Kamis, 03 Juli 2014

CERPEN UNTUK PALESTINA



BENAR-BENAR SELAMAT TINGGAL



Sarah memunguti buah zaitun yang terjatuh diatas terpal. Buah zaitun yang hijau, segar, dan mengkilap itu diraupnya kedalam keranjang plastik oleh jemari mungilnya. Keringat menetes dari dahinya, mengalir melewati pipi halusnya, menggantung sejenak di rahang lembutnya, kemudian jatuh ke atas terpal, membentuk noda gelap. Rambut ikalnya tidak diikat dan dibiarkan terurai sepanjang punggungnya yang kecil. Gadis kecil berumur tujuh tahun itu memakai abaya katun berwarna hijau pastel yang sejuk. Kakinya  tidak beralas. Tingginya sudah mencapai satu meter tigapuluh centi. Alisnya menukik dan tebal. Matanya besar dan lentik. Bibirnya tebal dengan warna kemerahan alami. Ada rona kemerahan tersengat matahari tergambar di pipi halusnya. Dia tidak sekolah. Sekolah jauh dan mahal. Sarah dididik untuk menjadi seorang istri dan calon ibu yang cakap oleh sang Ibu, Khadijah, yang juga tidak pernah menginjak bangku sekolah. Namun, walaupun Sarah tidak pernah mengecap bangku sekolah, ia dididik untuk mendalami agama Islam. Ayahnya adalah seorang Imam di mushola kecil di desanya, Borqa, sebelah timur Ramalah. Khalid hafal 30 juz surat Al-Quran. Dan sejak dulu, secara turun temurun, keluarga mereka selalu dididik untuk  menghafal ayat-ayat Al- Quran. Karena keluarga mereka terkenal sangat fasih hafalan Quran-nya, banyak tetangganya yang meminta kepala keluarga mereka untuk menjadi Imam di mushola kecil mereka.
Sarah menatap ke arah langit biru yang  membentang di atas kebun milik kedua orangtuanya dipinggiran daerah Khirbat Al-Tira. Panen zaitun kali ini tidak seperti tahun lalu. Hasil tahun ini lebih melimpah. Pohon-pohon zaitun yang rindang dan telah berusia ratusan tahun itu agak bermurah hati pada keluarga mereka tahun ini. Pohon-pohon itu teduh, dengan batang pohon  berdiameter satu meter. Cabang-cabangnya yang rapat menghasilkan ribuan bunga mayang bakal buah. Daun-daun pohon zaitun berbentuk pipih dengan panjang sekitar delapan centimeter dan tebal.  Sarah senang tiduran di bawahnya dengan beralas sehelai tirai bekas warna biru. Karung-karung bekas gandum dipakai untuk membawa zaitun-zaitun itu ke kota untuk dijual.
Dulu, jika Ayahnya akan menjual zaitun-zaitun itu, maka ia  akan bermobil bersama Irsyad dan Imran, kedua kakak laki-lakinya. Kedua laki-lakinya juga tidak bersekolah. Hanya saja mereka belajar membaca dan menulis dari seorang tetangga yang baik hati, seorang pensiunan dosen dari Universitas An-Najah.  Kedua kakak laki-lakinya pintar. Mereka cepat mengerti ilmu yang diajarkan mantan dosen tersebut. Selain itu, mereka juga  telah khatam Quran ratusan kali.
Irsyad telah berumur dua puluh tahun. Wajahnya tampan dengan rambut yang juga ikal besar-besar seperti Sarah, yang dipotong sebahu. Rambut ikal mereka merupakan warisan kedua orangtua mereka. Irsyad telah menghafal 30 juz Al-Quran. Dia seorang pemuda yang kuat. Karenanya, ia selalu membantu di kebun zaitun dan kebun kurma milik tetangga. Kadang-kadang jika Ayahnya sakit, maka tugas Irsyad-lah menggantikannya menjadi Imam di  mushola. Suaranya merdu dan nyaring. Matanya tajam dan ceria. Cita-citanya hanya satu, membahagiakan Ayah dan Ibu. Sarah sangat menyayangi Irsyad, kakak tertuanya, karena Irsyad sering memanjakannya dan menggendongnya di punggung jika ia menangis.
Kakak laki-lakinya yang lain, Imran, berumur lima belas tahun dengan postur tubuh tinggi kurus. Matanya yang bulat dan besar selalu kelihatan berkaca-kaca. Imran lebih pendiam daripada Irsyad. Hafalan Qurannya baru 20 juz. Tapi dia sangat suka membaca buku-buku pengetahuan yang diberi oleh Tuan Abdurahman, mantan dosen yang mengajar mereka tulis dan baca. Tak pernah terlihat tangannya kosong dari buku. Buku-buku tentang tehnik mesin, perkebunan, atau musik, semua dilahapnya. Tempat membaca kesukaanya jika di rumah yaitu kebun belakang di bawah pohon Paloverde,  di kursi rusak yang dialasi kain bekas. Dia akan terus berada disana jika tidak sedang memanen zaitun, terselang oleh sholat dan makan. Seringkali Sarah memergokinya sedang menatap langit yang tengah beranjak senja. Tatapan matanya yang menerawang, menembus batas langit desa kami, mengembarakan otaknya entah kemana. Dia akan terus seperti itu jika saja adzan Magrib tidak berkumandang. Terkadang Imran berkhayal jika dirinya pergi meninggalkan rumahnya dan memulai kehidupan di belahan dunia yang lain. Jika dia dan Ayah pergi untuk menjual hasil panen zaitun, ia selalu mengucapkan selamat tinggal kepada desanya. Seakan dia hendak pergi jauh. Namun, dia selalu kembali lagi. Nyalinya tidak pernah terlalu berani untuk meninggalkan keluarga dan desa kelahirannya.
Suatu siang, tahun yang lalu,  Ayahnya membawa Irsyad ke kota Ramalah untuk menjual buah zaitun yang mereka miliki. Panen tahun kemarin hanya berupa dua karung gandum saja. Tapi sorenya, sang Ayah hanya pulang seorang diri saja. Entah kemana Irsyad pergi. Ketika Sarah menanyakan pada Ibunya, Khadijah hanya menangis. Ayahnya  lalu mendelik pada Ibunya ketika tangisan itu terdengar olehnya.
“Irsyad dibutuhkan oleh negara kita. Hapus airmatamu! Jangan membuat anakmu rindu karena kau terus mengingatnya. Dia anak titipan Allah. Kita sudah menunaikan kewajiban kita untuk mendidik dan membesarkannya. Setelah baligh dan dewasa, anak kita adalah milik Tuhan Pemilik Takdir. Jika dia memilih takdir yang baik, maka doakanlah olehmu. Biarkan doamu menjaganya dari ujian yang menimpanya. Bersabarlah istriku. Insyaallah anakmu akan menjadi simpanan terbaik kita kelak. Jadi sudahi tangisanmu itu”, ucap Khalid keras.
Setelah itu dia duduk dan menyandarkan punggung tuanya di dinding rumah. Matanya menatap langit-langit. Berkaca-kaca. Sarah hanya terdiam  tak mengerti, menatap kedua orangtuanya, yang tengah tenggelam dalam pemikiran masing-masing.
Sejak saat itu Sarah belum pernah lagi bertemu dengan Irsyad. Ia begitu kehilangan akan sosok kakaknya yang penuh kasih sayang. Begitu juga anggota keluarganya yang lain. Irsyad tidak pernah memberi kabar apapun. Namun setelah itu, Ayah dan Ibunya jadi sering melakukan sholat pada dini hari. Mereka berjamaah mengerjakan tahajud. Lantunan ayat-ayat Al-Quran yang dihafal Ayahnya menyelusup menembus pintu kamarnya. Sering Sarah bangun dan memperhatikan mereka. Jika telah begitu, Sarah akan meniru dan sholat di belakang mereka. Namun umurnya yang baru tujuh  tahun,  tidak bisa menahan kantuk yang menyerangnya.  Esoknya, ia akan bangun di kamarnya dengan masih mengenakan hijab lebar untuk sholat.
Pagi itu Sarah mendengar keributan dari ruang depan. Terdengar kata-kata bernada tinggi dan kasar dari orang yang belum pernah dikenalnya. Lalu Ayahnya membalas dengan lembut, berusaha mencairkan kemarahan orang yang membentaknya.
“ Tapi tuan, kami hanya petani biasa. Kami tidak punya tempat untuk bernaung jika tuan mengusir kami dari rumah kami sendiri. Rumah ini telah kami tempati sejak puluhan tahun yang lalu. Kami bahkan memiliki surat-surat dan dokumen aslinya!”
“ Aku tidak perduli! Siang ini kalian harus pergi dari rumah ini, atau aku akan mengusir kalian seperti anjing!”
Lalu terdengar suara pintu yang ditendang. Keributan itu kemudian menghilang tergantikan suara tangisan Ibunya. Terdengar suara Imran yang menghibur Ayah dan Ibunya.
“ Ayolah Bu, kita pergi saja dari sini. Kita tinggal sementara di kebun Zaitun lalu kita pergi ke Rammalah. Mungkin disana kehidupan kita akan lebih baik. Daripada disini, lambat laun, remaja tak tahu kesopanan dari Israel itu akan menyakiti kita. Aku bahkan takut mereka akan membunuh kita dan menguburkan mayat kita di kebun belakang.”
“ Tapi ini tanah kita Imran! Bagaimana bisa aku begitu saja menyerahkan tanah dan rumah yang telah kita tempati puluhan tahun yang lalu. Tanah dan rumah yang ingin kuwariskan kepadamu, kepada Sarah. Aku tak bisa merelakannya!”
“ Apa Ayah lebih memilih tanah dan rumah ini dibanding keselamatan kita? Mereka telah mengusir para petani yang ada di ujung desa. Hanya menghitung hari saja mereka akan mengusir kita atau membunuh kita. Sadarlah Ayah!”
Sarah melangkah dengan takut-takut ke arah ruang depan lalu memeluk Ayahnya yang tengah menekuri diri. Ibunya mengatupkan selendang untuk menutupi tangisnya.
“ Apa kau tak menyesal Imran?”tanya Ayah.
Imran berdiri. Matanya memancarkan tekad bulat.
“Tidak Ayah! Aku yakin, cobaan ini tidak semata-mata diujikan pada kita selain karena kita mampu! Bumi Allah itu luas Ayah. Walau, aku juga ingin berperang dengan mereka sampai titik darah penghabisan seperti Kak Irsyad yang telah mujahid di Gaza. Namun Ayah, insyaallah, kita masih punya banyak kesempatan. Setiap orang mempunyai medan jihadnya sendiri-sendiri. Ayo kita pergi dari sini untuk menyelamatkan iman,agama dan harga diri kita. Biarlah mereka mengambil semua yang pernah kita miliki! Semoga Allah membalas perbuatan mereka!”seru Imran.
Ayah sejenak terpaku mendengar perkataan Imran yang panjang lebar. Lalu senyum lebarnya tersungging di wajahnya yang arif.
“ Alhamdulillah, engkau telah dewasa Imran! Aku setuju dengan engkau anakku! Marilah kita berkemas dengan hal yang perlu saja. Aku akan memeriksa mobil. Semoga Allah meridhoi keputusan kita,”seru Ayah.
Imran mengangguk. Lalu dia membelai rambut Sarah,
“ Sarah, bereskan beberapa pakaian milikmu. Simpan di dalam buntalan taplak meja atau gorden. Kita akan bepergian yang jauh.”
Sarah mengangguk lalu berlari ke kamarnya. Imran memeluk Ibunya lalu berkata,
“Bu, kita hanya punya waktu sampai hari ini. Maka kuatkanlah hatimu! Kita akan pergi bertamasya! Anggaplah seperti itu. Pengorbanan kita tidaklah sebanding dengan pengorbanan Irsyad yang telah syahid!”
“ Baiklah Imran. Jika Ayahmu sudah setuju denganmu, maka Ibu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mari kita pergi!”
Ibu dan Imran lalu mulai membereskan barang-barang yang akan mereka bawa. Ada 4 buah selimut tebal berlapis wol yang dilipat dan diikat di karpet. Imran memasukkan beberapa pasang sepatu cadangan dalam karung. Beberapa foto yang menggantung  di dinding, di masukkannya ke dalam tas ranselnya. Lalu dia mengumpulkan bahan makanan, seperti acar zaitun yang dimasukkan dalam botol selai kaca, sekarung tepung terigu, 5 jerigen plastik minyak zaitun yang hendak di jual di Ramallah, 10 kaleng daging cingcang, sekilo bawang bombay, bawang putih, teh, kopi, 5 kilo beras, bermacam-macam bumbu dapur seperti lada, ketumbar, dill, adas manis, kayu manis, jinten, jeruk lemon, saffron. Tidak lupa juga saus tahini, ghee, kuskus, dan satu jeriken plastik yoghurt. Semua itu kemudian dimasukkan ke dalam bagasi mobil, kecuali selimut yang tersimpan di pojok jok mobil. 
Ibu datang dan memasukkan buntelan berisi pakaian ke dalam bagasi. Ayah sedang mengisi bensin dengan persediaan bensin dari botol kaca. Sarah datang tergopoh-gopoh karena kerepotan membawa buntelan berisi pakaiannya sendiri. Imran memeriksa semuanya dengan puas. Ditatapnya langit yang naik sepenggalan seakan mengingatkan dirinya untuk dhuha. Tiba-tiba dirinya teringat akan Tuan Abdurrahman yang tinggal di ujung desa. Entah bagaimana nasib mereka kini. Imran menoleh pada Ayahnya.
“Ayah, sebelum kita pergi, bolehkah kita mampir ke rumah tuan Abdurrahman? Aku ingin mengucapkan selamat tinggal padanya,”seru Imran.
“ Tentu saja anakku, dia adalah gurumu.”
Mereka pun lalu masuk ke dalam Peugeot 206 yang mulai berkarat disana-sini. Untungnya mesin mobil mereka sering dirawat dan dibersihkan Imran. Begitu juga dengan knalpot, karburator, oli dan rem. Semuanya berkat bimbingan Tuan Abdurrahman. Mereka berempat pun masuklah ke dalam mobil. Imran yang menyopir. Perlahan roda mobil bergerak meninggalkan rumah yang telah menaungi mereka selama puluhan tahun. Ibu dan Sarah menatap rumah kecintaan mereka untuk yang terakhir kalinya. Ibu kembali terisak dan sibuk dengan selendang yang menjadi hijabnya. Sarah memeluk Ibunya, lalu menghapus airmata yang bercucuran di matanya.
Beberapa saat kemudian  sampailah mereka di ujung desa Borqa. Di depan rumah Tuan Abdurrahman, Imran menghentikan mobil.
“ Ayah, aku hanya sebentar,”seru Imran.
Ayah mengangguk. Ditatapnya punggung anaknya dengan bangga.
Imran mengetuk pintu. Namun walau telah ditunggunya beberapa saat, tidak ada sahutan dari dalam rumah. Dengan entakan pelan pintu itu terbuka.
“ Assalammualaikum?Tuan Abdurrahman?Anda ada di dalam?”seru Imran.
Imran memasuki rumah dengan sungkan. Tidak biasa baginya memasuki rumah orang lain tanpa ijin si empu rumah. Namun kali ini berbeda. Dia hendak pergi meninggalkan desa itu. Mungkin untuk selamanya. Dan tak sopan rasanya jika dia tidak berpamitan terlebih dalu pada gurunya itu. Aneh. Ada yang tak beres dengan rumah itu. Rumah itu remang-remang. Bau apak menyengat hidungnya. Sinar matahari yang menerobos lewat celah gorden, memantulkan bayangan yang membuat dirinya kaget. Rumah itu berantakan. Laci meja tergeletak di luar mejanya. Lampu berdiri, jatuh dan hancur di lantai. Lemari buku tampak berantakan. Keluarga Tuan Abdurrahman telah pergi!
Imran keluar dari rumah dengan rona wajah bingung. Diputarinya mobil lalu dengan lesu dia duduk di belakang kemudi. Ayahnya menangkap ketidakberesan atas sikap Imran.
“ Imran? Ada apa nak? Kau baik-baik saja?”tanya Ayah.
“ Iya Ayah. Aku hanya terkejut, rumah mereka telah kosong sebelum kita datang. Rupanya mereka telah diancam juga oleh pemuda berandalan itu.”
“ Ya sudahlah, mari kita teruskan perjalanan kita,”seru Ayah.
Imran menarik kopling lalu menginjak pedal gas. Lewat kaca spion, ditatapnya desa yang telah menjadi tempat dia bertumbuh selama 20 tahun ini. Berbagai kenangan dan cerita telah terukir di setiap jengkal tanah, pohon dan debu desanya.
“ Selamat tinggal desaku, kali ini benar-benar selamat tinggal.”(rinz)

Jumat, 30 Mei 2014

KAU



KAU

“ Met pagi Hardrockers!!! Disini Lucky kembali berkicau sama kalian. Apa kabarnya hari ini?Hari kejepit  nasional ya? So, buat kamu yang lenjeh-lenjeh ga karuan, coba duduk manis di depan radio kalian. Dengerin Lucky disini, di Good Morning Folks!!”
“Oke buat kalian yang masih mengumpulkan nyawa, cie bahasanya, dengerin lagu yang satu ini, Mari Bersepeda dari Run. Check this out!”
Lucky menekan tombol on lalu menghirup susu coklatnya dengan nikmat. Ditatapnya Dimas yang datang terlambat.
“ Kenapa baru dateng? Begadang lagi ya?”
Dimas yang sedang membereskan naskah siaran pagi itu, nyengir lebar.
“ Biasa bro, cicilan skripsi, tambah AC Milan vs Real Madrid. Gimana gua ga bisa nolak rayuan begadang coba?”
Lucky tersenyum mendengar jawaban spontan Dimas. Hatinya sendiri terenyuh mengingat nasib skripsinya yang memang terbengkalai. Dua tahun dia minta cuti dari kampus. Alasannya, karier dia sebagai model, vokalis band, dan penyiar radio sedang bagus-bagusnya. Padahal otak dia encer dan berpotensi menemukan hal-hal baru dalam pengobatan herbal. Jurusannya di Fakultas Bioteknologi mengharuskannya untuk menganalisis setiap herbal agar bisa dijadikan sesuatu yang lebih berguna, bisa sebagai obat atau yang lainnya.  Kesukaannya dalam menganalisis suatu bahan kimia sering membuatnya betah tinggal di laboratorium kampus. Pada tahun ketiga dia kuliah, Ayahnya meninggal. Otomatis pemasukan keluarga agak tersendat. Lucky adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya sudah bekerja dan menikah. Kakaknya tinggal di Jakarta dengan istri dan anak-anaknya. Di rumah kini tinggal dia, Ibu, dan adiknya, Mimi, yang duduk di kelas 3 SMU. Kebetulan, tawaran menjadi model mengalir deras, sehingga ia tidak bisa mengatur waktu kuliahnya. Nilainya amburadul dengan sederet tugas-tugas yang sering tak dikerjakannya. Karena itu dengan sangat terpaksa dia mengambil cuti. Dia ingin mendahulukan Mimi yang sebentar lagi lulus.
“ Masih barengan Dimas disini dan Lucky yang sedang bengong!” terdengar suara Dimas.
Lucky tersentak. Kemudian menyalakan tombol on di mikrofonnya.
“ Yow, yow. Aku enggak bengong kok Hardrockers, cuman lagi melototin cicak kawin di sudut,  dekat AC.”
“ Begini nih kalau penyiar bangkotan. Bukannya kerja, malah nonton cikcak pake bikini!”
“ Ngomong-ngomong soal kawin nih Hardrockers, Valentino Rossi akhirnya meminang Stefia Razamore. Menurut koran Buziilini, korannya Italia sono, Valentino Rossi dan Stefia Razamore terlihat makan malam di restoran Pacioli. Dan disana Valentino Rossi melamar Stefia dengan memasukkan cincin berlian ke gelas anggurnya. Stefia terlihat terkejut dan sangat bergembira sehingga mencium Valentino dengan panas.Wuih, untung engga ada anak-anak di restoran itu. Kalau engga bakal kena cekal tuh resto,”seru Lucky kocak.
“ Yang kena cekal bukan saja restorannya, bray, tapi juga Valentino Rossi. Bisa-bisa dia tidak diperbolehkan balap lagi di seri apapun,”sahut Dimas.
“ Yeah untungnya, mas Valentino Rossi ini diterima lamarannya. Coba kalau mbak Stefia menolak lamarannya? Ga kebayang malunya  mas Valentino.”
“ Parahnya lagi, bray, coba kalau cincin berliannya itu ketelen sama Stefia. Boro-boro diterima, ditempeleng yang ada. Masuk rumah sakit lagi, hahaha,” tawa Dimas.
“ Ngomong-ngomong cinta nih, ada yang mau sama Dimas enggak? Dimas sudah jomblo satu tahun tuh,”pancing Lucky.
“Siapa tuh yang ngomong duluan? Mungkin Pak Lucky yang sudah sepuh yang sebenarnya pengen mengakhiri masa jomblonya?Hahaha,,,”tawa Dimas.
“ Satu lagu bagus buat kamu Hardrockers, Dayligth, dari Maroon Five.”
Klik. Lucky menatap Dimas yang tertawa ngakak. Dilemparnya Dimas dengan tisue. Dimas mencibir. Tapi kemudian, Lucky termenung. Dirinya sudah lama men-jomblo. Dia bahkan tidak ingat siapa kekasih terakhirnya. Hidupnya bagai rollercoaster. Cepat naik, cepat turun. Di sudut hatinya, ada ruang yang kesepian. Tapi, pendidikan agama dari kedua orangtuanya mengerem keinginannya untuk mencari penyaluran libido mudanya. Seingatnya dulu dia aktif di OSIS dan Klub Basket. Banyak gadis yang menyukainya. Kartu, coklat, kaos dan tetek-bengek lainnya. Namun, nasehat Ibu kalau pacaran itu haram, membuatnya segan untuk menjalin cinta dengan para penggemarnya.  Baginya, nasehat kedua orangtua adalah hal keramat yang harus dilaksanakan. Karena doa kedua orangtuanya itu juga, dirinya bisa diterima di dua PTN sekaligus, IPB dan UNPAD. Tapi Lucky memilih kuliah di UNPAD. Selain agar tidak jauh dari keluarganya, UNPAD memiliki daya tarik tersendiri baginya.  Dia pernah jatuh cinta pada seorang dosen wanita UNPAD. Lucky bahkan tidak tahu namanya. Dia bertemu dengan dosen wanita itu tiap pagi di angkot saat dia masih SMU. Wanita itu berjilbab dengan anggun. Dan anehnya, selalu warna ungu yang dipakainya. Tiap pagi, di balik buku kimia yang dibacanya, Lucky diam-diam memperhatikan wanita anggun itu. Darimana dia tahu wanita dosen? Wanita itu mengatakan dirinya dosen Sastra Indonesia UNPAD, saat sedang menjawab telephone di hapenya. Dan wanita dosen selalu berhenti di terminal Elang, untuk melanjutkan perjalanannya ke kampus UNPAD.  Itulah satu-satunya cinta yang pernah dia kenal. Cinta satu arah. Bertepuk saja tidak. Dan anehnya, cinta itu terasa indah untuk dikenangnya sekarang.
Tak terasa, waktu siaran sudah berjalan selama hampir 4 jam. Dilihatnya playlist lagu di layar monitor. Kety Peri dengan Dark Horse, Marcel dengan Firasat, Lady Gaga dengan Bad Romance, John Legend dengan I give My All, Jason Meraz dengan Lucky, dan masih berderet lagu lainnya yang menunggu untuk diputar.
 Jika dia jatuh cinta, lagu apa yang akan dipilihnya? Cerita yang bagaimana yang akan dijalaninya? Bad Romance-nya Lady Gaga? Lucky-nya Jason Meraz? Cinta Sejati –nya BCL?
 Kapan juga dia jatuh cinta, dia enggak ada waktu untuk memikirkannya sekarang,  rutuk Lucky dalam hati. Digaruknya rambut panjangnya yang ikal. Untuk sekarang, ada Ibu dan Mimi, adiknya yang butuh perhatiannya.
 Ditatapnya Seiko hitam metalik yang melingkar di lengan kanannya. Pukul 09.50. Sebentar lagi siarannya usai. Waktunya shalat Dhuha. Diberinya kode  pada Dimas. Dimas menengok dan mengangguk-angguk saat tahu  waktu siaran tinggal 10 menit lagi. Setiap hari Lucky selalu menyempatkan dirinya melakukan  sholat Dhuha minimal 4 rakaat.  Itu juga wejangan sang Ayah agar dirinya selalu membiasakan sholat sunat Dhuha. Memang baru setelah Ayahnya meninggal, Lucky membiasakan amalan sholat sunat yang banyak faedahnya itu. Namun itu lebih baik daripada tidak sama sekali, bukan? Karena berkah sholat Dhuha, Lucky sangat menikmati kehidupannya. Semuanya terasa enteng. Kenikmatan yang tidak bisa dibeli dengan uang, kedamaian.   
“ Oke Folks, udah empat jam kita berkencan sama Lucky dan..,”
“ Dimas!”
It’s time for us to say good bye. Jadi keep the faith! Jangan buang sampah sembarangan! Jauhi narkoba! Stay away from free sex! Jangan ngomong cinta sembarangan, kalau ga mau disantet orang! Jangan lupa ke kamar mandi pake sandal, kalau ga mau kena kutu air! And....”ujar Lucky.
“And, jangan lupa sarapan kalo mantengin siaran kita ya. Takut kalian salatri karena kekocakkan kita. Haha...’’seru Dimas.
“ Jadi, selamat memulai hari kalian, Good Luck And Good bye!”seru Lucky dan Dimas berbarengan. Lagu Bad Romance-nya Lady Gaga terdengar diputar. Lucky meraih jaketnya.
“ Mau ke mushola, bray?” tanya Dimas seraya mencangklong ranselnya.
Lucky mengangguk.
 “ Gua titip doa ya, semoga skripsi gua kelar tepat waktu,” pinta Dimas.
“ Engga sekalian nitip jodoh terus minta dikawinin?”tanya Luckyk
Dimas memukul bahu Lucky pelan.
“ Masih kejauhan brother! Gua pengen menikmati kehidupan dulu. Pengen kerja dulu, punya boil dulu, ngapain cepat-cepat kawin? Bikin stres aja. Rumit lagi kawin itu!”
Lucky terdiam. Kemudian dia mengangkat bahu tanda tak terlalu perduli dengan pendirian Dimas. Dia sendiri berpendirian kalau menikah itu bisa membuat hidup lebih hidup dan berkah, jika bisa menemukan pasangan hidup yang tepat. Lucky masih mencari calon penggenap setengah dien-nya itu.
“ Gua cabut duluan yak?”seru Dimas seraya meraih helm full face-nya.
“ Oke. Titi Dj!”seru Lucky sebelum masuk toilet pria.
Dimas sudah mengenakan helmnya. Dia lalu mengacungkan jempolnya lalu pergi berlalu. Lucky masuk toilet dan berwudhu disana. Di mushola, Lucky tertegun. Ada seorang wanita bermukena yang sedang sholat. Padahal biasanya, cuma dirinya yang selalu sholat sunat jam 10.00. Tapi benaknya tidak terlalu ambil perduli. Dia lalu maju beberapa langkah dari wanita yang sedang sholat itu. Saat dirinya bertakbiratul ihram, sudut matanya menangkap gerakan wanita itu. Wanita itu menyudahi sholatnya lalu membaca Quran kecil bersampul biru, tanpa suara. Lucky beristigfar, lalu mulai memfokuskan diri pada sholat sunat Dhuha yang dikerjakannya.
“ Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh,...”ucap Lucky menyudahi dua rakaat sholat sunat Dhuha-nya. Penasaran dia menengok ke arah wanita yang tadi mengaji. Terlambat, wanita itu telah menghilang. Lucky mengangkat bahu lalu kembali sholat dua rakaat lagi.
Lucky menatap buku agendanya. Jam 11.00 ada latihan di Studio Fire di daerah dekat Istana Plaza. Jam 3 sore ada wawancara bareng bandnya oleh majalah musik terkenal dari Jakarta. Jam 5 sore, Ibunya harus chek-up darah tinggi ke dokter Kemal. Saking asyiknya membaca buku agendanya, Lucky tidak memperhatikan jalanan. Dia menabrak seseorang. Buku agendanya terlempar. Dadanya terasa panas oleh suatu cairan yang lengket. Lucky mengendus-endus, kopi susu!
“ Maafkan saya kang, saya tidak sengaja,”seru wanita yang ditabraknya dengan gugup.
Lucky menatap wanita yang ditabraknya. Wanita ini mirip dengan wanita yang ditemuinya tadi di mushola kantor. Ternyata dia Office Girl, pikir Lucky. Wanita itu bernama Asrin. Wanita itu berkali-kali meminta maaf seraya membungkukkan badan. Lucky tersenyum dan mengangguk. Wanita itu mengambilkan buku agendanya yang terjatuh.
“ Sekali lagi maaf Pak,”ujar Asrin.
Lucky mengangguk dan menerima buku agendanya. Wanita itu pergi ke pantry kantor. Sedangkan dirinya pergi ke wastafel berusaha membersihkan tumpahan kopi susu di dadanya. Saat membersihkan kaosnya, tiba-tiba terbersit pikiran lucu di benak Lucky.
“ Mungkinkah dia jodoh yang dikirim Allah untukku ?”
Lucky menghentikan pembersihan kaosnya. Ditatapnya cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Wajahnya lumayan tampan dengan cambang dan jenggot tipis yang nyunah. Usianya sudah 26 tahun. Mungkin sudah saatnya dia memulai kisah cintanya. Tidak semata-mata Allah  menakdirkan wanita itu tertabrak olehnya jika hanya kebetulan semata bukan? Semangat baru timbul dalam dirinya. Lucky membereskan rambut ikal panjangnya. Senyum nakal tersungging di wajahnya. Dia bertekad akan berkenalan dengan Office Girl bernama Asrin itu. Siapa tahu jodoh, ya, nggak?
Langkah Lucky ringan ke arah pantry kantor. Di benaknya berseliweran kata-kata basa-basi pembuka yang hendak dikatakannya. Mungkin mereka bisa berkenalan lebih jauh? Mungkin juga mereka bisa melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius seperti ke pernikahan? Yah, selama Asrin sang Office Girl bekerja disana, Lucky akan melakukan pendekatan yang intens. Walau dia seorang Office Girl, tapi jika dia suka sholat sunah Dhuha dan baca Quran, itu menandakan kedekatannya dengan Allah bukan? Lucky tersenyum.
Tiba-tiba terdengar gelas  pecah. Suara wanita gugup menyusul meminta maaf. Suara itu suara Asrin sang Office Girl! Telinga Lucky tegak seketika. Langkah kakinya dipercepat ke asal suara.
“ Asrin! Kamu ini kerjanya gimana sih? Sudah 3 kali kamu memecahkan gelas hari ini! Kalau kamu begini terus bisa habis cangkir dan gelas di pantry kita,”seru Bu Tania, pegawai bagian HRD.
“ Maafkan saya Bu. Saya tidak sengaja.”
“Tidak sengaja-tidak sengaja! Kamu dipecat! Bereskan itu, lalu pulang! Kamu ga usah bekerja disini lagi! Kamu ceroboh!!”
Bu Tania berbalik dari pantry dengan wajah merah. Suara sepatu hak tingginya terdengar berdetak-detak di lantai keramik. Blus atasan biru yang dipakainya terlihat bernoda. Mungkin Asrin menumpahkan jus ke blusnya. Hati Lucky berdetak kencang. Dirinya bingung harus melakukan apa. Segala rencana yang dibuatnya tadi hangus seketika. Beberapa lama kemudian, dia terdiam tak tahu harus apa.
“Maaf Kang, permisi, saya mau lewat.”
Lucky berbalik.Wanita Office Girl itu ada di depannya dengan wajah kuyu tak bersemangat. Lucky terdiam mematung di depannya. Tak bergerak kemana-mana.Wanita itu mendongak ke arah wajah Lucky dengan mata bertanya. Lucky berdehem.
“Kamu yang tadi numpahin kopi susu ke baju saya ya?” tanya Lucky dengan suara besar.
Asrin mengangguk takut-takut. Matanya yang besar berkaca-kaca.
“ Iya Pak. Saya memang salah! Saya ceroboh! Maafkan saya Pak. Bapak tidak akan terkena tumpahan kopi susu lagi, karena saya barusan sudah dipecat.”
“ Kamu salah.”
Asrin menatap Lucky dengan penuh tanda tanya.
“Apa maksud Bapak?”
Lucky tersenyum,
“ Mau dong ditumpahin kopi susu lagi sama kamu!”
Asrin terpana tak percaya. Tak sengaja, tas cangklongnya terjatuh ke lantai.(rinz)