Kamis, 28 Februari 2013

senyumsimpul

senyum simpul



( by: Reny Sri Suryani )

Lagu Ketty Pery, berteriak dari hapeku. Menyanyikan lagu penyanyi Amerika itu, tanganku sibuk meracik bumbu untuk sup ayam. Tangan dan mulutku telah terbiasa bergerak bersamaan. Tanganku bergerak untuk memasak, meracik bumbu, sedangkan mulutku bernyanyi lagu kesukaanku. Aku orang yang suka mendengarkan lagu apa saja.
 Ketty Peri adalah contohnya, tapi banyak juga lagu Amerika yang kusukai. Diantaranya Home dari juara American Idol 2012, Philips Philips, dll.

Add caption


Bukan berarti aku tidak suka nasyid atau lagu religi. Tapi jika aktifitas yang aku lakukan memerlukan stimulan, aku menstimulasi semangatku dengan lagu berirama cepat yang enak di telinga.
 “ Rini?” panggil seseorang dari ruang depan. Aku berdiri dan membenahi pakaian dan jilbabku yang kusut.
Ternyata induk semangku yang memanggil.
“ Kamu lagi apa?” tanyanya.
Aku menunjuk pada sepanci sup yang mengepul-ngepul di atas kompor. Induk semangku tersenyum terpaksa.
“ Bu Haji yang dibawah katanya terganggu sama musik yang kamu setel. Katanya berisik!”ucap induk semangku.
”Aduh maaf bu, saya tidak bermaksud untuk mengganggu Bu Haji,”ucapku.
“Ya sudah, nanti ibu bilangin ke Bu Haji tentang maaf kamu.  Biasa Rin, kalau sudah tua, telinganya tidak betah mendengar lagu barat yang jrang-jreng-jrong. Bu Haji tidak mengerti,”serunya seraya tersenyum.


Add caption


“Iya bu,saya mengerti,”sahutku merasa bersalah.
Setelah shalat Isya dan mengaji harian seperti biasanya, aku termenung memutar otakku. Musik mengalihkan pikiranku hingga badanku tidak terasa lelah bahkan aku makin bersemangat. Setelah kepulanganku dari Arab Saudi, aku berhalusinasi mendengarkan orang berbicara tanpa bisa kulihat sosoknya. Teh Rina, yang dulunya adalah guru mengajiku sekaligus psikolog, memberiku resep aneh agar aku mendengarkan musik saja sampai sakitku sembuh. Resep itu berhasil. Seminggu kemudian aku pulih dari delusiku dan menjalani hidup secara normal.
Akhirnya keluar juga satu ide cemerlangku. Keesokan harinya saat aku mengepel, aku menyetel lagu Nancy Ejram. Lumayan juga untuk menyemangati kakiku mengepel rumah yang luas. Nancy Ejram berganti dengan Amir Diab. Aku menyukai Amir Diab sejak aku SMP. Ada stasiun radio yang memutarnya saat aku akan sholat tahajud. Walhasil, sebelum tahajud, aku mendengarkan Amir Diab dulu. Selesai mengepel aku istirahat sejenak di ruang tamu. Disaat itu datanglah induk semangku menuju ruang tamu.
”Bagaimana lagunya Bu? Apa masih  berisik?”tanyaku was-was.
Induk semangku tertawa. “Shalawatan orang mana Rin?”tanyanya.
Shalawatan? Aku memutar otakku.
“Eh, dari Mesir Bu. Enak kan bu? Bisa untuk senam bu,” seruku seraya memeragakan senam.
Induk semangku manggut-manggut.
“Bu Haji tadi bilang, shalawatannya enak di telinga, nanti kalau Bu Haji motong rumput di depan rumah, tolong diputar lagi lagu-lagu shalawatan Mesirnya ya,” ujar induk semangku berseri-seri.
  Aku mengangguk. Bagus! Asal mereka tidak tahu saja lagu cinta yang berbahasa Arab. Yang jelas aku dan Bu Haji senang dan bersemangat melakukan kegiatan rumah tangga diiringi penyanyi Mesir.(rz)
                                                    



Minggu, 24 Februari 2013

CINTA YANG MENDEWASAKAN





Add caption
Siapa bilang anak mesjid tidak bisa konyol? Walaupun anak mesjid identik dengan suasana religius, ada kalanya mereka juga mengalami cerita konyol yang membuat malu. Namun, setelah beberapa tahun kemudian, cerita-cerita memalkan itu brubah menjadi kenangan indah yang menjadi inspirasi membuat cerpen.
Ini cerita tentang aku , sepuluh tahun yang lalu.
Aku dan teman-temanku menjadi panitia Mesjid Habiburrahaman. Panitia disini mencakup banyak acara. Misalnya pada saat Lebaran, kami bertugas membagi-bagikan kantong plastik hitam sebagai tempat sandal bagi jamaah yang hendak melaksanakan sholat Ied. Pada Hari Idul Adha, kami menjadi tukang timbang daging, tukang menguliti dan banyak lagi. Namun ada satu cerita cinta yang kalau dikenang sekarang itu adalah cerita yang membuatku dewasa. Bukan hanya mendewasakan, tapi juga konyol, karena saat itu aku melakukan hal-hal yang dianggap kurang pantas bagi seorang jilbaber.
 Kami menjadi panitia Itikaf di Mesjid Habiburrahman. Itikaf artinya berdiam diri di mesjid untuk menjalankan ibadah sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini dicontohkan Rasulullah saw sendiri. Jika 10 hari terakhir Ramadhan tiba, beliau akan lebih banyak beribadah, lebih banyak membaca Al-Quran, dan tidak berhubungan badan dengan istri-istrinya. Itikaf juga bertujuan untuk mengharapkan Lailatul Qadar, malam yang berkah yang lebih mulia daripada seribu bulan.  Pada malam itu Allah akan mengapuni setiap orang yang meminta ampun, akan mengabulkan doa setiap orang yang berdoa, dan akan memuliakan orang yang memohon kepadaNya. Karena itulah banyak orang beritikaf di mesjid untuk mendapatkannya. Tugas kami  sebagai panitia Itikaf adalah mengurus kebutuhan makanan berbuka dan makanan saat sahur. Selain itu juga kami harus membangunkan para jamaah dan mengatur pengambilan air wudhu. 
  Seperti biasa, panitia perempuan bertanggungjawab pada jamaah perempuan. Kami membuat batas antara jamaah laki-laki dan perempuan, agar para jamaah yang hendak melaksanakan itikaf tidak bercampur sehingga menimbulkan virus merah jambu yang mengganggu pelaksanaan ibadah. Tapi seperti pepatah, manusia hanya bisa berusaha, Tuhan juga yang menentukan. Virus merah jambu  itu terjadi padaku.
Add caption
Sebagai seorang jilbaber, aku berusaha menjaga tingkah lakuku agar selalu sopan. Namun memang aku agak bandel. Jika melihat sesuatu yang lucu, spontan aku akan tertawa terbahak-bahak,  tanpa mengingat bahwa aku ini jilbaber. Hal yang paling parah adalah dimana aku jatuh cinta kepada Ketua Panitia Itikaf,ku sendiri, yaitu  Kang Ian.
Kang Ian seorang akhtifis mesjid. Posturnya rata-rata orang Indonesia, berkult sawo matang, dahinya tinggi tanda seorang pemikir. Dia adalah anak yatim sehingga menjadi tulang punggung keluarganya. Pembawaannya pendiam dan tenang. Melihatnya aku seperti menemukan sebuah buku misteri yang menarik untuk kubaca. Oiya, dia juga seorang penghafal Quran. Saat itu dia sudah menghafal 2 juz Al-Quran. Ketika dia membaca surat Ar-Rahman di luar kepala, aku hanya menatapnya dari saf wanita dengan hati yang meleleh. Itulah lelaki yang kuidamkan untuk menjadi sumiku. Itulah kali pertama aku jatuh cinta pada mahluk Tuhan berjenis kelamin laki-laki. Rasa cinta itu aku pendam dalam-dalam. Maklum, kami berusaha menjaga mata dan hati kami agar tidak jelalatan. Tapi lagi-lagi aku melanggar. Cinta terpendam ini membuatku jerawatan. Bahkan bisulan. Tapi itu bukan karena cinta terpendam, tapi karena kebanyakan makan telur untuk buka dan sahur.
 Pada saat rapat seringkali aku mentapnya diam-diam. Aku biasanya duduk di paling belakang, pura-pura memperhatikan rapat, padahal aku memperhatikan Kang Ian. Saat kita sedang jatuh cinta, perilaku orang yang kita cintai  bergerak dalam gerakan lambat. Misalanya saja  ketika Kang Ian bercerita tentang jadwal pembagian makanan untuk sahur.
 “Qiyamul lail akan berakhir pukul 03.45. Makanan sahur akan dibagikan pukul 03.50. Ingat, kuponnya jangan hilang. Karena pelajaran tahun kemarin, kita kecolongan 100 bungkus nasi. Bukan apa-apa, makanan itu kan kita beli dari rumah makan. Kalau kelebihan maka kita rugi dong,”ucapnya dengan nada serius yang sama.
Nah, jika kata-kata itu bergerak lambat seperti dalam bayanganku, maka akan menjadi,”Jaaaaaaaaaaaaadiiiiiiiiiii qiiiiiiiiyaaaaaamuuuuullll laaaaaaaiiiiiiil beeeeeeeeeerrraaaakkkkhhhhhhiiiir pppuuuuukkkkuuuuulllll tttitiiiigggaaa    eeeeemmmmppppaaaaatttt   limaaaaa…….”, 
Pusing kan? Hehehe, namun dalam benakku yang keracunan demam merah jambu, hal itu biasa saja. Setiap lirikan matanya, gerakan tangannya bahkan degup jantungnya, semuanya terlihat melambat. Setiap kali melihat Kang Ian,  wajahnya tiba-tiba menjadi  lebih  jelas dimataku. Aku sering berkhayal, Kang Ian melamarku dengan berlutut, di giginya yang putih terselip setangkai mawar merah, dan ditangan kanannya ada sekotak coklat. Kubayangkan giginya putih bersinar seperti gigi dalam iklan pasta gigi. Matanya yang bulat jernih, bercahaya seperti iklan obat tetes mata. Bukan itu saja, tiba-tiba lagu Amir Diab yang Tamali Maak yang artinya Selalu Denganmu, berkumandang dengan merdunya. Aiiiiiih. Saking tenggelamnya aku dalam lemunanku, aku tidak sengaja berkali-kali memukul tangan Teh Rosy. Dia mengaduh seraya berbisik,
”Teh Rini?”tegurnya.
Aku membuka mataku. Mata-mata peserta rapat itikaf lainnya menatapku penuh selidik. Pandangan penuh tanda Tanya tersirat di wajah mereka. Kang Ian menatapku lalu bertanya,
”Teh Rini ada yang mau disampaikan?”
Aku menatap kekanan dan kekiri dengan serba salah. Seperti maling ayam tertangkap basah. Aku menggelengkan kepalaku seraya tertunduk malu,
.” Tidak ada kang,”ucapku. 
Kalau aku berkulit putih, mungkin saat itu pipiku terlihat merah padam seperti kepiting rebus. Untung saja aku berkulit sawo muda, coklat coklat manis gitu. Bukan saat itu saja aku mempermalukan diriku di depan Kang Ian. Sebagai panitia yang rumahnya dekat dengan mesjid, aku sering kebagian piket di meja pendaftaran. Aku akan menunggui meja panitia yang membuka pendaftaran pemesanan makanan untuk berbuka dan juga sahur. Sebagai panitia Itikaf, kami dipinjami walkie talkie sebagai sarana pelancar komunikasi kami.  
 Waktu itu pukul 10.30. Masa-masa yang kritis karena setelah semalaman bershalat malam, mata maunya terpejam saja. Suasana mesjid terasa hening. Sayup-sayup terdengar alunan ayat suci dilantunkan jamaah dari kejauhan.Malam nanti adalah malam genap. Jamaah yang hendak beritikaf tidak sebanyak jamaah yang datang pada malam ganjil. Karena kebanyakan orang percaya jika LailatulQadar diturunkan pada malam ganjil. Tapi sebagian ulama mengetakan jika malam Lailatul Qadar dpergilirkan diatara 10 hari terakhir Ramadhan . Jadi banyak juga yang beritkaf selama 10 hari terakhir.
Add caption
 Karena saat itu aku dalam  tahap jiwa dewasa awal, aku lebih sering memperturutkan hawa nafsuku, alias masih labil. Maksudnya, disaat yang lain sedang mengaji Al-Quran, aku malah menyanyikan lagu Dewa 19 yang Separuh Jiwaku di frekuensi kosong di walkie talkie-ku . Dengan posisi membungkuk diatas meja seperti tertidur, aku bersenandung perlahan agar tidak bisa didengar orang lain.
Separuh jiwaku, terbang bersama dirimu, saat kau tinggalkanku, salahkanku, salahkah aku bila aku bukanlah seperti aku yang dahulu,”senandungku perlahan. 
Saat asyik menyanyi, ada tepukan pelan di bahuku. Karena kaget, aku melemparkan walkie talkie ke udara. Walkie talkie berwarna biru itu melayang lalu mendarat mulus dengan mengeluarkan suara patah yang mengerikan. Walkie talkie itu pecah menjadi 5 bagian yang besar dan ratusan serpihan lain. Seorang jilbaber berkaos kaki tidak sengaja menginjak bagian walkie talkie yang besar. Diantara teriakannya yang singkat, dia meluncur bagai seorang peseluncur es diatas keramik mesjid yang putih mulus. Sebelum jatuh, dia menarik kaos kawannya hingga kawannya yang juga berjilbab ikut terjatuh. 
Aku terpana, sebelum tertawa, Namun seketika aku  menutup mulutku. Aku masih ingat aku berada di mesjid. Namun gadis berjilbab yang tadi jatuh, kemudian menginjak serpihan walkie talkie yang lebih kecil dan kembali terjatuh. Aku tak kuasa menahan tawaku. Hanya saja pelototan jamaah yang melihat kejadian itu membuatku menahan tawa. Aku membekap mulutku agar tawa itu tidak meledak. Akibatnya, pipiku sakit, perutku sakit dan mataku mengeluarkan airmata. Perutku yang sakit membuatku ingin buang angin alias kentut. Disela-sela usahaku menahan tawa, aku melepaskan keteangan perutku dengan kentut perlahan-lahan.
 Dut, dut, dut. 
Aku merasa geli sendiri mendengar suara kentutku. Namun,  tiba-tiba,
“Teh Rini?”
Itu suara Kang Ian!
  Aku terhenyak. Perlahan-lahan aku membalikkn badanku 180 derajat. Dan disanalah, pangeran idamanku, berdiri sekitar 1 meter di belakang meja panitia. Dari wajahnya yang memerah dan salah tingkah, aku yakin Kang Ian mendengar suara kentutku yang patah-patah  barusan. Aduh, malunya. Ingin sekali aku menyembunyikan wajahku di pasir seperti burung onta. Atau di koper, atau di sumur atau dimana kek, sehingga  aku tidak bertemu dengan Kang Ian. Habis sudah harapanku  masuk ke dalam  daftar wanita yang layak dijadikan istri olehnya. Malah, aku akan dikenang olehnya sebagai jilbaber berkentut patah-patah!Ingin sekali aku menangis. Ingin sekali aku menangis, ingin sekali aku menghilang! Aku tak ikut rapat hari itu karena malu bertemu Kang Ian.
Itikafku tahun itu adalah yang terburuk sepanjang aku menjadi panitia. Bacaan Quranku tidak tamat. Padahal tahun sebelumnya, aku bisa menamatkan bacaan Quran 2 kali selama seminggu. Setelah jatuh cinta pada Kang Ian, sholatku jadi tidak khusu. Bayangannya selalu menari-nari di pelupuk mataku. Ekspresinya yang kaget saat itu, membuatku ingin pergi jadi TKW ke Arab Saudi. Akhirnya aku menumpahan uneg-unegku pada Teh Keti, sesama panitia yang sudah senior mengaji 1 tahun diatasku. Aku mempercayakan ceritaku, rasa maluku, dan  rasa cintaku padanya. Setidaknya Teh Keti telah berpengalaman dalam menampung curahan hati seorang jilbaber konyol sepertiku. Setelah menceritakan segalanya, perasaanku menjadi lega. Setidaknya aku bias membagi bebanku dengan seseorang yang bisa kupercayai. Teh Keti memberiku saran,
”Ya sudah atuh, Teteh minta ditaarufkan saja sama Kang Ian melalui temannya. Daripada ibadah Teh Rini jadi terganggu gara-gara membayangkan Kang Ian terus.”
Aku mengangguk setuju. Lalu aku minta bantuan Kang Sofyan. sahabat Kang Ian untuk menaarufkanku dengan Kang Ian. 
Seminggu setelah Lebaran Kang Sofyan datang ke rumah. membawa jawaban yang kutunggu.
”Kang Ian sudah beristikharah dan berpikir masak-masak, Teh Rini. Untuk saat ini, beliau belum siap menikah Teh. Maklum, dia kan anak lelaki satu-satunya. Tanggungannya banyak.. Jangan sedih ya Teh, mungkin Teh Rini belum berjodoh dengan Kang Ian,”ucap Kang Sofyan.
Aku menerima jawaban dari Kang Sofyan dengan hati yang sedih dan mendongkol. Apa yang aku harapkan sih? Aku sudah mempermalukan diriku sendiri di depan Kang Ian. Pastilah dia menganggap aku konyol.  Sudah pasti dia akan menolakku.  Walau pedih, aku berusaha menabahkan hati. Setidaknya aku tahu bagaiamana perasaan Kang Ian kepadaku.
Sebulan kemudian aku mendapat kabar yang mengejutkan. Kang Ian akan menikah. Dan wanita berjilbab yang akan dinikahinya adalah Teh Keti! Saat berita itu kudengar dari mulut Teh Keti sendiri, aku merasa telingaku mendengar suara singa yang keluar dari kandangnya, gonggongan anjing, lenguhan sapi, cericit burung, meongan kucing dan ular derik sekaligus. Yah, hatiku saat itu porak poranda seperti kebun binatang yang diacak-acak binatang penghuninya.
Add caption
Tapi sebagai muslim, aku harus ikut berbahagia dengan kabar pernikahan mereka. Aku harus mengubur rasa sedihku jauh-jauh di kedalaman hatiku. Dan aku membuktikannya dengan ikut menjadi Pageur Ayu, barisan pengiring pengantin dari pihak wanita. Saat aku melihat mereka bersanding di pelaminan, aku baru tersadar. Mencitai seseorang tidak harus memiliki orang tersebut. Kisah patah hati pertamaku ini kuanggap pelajaran langsung dari Tuhan. Mungkin, Tuhan ingin aku lebih dewasa lagi dalam menyikapi hidup ini.(rinz)


Saya Reny sRI Suryani alias Suryani rinz, 31 thn, penulis cerpen/novel



Jumat, 22 Februari 2013

cerpen


cerita pendek
Roni menata meja dan kursi-kursi. Kursi bermotif kotak-kotak warna biru dengan tepian warna putih serasi itu telah selesai dilapnya. Setiap satu meja terdapat empat kursi dengan bantalan duduk motif yang sama dengan mejanya. Bambu Jepang yang tumbuh tinggi semakin meneduhkan halaman Kafé itu. 2 pohon cemara berdiri anggun di sisi kiri dan kanan halaman Kafé bak 2 orang penjaga.
Ah, kembali lagi ke Love Cafe,” pikirnya senang.
Roni dengan teratur kembali ke Kafé itu untuk menjadi pelayan paruh waktu. Upahnya lumayan menambah uang sakunya. Kuliah di Imperial College London membutuhkan banyak dana. Dana yang tidak sedikit buat anak dosen seperti dia. Setahun kemarin ayahnya masuk rumah sakit karena serangan stroke. Kini ayahnya berada di rumah dengan keadaan badan setengah lumpuh. Otomatis, beliau tidak bisa lagi bekerja dan menafkahi keluarganya. Padahal, orang yang mendorongnya melanjutkan pendidikannya di Imperial College London, adalah ayahnya.
“Kamu pintar Ron, otakmu encer . Kamu bisa masuk ke Imperial College London itu merupakan suatu mukjizat terbesar buat kita. Walaupun ayahmu ini hanya dosen, tapi kamu harus menjadi orang yang bisa melebihi ayah. Pergilah ke Imperial College London. Pergilah ke Inggris. Kalau perlu, pergilah ke seluruh dunia. Jadikan masa mudamu sebagai jejak kedewasaan mu.”
Dan disinilah dia berada. Inggris. Di Imperial College London sebagai seorang mahasiswa jurusan kedokteran. Imperial College London merupakan salah satu universitas bergengsi di negeri Pangeran Charles dan Ratu Elizabeth ini. Perguruan tinggi ini merupakan universitas terbaik ke-5 di tahun 2009.  Walaupun untuk kuliah disana, dia harus meninggalkan semuanya di Indonesia, Keluarga, karir modelingnya, dan juga Ayu, tunangannya.



Add caption

 Ting ting ting. Bel pemesanan berbunyi. Roni menoleh. Dhef Chopra dan Maharani Chopra, pemilik Love Kafé tertawa melihatnya.
“Wah, calon dokter kita kerja keras juga rupanya. Tidak disangka, mantan model majalah mau juga kerja disini,”ujar Dhef Chopra kagum.
 Roni tersenyum menatap pasangan suami istri itu. Dia sangat berterimakasih  kepada mereka. Bukan hanya pekerjaan paruh waktu yang dia dapatkan di Love Café  ini, namun juga kehangatan keluarga. Dia diperlakukan dengan sangat akrab oleh Dhef Chopra  dan Maharani Chopra. Mereka menjadi warga negara Inggris sejak 15 tahun lalu. Mereka sudah menikah selama 10 tahun tapi belum dikarunia anak. Untuk mengusir kebosanan pada diri  Maharani Chopra yang ternyata seorang Enterpreneur keluaran Imperial College London juga, maka didirikanlah Love Kafé. Love Kafé terletak di Kampus South Kensington Level 1 Gedung Sherfield  yang memilki menara. Kafé ini  menyediakan makanan India dan makanan Internasional lainnya. Maharani sendiri yang meracik bumbu masakannya. Soal rasa, Roni yang memiliki lidah Indonesia saja sangat menyukainya.
Menara Ratu itu tingginya 287 kaki, terbuat dari batu gamping dan atapnya dibentuk menyerupai kubah. Ada 324 anak tangga dari lantai dasar sampai lantai dibawah kubah menara. Anak tangga itu berbentuk spiral keatas. Dan disanalah pertama kali ia melihat gadis manis berambut ombak sepunggung. Jaketnya berwarna biru neon, dan celananya jeans biru donker. Dia sangat cantik ketika terkena tiupan angin hujan dibelakang siluetnya. Hujan membuat gadis manis itu, kedinginan rupanya. Tangannya yang lentik digosok-gosokannya sambil matanya tetap menatap hujan yang memukul jendela menara. Dia sedang duduk di anak tangga terakhir, menatap hampa ke pemandangan sekeliling kampus. Roni segera berlari ke lantai dasar, tempat Kafenya berada. Dia menuang segelas besar coklat panas di gelas kertas terbesar yang bisa ditemukannya, kemudian menaburi kayu manis diatas busanya. Roni kembali ke tempat dimana dia melihat gadis manis itu, secepat yang kakinya bisa. Sampai disana, sosok gadis manis itu telah menghilang. Dengan gontai dan hati masygul, Roni mendekati jendela menara dan melihat hujan yang mengguyur gedung-gedung Imperial College London. Diminumnya perlahan coklat panasnya. Dan saat itulah dia melihat dompet berwarna merah jambu dengan merek Louis Viton, tergeletak di anak tangga. Roni meletakkan gelas kertasnya di lantai, seraya mengambil dompet itu. Di dalam dompet dia mencari kartu mahasiswa. Kemudian Roni tersenyum. Foto gadis manis itu ada disana. Namanya Nita Tunggal Waluyo.
Roni membaca tulisan hasil kuliahnya tadi disebuah bangku taman yang panjang. Udara dingin membuat nafasnya beruap. Bahkan bangkunyapun masih terasa basah sisa hujan semalam. Ditatapnya kampus jurusan  Bisnis itu dengan hati berdetak kencang. Apa yang akan dikatakannya pertama kali pada Nita?
Hai, saya Roni, kemarin saya menemukan dompet anda terjatuh di tangga menara, ini, silahkan dicek. Ada yang kurang? Oh kurang seribu pound? I’m terribly sorry, I just found your wallet. Mungkin uang yang kurang itu anda belikan sepatu atau baju mungkin?”
Roni menggelengkan kepalanya. Dasar bodoh! Rutuk dirinya. Dibuka kembali buku catatannya. Tapi secepat kilat ditutupnya lagi. Saat ini benaknya dipenuhi dengan gadis itu. Ia tidak mungkin bisa membaca catatannya yang amburadul saking cepatnya menulis. Roni mendengus. Dimasukkannya kembali  buku berharga itu ke dalam tas ranselnya. Ekor matanya menangkap serombongan mahasiswa keluar dari gedung kampus. Dengan cermat diperhatikannya setiap gadis yang berrambut ombak sepunggung. Dadanya berdesir ketika sosok yang dicarinya itu berjalan ke arah Love Kafé. Tanpa menunggu lagi, Roni melompat bangkit dari bangku dan membuntuti gadis itu.
Nita memasuki Love Kafé, memesan minuman pada Dhev di meja konter, membayarnya, lalu duduk di sebuah kursi dengan meja menghadap jendela. Dia sendirian. Yah inilah kesempatannya. Roni memasuki Love Café, tersenyum pada Dhev yang membelalakkan mata padanya.
”Hey, kamu libur hari ini bukan? Mengapa kamu kesini?”tanyanya dalam bahasa Inggris.
Roni menghampirinya seraya berbisik,
”Masalah gadis Dhev, “bisiknya. Dhef tertawa.
 Roni memesan Coffelate dan sepiring siomay ayam pedas dengan saos tomat. Perlahan dia menghampiri meja dimana Nita berada. Dia kemudian berdehem. Nita menoleh ke arahnya.
 “Hai, aku Roni, boleh aku duduk disini?”pinta Roni. Nita menatapnya sejenak sebelum mengangguk. Roni meletakkan gelas Coffelate dan sepiring siaomay diatas meja.
“Kemarin kamu pergi ke menara kan?” tanya Roni.
Nita melihatnya lagi. Lebih lama kali ini.
”Apa mau kamu?” sahut Nita dingin.
Roni tersenyum. Dia merogoh kedalam tas ranselnya dan mengeluarkan dompet berwarna merah jambu itu. Mata Nita membesar lalu menatapnya bergantian.
“Dimana kamu menemukan dompet saya?”tanya Nita lagi.
 Kali ini ada keriangan di nada suaranya. Roni lalu menjelaskan segala sesuatunya. Mereka akhirnya mengobrol tentang segala hal. Tentang Nita, tentang Roni, alasan keduanya kuliah di ICL, kebingungan Nita ketika ia menyadari dompetnya hilang, tapi dia tidak mengatakan alasan mengapa dia naik ke menara hari itu. Roni lupa menanyakannya. Dan dia tidak mau menanyakannya. Yang dia tahu adalah wajah gadis itu ada di depannya. Dia tidak akan repot-repot menanyai Nita mengapa dia di menara Ratu kemarin.
Sejak saat itu mereka semakin dekat. Roni bisa melupakan kerinduaan pada keluarganya dengan berbagi rasa dengan Nita. Roni juga melupakan rasa rindunya untuk Ayu, tunangannya sejak setahun yang lalu. Yang ada di hatinya sekarang  hanyalah perasaan bahagia karena bisa dekat dengan Nita, gadis manis berrambut ombak sepunggung. Nita adalah gadis yang bebas mencurahkan isi hatinya. Dia tidak segan mengkritik pendapat-pendapat Roni jika mereka sedang berdiskusi tentang suatu hal. Kelugasan dan kecantikan Nita membuat diri Roni tertawan pada jurang cinta. Hatinya dipenuhi oleh Nita dan Nita. Jika sehari tidak bertemu, Roni merasa ada sesutau yang hilang dalam hidupnya hari itu. Hape dan facebook bahkan tidak bisa menuntaskan dahaganya akan  kehausannya menatap wajah Nita.
 Bahkan kuliahnyapun tidak terlalu menarik hatinya lagi. Karena keenceran otaknya saja, setiap ujian dia mendapat A, paling jelek B. Hanya saja saat ujian praktek, dia salah mendiagnosa dan mendapat teguran keras dari Roger Moore, asisten dosennya.
” Jika dalam kenyataan kamu salah dan mengakibatkan kematian seseorang, apa yang akan kamu lakukan? Coba lebih fokus dan teliti lagi Tuan Roni. Menjadi dokter mainannya adalah nyawa, kau tahu itu?” tegur Roger Moore.
Add caption

Roni mengerti menjadi dokter besar tanggung jawabnya. Dan dia juga mengerti seharusnya dia lebih fokus pada kuliahnya lagi. Tapi Nita terlalu dicintainya. Dia tidak kuasa berpisah dengannya walau seharipun. Nita menyambut perasaan Roni dengan kadar yang sama. Dia jatuh cinta pada Roni ketika merasa Roni mencintainya. Dan cinta itu sangat berharga dari apapun. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Dan atas nama cinta, pada suatu malam berhujan, Nita memberikan mahkotanya  yang paling berharga dalam dirinya untuk Roni. Dan pengorbanan itu disambut dengan rasa cinta dan sayang yang semakin mendalam dari Roni. Mereka selalu berdua kemana-mana. Tak terpisahkan. Yang tengah dimabuk cinta  memang tidak pernah perduli pada sekelilingnya. Tidak pada nilai ujian keduanya yang anjlok semester itu, tidak juga pada hujan yang seakan tidak akan berhenti turun  dari langit London.
Hingga surat itu menyuruhnya pulang ke Jakarta. Ayahnya masuk rumah sakit lagi. Kali ini lebih parah. Dia harus pulang. Hati Roni mencelos. Hatinya terbagi antara pulang ke Jakarta atau menemani Nita. Namun tiket pulang terselip di surat itu. Dan tanggalnya besok. Dia harus berkemas-kemas dan memberitahu pihak kampus soal itu. Maka malam itu, Roni memeluk Nita lebih erat dan lebih lama dibanding sebelumnya. Nalurinya seakan merasa bahwa ini adalah pelukan terakhir mereka. Namun Roni tidak kuasa untuk mengatakan masalah surat dan ayahnya pada Nita. Tidak bisa. Lidahnya kelu tiba-tiba jika dia hendak berbicara tentang kepulangannya ke Jakarta. Jadi, dia hanya bisa memeluknya lebih erat sekarang. Saat dia masih disini. Saat mereka masih ada dalam alam mimpi.
Setelah kebersamaan mereka itu, keesokan harinya Roni berada dalam pesawat yang membawanya ke Jakarta. Ada tangis, ada penyesalan karena tak kuasa mengatakan yang sebenarnya pada kekasihnya itu. Walaupun dia tahu, dia akan menghancurkan hati seorang wanita yang teramat mencintainya. Roni telah memilih Ayahnya. Namun di hatinya terselip tekad. Setelah urusan dengan sang Ayah selesai, ia akan mencari Nita. Akan menikahinya. Akan bersama dengannya selama sisa hidupnya. Airmata begulir dari ujung matanya. Satu persatu.
4 tahun kemudian
Hujan turun membasahi tanah Jakarta. Gerimis itu tidak mampu mendinginkan perasaan seorang pemuda yang tengah remuk redam. Pemuda itu bersembunyi di balik pohon Mahoni yang ada di halaman Rumah Sakit Jiwa Polri. Jubah putihnya ternoda cipratan lumpur yang tercipta karena genangan air hujan. Roni menatap gadis yang sedang duduk itu. Gadis manis itu  berambut panjang berombak sepunggung. Mata besarnya menatap kosong pada langit biru. Semua itu membuat hati Roni tercabik-cabik sakit.
“Dulu gadis itu miliknya. Dulu gadis manis itu selalu berada disisinya. Kata-katanya yang lembut dan menenangkan, pernah terngiang di telinganya. Dan rambut indah itupun pernah dibelainya.”batin Roni. Mata Roni kini berkaca-kaca. Akhirnya satu tetes airmata itu bergulir dipipinya kemudian jatuh ke rerumputan, bersatu dengan tetesan air hujan sore itu.(rinzay)


Add caption
Biodata penulis:
Name    : Reny Sri Suryani                  Nama pena: Rinzaycruise
Email      benqcruise@yahoo.com                             akun fb: suryani rinz

Address : Jl.Padat karya  Kampung Utan Jaya  RT05/RW03 no. 26b depan Mesjid Jami Baiturrahman, Kelurahan Pondok jaya , Kecamatan Pancoran Mas, Cipayung  Depok 16438