apa?”
“Mas, uang yang lima juta itu adalah tanda keajaiban dari sedekah yang kita lakukan. Allah menggantinya sedekah kita yang lima ratus ribu dengan uang lima juta. Itu sudah sepuluh kali lipat balasannya sama kita Mas!”
Yanto termangu sesaat. Kepalanya terkulai, menunduk menatap tanah.
“Mas, percayalah. Allah pasti akan meliptrgandakan pahala-Nya bila kita sedekah. Kita ga perlu takut kekurangan. Allah pasti ga akan ngebiarin orang yang sedekah menderita. Ga akan Mas. Baru saja kita mendapatkan keajaiban itu. Apa Mas ga merasa?”
Yanto menatap istrinya dengan mata berkaca-kaca.
“Kita cuma perlu percaya Mas. Percaya! Allah selalu mengawasi kita. Allah tidak pernah menelantarkan kita. Syukuri apa yang ada Mas. Itu lebih berarti daripada membeli motor yang bisa jadi cicilan perbulannya bisa bikin puyeng otak kita.”seru Elsa lembut.
Yanto terdiam. Lidahnya kelu hingga tidak bisa berkata-kata. Perlahan airmata penyesalan mengalir di pipinya yang bercambang.
“Mas salah Dik. Mas salah.”bisik Yanto.
Elsa memeluk Yanto. Dibelainya kepala suaminya dengan rasa syukur.
“Kita hanya harus percaya Mas. Percaya sama Allah. Itu saja.”
Terdengar adzan dari Mesjid. Waktu sholat Dhuhur telah datang. Yanto menatap istrinya dengan mata basah.
“ Ikhlaskan aku buat ngebantu pembangunan mesjid ya Dik? Mas pengen tobat dengan sedekah tenaga Mas.”
Elsa tersenyum.”Iya Mas. Boleh, tapi nanti abis sholat Dhuhur ama makan siang.”
Yanto tersenyum dan mengangguk. Langkahnya terasa ringan ketika menapak menuju mesjid.(rinz)