Jumat, 22 Februari 2013

cerpen


cerita pendek
Roni menata meja dan kursi-kursi. Kursi bermotif kotak-kotak warna biru dengan tepian warna putih serasi itu telah selesai dilapnya. Setiap satu meja terdapat empat kursi dengan bantalan duduk motif yang sama dengan mejanya. Bambu Jepang yang tumbuh tinggi semakin meneduhkan halaman Kafé itu. 2 pohon cemara berdiri anggun di sisi kiri dan kanan halaman Kafé bak 2 orang penjaga.
Ah, kembali lagi ke Love Cafe,” pikirnya senang.
Roni dengan teratur kembali ke Kafé itu untuk menjadi pelayan paruh waktu. Upahnya lumayan menambah uang sakunya. Kuliah di Imperial College London membutuhkan banyak dana. Dana yang tidak sedikit buat anak dosen seperti dia. Setahun kemarin ayahnya masuk rumah sakit karena serangan stroke. Kini ayahnya berada di rumah dengan keadaan badan setengah lumpuh. Otomatis, beliau tidak bisa lagi bekerja dan menafkahi keluarganya. Padahal, orang yang mendorongnya melanjutkan pendidikannya di Imperial College London, adalah ayahnya.
“Kamu pintar Ron, otakmu encer . Kamu bisa masuk ke Imperial College London itu merupakan suatu mukjizat terbesar buat kita. Walaupun ayahmu ini hanya dosen, tapi kamu harus menjadi orang yang bisa melebihi ayah. Pergilah ke Imperial College London. Pergilah ke Inggris. Kalau perlu, pergilah ke seluruh dunia. Jadikan masa mudamu sebagai jejak kedewasaan mu.”
Dan disinilah dia berada. Inggris. Di Imperial College London sebagai seorang mahasiswa jurusan kedokteran. Imperial College London merupakan salah satu universitas bergengsi di negeri Pangeran Charles dan Ratu Elizabeth ini. Perguruan tinggi ini merupakan universitas terbaik ke-5 di tahun 2009.  Walaupun untuk kuliah disana, dia harus meninggalkan semuanya di Indonesia, Keluarga, karir modelingnya, dan juga Ayu, tunangannya.



Add caption

 Ting ting ting. Bel pemesanan berbunyi. Roni menoleh. Dhef Chopra dan Maharani Chopra, pemilik Love Kafé tertawa melihatnya.
“Wah, calon dokter kita kerja keras juga rupanya. Tidak disangka, mantan model majalah mau juga kerja disini,”ujar Dhef Chopra kagum.
 Roni tersenyum menatap pasangan suami istri itu. Dia sangat berterimakasih  kepada mereka. Bukan hanya pekerjaan paruh waktu yang dia dapatkan di Love Café  ini, namun juga kehangatan keluarga. Dia diperlakukan dengan sangat akrab oleh Dhef Chopra  dan Maharani Chopra. Mereka menjadi warga negara Inggris sejak 15 tahun lalu. Mereka sudah menikah selama 10 tahun tapi belum dikarunia anak. Untuk mengusir kebosanan pada diri  Maharani Chopra yang ternyata seorang Enterpreneur keluaran Imperial College London juga, maka didirikanlah Love Kafé. Love Kafé terletak di Kampus South Kensington Level 1 Gedung Sherfield  yang memilki menara. Kafé ini  menyediakan makanan India dan makanan Internasional lainnya. Maharani sendiri yang meracik bumbu masakannya. Soal rasa, Roni yang memiliki lidah Indonesia saja sangat menyukainya.
Menara Ratu itu tingginya 287 kaki, terbuat dari batu gamping dan atapnya dibentuk menyerupai kubah. Ada 324 anak tangga dari lantai dasar sampai lantai dibawah kubah menara. Anak tangga itu berbentuk spiral keatas. Dan disanalah pertama kali ia melihat gadis manis berambut ombak sepunggung. Jaketnya berwarna biru neon, dan celananya jeans biru donker. Dia sangat cantik ketika terkena tiupan angin hujan dibelakang siluetnya. Hujan membuat gadis manis itu, kedinginan rupanya. Tangannya yang lentik digosok-gosokannya sambil matanya tetap menatap hujan yang memukul jendela menara. Dia sedang duduk di anak tangga terakhir, menatap hampa ke pemandangan sekeliling kampus. Roni segera berlari ke lantai dasar, tempat Kafenya berada. Dia menuang segelas besar coklat panas di gelas kertas terbesar yang bisa ditemukannya, kemudian menaburi kayu manis diatas busanya. Roni kembali ke tempat dimana dia melihat gadis manis itu, secepat yang kakinya bisa. Sampai disana, sosok gadis manis itu telah menghilang. Dengan gontai dan hati masygul, Roni mendekati jendela menara dan melihat hujan yang mengguyur gedung-gedung Imperial College London. Diminumnya perlahan coklat panasnya. Dan saat itulah dia melihat dompet berwarna merah jambu dengan merek Louis Viton, tergeletak di anak tangga. Roni meletakkan gelas kertasnya di lantai, seraya mengambil dompet itu. Di dalam dompet dia mencari kartu mahasiswa. Kemudian Roni tersenyum. Foto gadis manis itu ada disana. Namanya Nita Tunggal Waluyo.
Roni membaca tulisan hasil kuliahnya tadi disebuah bangku taman yang panjang. Udara dingin membuat nafasnya beruap. Bahkan bangkunyapun masih terasa basah sisa hujan semalam. Ditatapnya kampus jurusan  Bisnis itu dengan hati berdetak kencang. Apa yang akan dikatakannya pertama kali pada Nita?
Hai, saya Roni, kemarin saya menemukan dompet anda terjatuh di tangga menara, ini, silahkan dicek. Ada yang kurang? Oh kurang seribu pound? I’m terribly sorry, I just found your wallet. Mungkin uang yang kurang itu anda belikan sepatu atau baju mungkin?”
Roni menggelengkan kepalanya. Dasar bodoh! Rutuk dirinya. Dibuka kembali buku catatannya. Tapi secepat kilat ditutupnya lagi. Saat ini benaknya dipenuhi dengan gadis itu. Ia tidak mungkin bisa membaca catatannya yang amburadul saking cepatnya menulis. Roni mendengus. Dimasukkannya kembali  buku berharga itu ke dalam tas ranselnya. Ekor matanya menangkap serombongan mahasiswa keluar dari gedung kampus. Dengan cermat diperhatikannya setiap gadis yang berrambut ombak sepunggung. Dadanya berdesir ketika sosok yang dicarinya itu berjalan ke arah Love Kafé. Tanpa menunggu lagi, Roni melompat bangkit dari bangku dan membuntuti gadis itu.
Nita memasuki Love Kafé, memesan minuman pada Dhev di meja konter, membayarnya, lalu duduk di sebuah kursi dengan meja menghadap jendela. Dia sendirian. Yah inilah kesempatannya. Roni memasuki Love Café, tersenyum pada Dhev yang membelalakkan mata padanya.
”Hey, kamu libur hari ini bukan? Mengapa kamu kesini?”tanyanya dalam bahasa Inggris.
Roni menghampirinya seraya berbisik,
”Masalah gadis Dhev, “bisiknya. Dhef tertawa.
 Roni memesan Coffelate dan sepiring siomay ayam pedas dengan saos tomat. Perlahan dia menghampiri meja dimana Nita berada. Dia kemudian berdehem. Nita menoleh ke arahnya.
 “Hai, aku Roni, boleh aku duduk disini?”pinta Roni. Nita menatapnya sejenak sebelum mengangguk. Roni meletakkan gelas Coffelate dan sepiring siaomay diatas meja.
“Kemarin kamu pergi ke menara kan?” tanya Roni.
Nita melihatnya lagi. Lebih lama kali ini.
”Apa mau kamu?” sahut Nita dingin.
Roni tersenyum. Dia merogoh kedalam tas ranselnya dan mengeluarkan dompet berwarna merah jambu itu. Mata Nita membesar lalu menatapnya bergantian.
“Dimana kamu menemukan dompet saya?”tanya Nita lagi.
 Kali ini ada keriangan di nada suaranya. Roni lalu menjelaskan segala sesuatunya. Mereka akhirnya mengobrol tentang segala hal. Tentang Nita, tentang Roni, alasan keduanya kuliah di ICL, kebingungan Nita ketika ia menyadari dompetnya hilang, tapi dia tidak mengatakan alasan mengapa dia naik ke menara hari itu. Roni lupa menanyakannya. Dan dia tidak mau menanyakannya. Yang dia tahu adalah wajah gadis itu ada di depannya. Dia tidak akan repot-repot menanyai Nita mengapa dia di menara Ratu kemarin.
Sejak saat itu mereka semakin dekat. Roni bisa melupakan kerinduaan pada keluarganya dengan berbagi rasa dengan Nita. Roni juga melupakan rasa rindunya untuk Ayu, tunangannya sejak setahun yang lalu. Yang ada di hatinya sekarang  hanyalah perasaan bahagia karena bisa dekat dengan Nita, gadis manis berrambut ombak sepunggung. Nita adalah gadis yang bebas mencurahkan isi hatinya. Dia tidak segan mengkritik pendapat-pendapat Roni jika mereka sedang berdiskusi tentang suatu hal. Kelugasan dan kecantikan Nita membuat diri Roni tertawan pada jurang cinta. Hatinya dipenuhi oleh Nita dan Nita. Jika sehari tidak bertemu, Roni merasa ada sesutau yang hilang dalam hidupnya hari itu. Hape dan facebook bahkan tidak bisa menuntaskan dahaganya akan  kehausannya menatap wajah Nita.
 Bahkan kuliahnyapun tidak terlalu menarik hatinya lagi. Karena keenceran otaknya saja, setiap ujian dia mendapat A, paling jelek B. Hanya saja saat ujian praktek, dia salah mendiagnosa dan mendapat teguran keras dari Roger Moore, asisten dosennya.
” Jika dalam kenyataan kamu salah dan mengakibatkan kematian seseorang, apa yang akan kamu lakukan? Coba lebih fokus dan teliti lagi Tuan Roni. Menjadi dokter mainannya adalah nyawa, kau tahu itu?” tegur Roger Moore.
Add caption

Roni mengerti menjadi dokter besar tanggung jawabnya. Dan dia juga mengerti seharusnya dia lebih fokus pada kuliahnya lagi. Tapi Nita terlalu dicintainya. Dia tidak kuasa berpisah dengannya walau seharipun. Nita menyambut perasaan Roni dengan kadar yang sama. Dia jatuh cinta pada Roni ketika merasa Roni mencintainya. Dan cinta itu sangat berharga dari apapun. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Dan atas nama cinta, pada suatu malam berhujan, Nita memberikan mahkotanya  yang paling berharga dalam dirinya untuk Roni. Dan pengorbanan itu disambut dengan rasa cinta dan sayang yang semakin mendalam dari Roni. Mereka selalu berdua kemana-mana. Tak terpisahkan. Yang tengah dimabuk cinta  memang tidak pernah perduli pada sekelilingnya. Tidak pada nilai ujian keduanya yang anjlok semester itu, tidak juga pada hujan yang seakan tidak akan berhenti turun  dari langit London.
Hingga surat itu menyuruhnya pulang ke Jakarta. Ayahnya masuk rumah sakit lagi. Kali ini lebih parah. Dia harus pulang. Hati Roni mencelos. Hatinya terbagi antara pulang ke Jakarta atau menemani Nita. Namun tiket pulang terselip di surat itu. Dan tanggalnya besok. Dia harus berkemas-kemas dan memberitahu pihak kampus soal itu. Maka malam itu, Roni memeluk Nita lebih erat dan lebih lama dibanding sebelumnya. Nalurinya seakan merasa bahwa ini adalah pelukan terakhir mereka. Namun Roni tidak kuasa untuk mengatakan masalah surat dan ayahnya pada Nita. Tidak bisa. Lidahnya kelu tiba-tiba jika dia hendak berbicara tentang kepulangannya ke Jakarta. Jadi, dia hanya bisa memeluknya lebih erat sekarang. Saat dia masih disini. Saat mereka masih ada dalam alam mimpi.
Setelah kebersamaan mereka itu, keesokan harinya Roni berada dalam pesawat yang membawanya ke Jakarta. Ada tangis, ada penyesalan karena tak kuasa mengatakan yang sebenarnya pada kekasihnya itu. Walaupun dia tahu, dia akan menghancurkan hati seorang wanita yang teramat mencintainya. Roni telah memilih Ayahnya. Namun di hatinya terselip tekad. Setelah urusan dengan sang Ayah selesai, ia akan mencari Nita. Akan menikahinya. Akan bersama dengannya selama sisa hidupnya. Airmata begulir dari ujung matanya. Satu persatu.
4 tahun kemudian
Hujan turun membasahi tanah Jakarta. Gerimis itu tidak mampu mendinginkan perasaan seorang pemuda yang tengah remuk redam. Pemuda itu bersembunyi di balik pohon Mahoni yang ada di halaman Rumah Sakit Jiwa Polri. Jubah putihnya ternoda cipratan lumpur yang tercipta karena genangan air hujan. Roni menatap gadis yang sedang duduk itu. Gadis manis itu  berambut panjang berombak sepunggung. Mata besarnya menatap kosong pada langit biru. Semua itu membuat hati Roni tercabik-cabik sakit.
“Dulu gadis itu miliknya. Dulu gadis manis itu selalu berada disisinya. Kata-katanya yang lembut dan menenangkan, pernah terngiang di telinganya. Dan rambut indah itupun pernah dibelainya.”batin Roni. Mata Roni kini berkaca-kaca. Akhirnya satu tetes airmata itu bergulir dipipinya kemudian jatuh ke rerumputan, bersatu dengan tetesan air hujan sore itu.(rinzay)


Add caption
Biodata penulis:
Name    : Reny Sri Suryani                  Nama pena: Rinzaycruise
Email      benqcruise@yahoo.com                             akun fb: suryani rinz

Address : Jl.Padat karya  Kampung Utan Jaya  RT05/RW03 no. 26b depan Mesjid Jami Baiturrahman, Kelurahan Pondok jaya , Kecamatan Pancoran Mas, Cipayung  Depok 16438








3 komentar:

  1. Sad ending. Gadisnya menjadi gila :(

    BalasHapus
  2. intinya kalau cinta jangan terlalu berlebihan,makasih udah mau baca dan singgah di blog saya yg sederhana ini

    BalasHapus
  3. cerita yang bagus, Mbak. Keep Writing!

    BalasHapus