Minggu, 24 Februari 2013

CINTA YANG MENDEWASAKAN





Add caption
Siapa bilang anak mesjid tidak bisa konyol? Walaupun anak mesjid identik dengan suasana religius, ada kalanya mereka juga mengalami cerita konyol yang membuat malu. Namun, setelah beberapa tahun kemudian, cerita-cerita memalkan itu brubah menjadi kenangan indah yang menjadi inspirasi membuat cerpen.
Ini cerita tentang aku , sepuluh tahun yang lalu.
Aku dan teman-temanku menjadi panitia Mesjid Habiburrahaman. Panitia disini mencakup banyak acara. Misalnya pada saat Lebaran, kami bertugas membagi-bagikan kantong plastik hitam sebagai tempat sandal bagi jamaah yang hendak melaksanakan sholat Ied. Pada Hari Idul Adha, kami menjadi tukang timbang daging, tukang menguliti dan banyak lagi. Namun ada satu cerita cinta yang kalau dikenang sekarang itu adalah cerita yang membuatku dewasa. Bukan hanya mendewasakan, tapi juga konyol, karena saat itu aku melakukan hal-hal yang dianggap kurang pantas bagi seorang jilbaber.
 Kami menjadi panitia Itikaf di Mesjid Habiburrahman. Itikaf artinya berdiam diri di mesjid untuk menjalankan ibadah sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini dicontohkan Rasulullah saw sendiri. Jika 10 hari terakhir Ramadhan tiba, beliau akan lebih banyak beribadah, lebih banyak membaca Al-Quran, dan tidak berhubungan badan dengan istri-istrinya. Itikaf juga bertujuan untuk mengharapkan Lailatul Qadar, malam yang berkah yang lebih mulia daripada seribu bulan.  Pada malam itu Allah akan mengapuni setiap orang yang meminta ampun, akan mengabulkan doa setiap orang yang berdoa, dan akan memuliakan orang yang memohon kepadaNya. Karena itulah banyak orang beritikaf di mesjid untuk mendapatkannya. Tugas kami  sebagai panitia Itikaf adalah mengurus kebutuhan makanan berbuka dan makanan saat sahur. Selain itu juga kami harus membangunkan para jamaah dan mengatur pengambilan air wudhu. 
  Seperti biasa, panitia perempuan bertanggungjawab pada jamaah perempuan. Kami membuat batas antara jamaah laki-laki dan perempuan, agar para jamaah yang hendak melaksanakan itikaf tidak bercampur sehingga menimbulkan virus merah jambu yang mengganggu pelaksanaan ibadah. Tapi seperti pepatah, manusia hanya bisa berusaha, Tuhan juga yang menentukan. Virus merah jambu  itu terjadi padaku.
Add caption
Sebagai seorang jilbaber, aku berusaha menjaga tingkah lakuku agar selalu sopan. Namun memang aku agak bandel. Jika melihat sesuatu yang lucu, spontan aku akan tertawa terbahak-bahak,  tanpa mengingat bahwa aku ini jilbaber. Hal yang paling parah adalah dimana aku jatuh cinta kepada Ketua Panitia Itikaf,ku sendiri, yaitu  Kang Ian.
Kang Ian seorang akhtifis mesjid. Posturnya rata-rata orang Indonesia, berkult sawo matang, dahinya tinggi tanda seorang pemikir. Dia adalah anak yatim sehingga menjadi tulang punggung keluarganya. Pembawaannya pendiam dan tenang. Melihatnya aku seperti menemukan sebuah buku misteri yang menarik untuk kubaca. Oiya, dia juga seorang penghafal Quran. Saat itu dia sudah menghafal 2 juz Al-Quran. Ketika dia membaca surat Ar-Rahman di luar kepala, aku hanya menatapnya dari saf wanita dengan hati yang meleleh. Itulah lelaki yang kuidamkan untuk menjadi sumiku. Itulah kali pertama aku jatuh cinta pada mahluk Tuhan berjenis kelamin laki-laki. Rasa cinta itu aku pendam dalam-dalam. Maklum, kami berusaha menjaga mata dan hati kami agar tidak jelalatan. Tapi lagi-lagi aku melanggar. Cinta terpendam ini membuatku jerawatan. Bahkan bisulan. Tapi itu bukan karena cinta terpendam, tapi karena kebanyakan makan telur untuk buka dan sahur.
 Pada saat rapat seringkali aku mentapnya diam-diam. Aku biasanya duduk di paling belakang, pura-pura memperhatikan rapat, padahal aku memperhatikan Kang Ian. Saat kita sedang jatuh cinta, perilaku orang yang kita cintai  bergerak dalam gerakan lambat. Misalanya saja  ketika Kang Ian bercerita tentang jadwal pembagian makanan untuk sahur.
 “Qiyamul lail akan berakhir pukul 03.45. Makanan sahur akan dibagikan pukul 03.50. Ingat, kuponnya jangan hilang. Karena pelajaran tahun kemarin, kita kecolongan 100 bungkus nasi. Bukan apa-apa, makanan itu kan kita beli dari rumah makan. Kalau kelebihan maka kita rugi dong,”ucapnya dengan nada serius yang sama.
Nah, jika kata-kata itu bergerak lambat seperti dalam bayanganku, maka akan menjadi,”Jaaaaaaaaaaaaadiiiiiiiiiii qiiiiiiiiyaaaaaamuuuuullll laaaaaaaiiiiiiil beeeeeeeeeerrraaaakkkkhhhhhhiiiir pppuuuuukkkkuuuuulllll tttitiiiigggaaa    eeeeemmmmppppaaaaatttt   limaaaaa…….”, 
Pusing kan? Hehehe, namun dalam benakku yang keracunan demam merah jambu, hal itu biasa saja. Setiap lirikan matanya, gerakan tangannya bahkan degup jantungnya, semuanya terlihat melambat. Setiap kali melihat Kang Ian,  wajahnya tiba-tiba menjadi  lebih  jelas dimataku. Aku sering berkhayal, Kang Ian melamarku dengan berlutut, di giginya yang putih terselip setangkai mawar merah, dan ditangan kanannya ada sekotak coklat. Kubayangkan giginya putih bersinar seperti gigi dalam iklan pasta gigi. Matanya yang bulat jernih, bercahaya seperti iklan obat tetes mata. Bukan itu saja, tiba-tiba lagu Amir Diab yang Tamali Maak yang artinya Selalu Denganmu, berkumandang dengan merdunya. Aiiiiiih. Saking tenggelamnya aku dalam lemunanku, aku tidak sengaja berkali-kali memukul tangan Teh Rosy. Dia mengaduh seraya berbisik,
”Teh Rini?”tegurnya.
Aku membuka mataku. Mata-mata peserta rapat itikaf lainnya menatapku penuh selidik. Pandangan penuh tanda Tanya tersirat di wajah mereka. Kang Ian menatapku lalu bertanya,
”Teh Rini ada yang mau disampaikan?”
Aku menatap kekanan dan kekiri dengan serba salah. Seperti maling ayam tertangkap basah. Aku menggelengkan kepalaku seraya tertunduk malu,
.” Tidak ada kang,”ucapku. 
Kalau aku berkulit putih, mungkin saat itu pipiku terlihat merah padam seperti kepiting rebus. Untung saja aku berkulit sawo muda, coklat coklat manis gitu. Bukan saat itu saja aku mempermalukan diriku di depan Kang Ian. Sebagai panitia yang rumahnya dekat dengan mesjid, aku sering kebagian piket di meja pendaftaran. Aku akan menunggui meja panitia yang membuka pendaftaran pemesanan makanan untuk berbuka dan juga sahur. Sebagai panitia Itikaf, kami dipinjami walkie talkie sebagai sarana pelancar komunikasi kami.  
 Waktu itu pukul 10.30. Masa-masa yang kritis karena setelah semalaman bershalat malam, mata maunya terpejam saja. Suasana mesjid terasa hening. Sayup-sayup terdengar alunan ayat suci dilantunkan jamaah dari kejauhan.Malam nanti adalah malam genap. Jamaah yang hendak beritikaf tidak sebanyak jamaah yang datang pada malam ganjil. Karena kebanyakan orang percaya jika LailatulQadar diturunkan pada malam ganjil. Tapi sebagian ulama mengetakan jika malam Lailatul Qadar dpergilirkan diatara 10 hari terakhir Ramadhan . Jadi banyak juga yang beritkaf selama 10 hari terakhir.
Add caption
 Karena saat itu aku dalam  tahap jiwa dewasa awal, aku lebih sering memperturutkan hawa nafsuku, alias masih labil. Maksudnya, disaat yang lain sedang mengaji Al-Quran, aku malah menyanyikan lagu Dewa 19 yang Separuh Jiwaku di frekuensi kosong di walkie talkie-ku . Dengan posisi membungkuk diatas meja seperti tertidur, aku bersenandung perlahan agar tidak bisa didengar orang lain.
Separuh jiwaku, terbang bersama dirimu, saat kau tinggalkanku, salahkanku, salahkah aku bila aku bukanlah seperti aku yang dahulu,”senandungku perlahan. 
Saat asyik menyanyi, ada tepukan pelan di bahuku. Karena kaget, aku melemparkan walkie talkie ke udara. Walkie talkie berwarna biru itu melayang lalu mendarat mulus dengan mengeluarkan suara patah yang mengerikan. Walkie talkie itu pecah menjadi 5 bagian yang besar dan ratusan serpihan lain. Seorang jilbaber berkaos kaki tidak sengaja menginjak bagian walkie talkie yang besar. Diantara teriakannya yang singkat, dia meluncur bagai seorang peseluncur es diatas keramik mesjid yang putih mulus. Sebelum jatuh, dia menarik kaos kawannya hingga kawannya yang juga berjilbab ikut terjatuh. 
Aku terpana, sebelum tertawa, Namun seketika aku  menutup mulutku. Aku masih ingat aku berada di mesjid. Namun gadis berjilbab yang tadi jatuh, kemudian menginjak serpihan walkie talkie yang lebih kecil dan kembali terjatuh. Aku tak kuasa menahan tawaku. Hanya saja pelototan jamaah yang melihat kejadian itu membuatku menahan tawa. Aku membekap mulutku agar tawa itu tidak meledak. Akibatnya, pipiku sakit, perutku sakit dan mataku mengeluarkan airmata. Perutku yang sakit membuatku ingin buang angin alias kentut. Disela-sela usahaku menahan tawa, aku melepaskan keteangan perutku dengan kentut perlahan-lahan.
 Dut, dut, dut. 
Aku merasa geli sendiri mendengar suara kentutku. Namun,  tiba-tiba,
“Teh Rini?”
Itu suara Kang Ian!
  Aku terhenyak. Perlahan-lahan aku membalikkn badanku 180 derajat. Dan disanalah, pangeran idamanku, berdiri sekitar 1 meter di belakang meja panitia. Dari wajahnya yang memerah dan salah tingkah, aku yakin Kang Ian mendengar suara kentutku yang patah-patah  barusan. Aduh, malunya. Ingin sekali aku menyembunyikan wajahku di pasir seperti burung onta. Atau di koper, atau di sumur atau dimana kek, sehingga  aku tidak bertemu dengan Kang Ian. Habis sudah harapanku  masuk ke dalam  daftar wanita yang layak dijadikan istri olehnya. Malah, aku akan dikenang olehnya sebagai jilbaber berkentut patah-patah!Ingin sekali aku menangis. Ingin sekali aku menangis, ingin sekali aku menghilang! Aku tak ikut rapat hari itu karena malu bertemu Kang Ian.
Itikafku tahun itu adalah yang terburuk sepanjang aku menjadi panitia. Bacaan Quranku tidak tamat. Padahal tahun sebelumnya, aku bisa menamatkan bacaan Quran 2 kali selama seminggu. Setelah jatuh cinta pada Kang Ian, sholatku jadi tidak khusu. Bayangannya selalu menari-nari di pelupuk mataku. Ekspresinya yang kaget saat itu, membuatku ingin pergi jadi TKW ke Arab Saudi. Akhirnya aku menumpahan uneg-unegku pada Teh Keti, sesama panitia yang sudah senior mengaji 1 tahun diatasku. Aku mempercayakan ceritaku, rasa maluku, dan  rasa cintaku padanya. Setidaknya Teh Keti telah berpengalaman dalam menampung curahan hati seorang jilbaber konyol sepertiku. Setelah menceritakan segalanya, perasaanku menjadi lega. Setidaknya aku bias membagi bebanku dengan seseorang yang bisa kupercayai. Teh Keti memberiku saran,
”Ya sudah atuh, Teteh minta ditaarufkan saja sama Kang Ian melalui temannya. Daripada ibadah Teh Rini jadi terganggu gara-gara membayangkan Kang Ian terus.”
Aku mengangguk setuju. Lalu aku minta bantuan Kang Sofyan. sahabat Kang Ian untuk menaarufkanku dengan Kang Ian. 
Seminggu setelah Lebaran Kang Sofyan datang ke rumah. membawa jawaban yang kutunggu.
”Kang Ian sudah beristikharah dan berpikir masak-masak, Teh Rini. Untuk saat ini, beliau belum siap menikah Teh. Maklum, dia kan anak lelaki satu-satunya. Tanggungannya banyak.. Jangan sedih ya Teh, mungkin Teh Rini belum berjodoh dengan Kang Ian,”ucap Kang Sofyan.
Aku menerima jawaban dari Kang Sofyan dengan hati yang sedih dan mendongkol. Apa yang aku harapkan sih? Aku sudah mempermalukan diriku sendiri di depan Kang Ian. Pastilah dia menganggap aku konyol.  Sudah pasti dia akan menolakku.  Walau pedih, aku berusaha menabahkan hati. Setidaknya aku tahu bagaiamana perasaan Kang Ian kepadaku.
Sebulan kemudian aku mendapat kabar yang mengejutkan. Kang Ian akan menikah. Dan wanita berjilbab yang akan dinikahinya adalah Teh Keti! Saat berita itu kudengar dari mulut Teh Keti sendiri, aku merasa telingaku mendengar suara singa yang keluar dari kandangnya, gonggongan anjing, lenguhan sapi, cericit burung, meongan kucing dan ular derik sekaligus. Yah, hatiku saat itu porak poranda seperti kebun binatang yang diacak-acak binatang penghuninya.
Add caption
Tapi sebagai muslim, aku harus ikut berbahagia dengan kabar pernikahan mereka. Aku harus mengubur rasa sedihku jauh-jauh di kedalaman hatiku. Dan aku membuktikannya dengan ikut menjadi Pageur Ayu, barisan pengiring pengantin dari pihak wanita. Saat aku melihat mereka bersanding di pelaminan, aku baru tersadar. Mencitai seseorang tidak harus memiliki orang tersebut. Kisah patah hati pertamaku ini kuanggap pelajaran langsung dari Tuhan. Mungkin, Tuhan ingin aku lebih dewasa lagi dalam menyikapi hidup ini.(rinz)


Saya Reny sRI Suryani alias Suryani rinz, 31 thn, penulis cerpen/novel



Tidak ada komentar:

Posting Komentar