Selasa, 01 April 2014

MNENUNGGU KEAJAIBAN



MENUNGGU KEAJAIBAN



“Menunggu keajaiban Mas,”ujar Elsa
“Menunggu keajaiban?”hardik Yanto, suaminya.
Nada tinggi dari suara suaminya itu seakan menembus gendang telinganya. Diraihnya kemeja Yanto yang kerahya sudah robek. Lalu diambil juga tempat benang dan jarum dari atas meja. Mata Elsa memanas.
“Iya, menunggu keajaiban Mas,” tegas Elsa lirih.
Yanto  mendengus.
 “Coba sekarang mana keajaiban  yang kamu tunggu itu?Mana? Sudah seminggu kita hidup kekurangan uang. Kamu masak tempe sama asin terus. Aku juga jadi ga bisa beli rokok!”
Elsa berusaha menabahkan hatinya yang terasa sakit. Dengan sabar dijahitnya kerah kemeja suaminya itu.
“ Jangan diam saja! Coba mana keajaiban yang kamu janjikan? Mana? Nol besar kan?”keluh Yanto seraya menyulut sebatang rokok lagi.
 Elsa menatap suaminya dengan sedih
“Jadi Mas ga percaya janji Allah dalam Al-Quran?”
“Bukan begitu maksud Mas. Elsa, kita hidup di dunia ini harus realistis aja deh. Kalau kamu mengharapkan balasan 10 kali lipat dari balasan sedekah kamu tanpa usaha, itu namanya konyol! Tidak akan ada uang yang menghampiri kita dengan segitu gampangnya!”
Yanto dengan kesal menghempaskan pantatnya ke balai bambu. Hembusan rokoknya menyebabkan kamar menjadi berkabut.
“Elsa yakin Mas, balasan dari Allah lebih baik dan lebih besar dari uang yang kita sedekahkan. Mas harus percaya pada Elsa. Bukan! Mas harus percaya pada Quran! Kan ada ayat yang menyebutkan, barangsiapa menyedekahkan satu maka balasannya adalah 10 kali lipatnya, atau seratus kali lipatnya atau seribu kali lipatnya atau berapapun kali lipat yang Allah hendaki . Kita hanya harus percaya Mas.”
“Mas percaya Sa. Cuma, uang yang kamu sedekahkan itu gede!Limaratus ribu!Coba bayangkan uang lima ratus ribu itu kalau dibelanjakan bisa buat beli barang apa saja. Beras, minyak, ayam, daging sapi, cicilan motor…”
“Rokok!”sela Elsa sebal.
Yanto menatap istrinya dengan masam.
” Banyak tetangga kita  yang lebih kaya dari kita Elsa. Biar saja mereka yang sedekah pada pembangunan mesjid itu. Kita ini orang miskin. Hidup pas-pasan begini sok sedekah lagi!”
Elsa menurunkan tangannya dengan kesal.
“Tapi Elsa juga ingin harta kita ambil bagian dalam pembangunan Mesjid Mas. Ga cuma orang kaya yang bisa sedekah. Kita juga bisa.”   Elsa menghela nafas,
”Lagipula uang itu kan uang hasil tabungan Elsa.”
“Iya, tapi dari Mas juga kan? Mas ngasih duit itu untuk masak, bukan buat disedekahin!”seru Yanto ikut kesal.
“Allah tidak akan membiarkan orang yang bersedekah di jalan Allah menderita Mas. Walau kita ga punya uang buat masak, pasti Allah akan memberi kita rezeki. Bisa saja nanti siang ada yang ngirim masakan, atau kita diundang kenduri misalnya, atau apa gitu,”ucap Elsa.
Yanto mengacak-acak rambutnya.Dia merasa heran mengapa dia dulu pernah jatuh cinta pada Elsa. Dulu kelihatannya Elsa seorang gadis yang anggun, pikir Yanto. Tipe gadis yang akan menurut pada suami, manut, patuh, tidak banyak tanya, tidak banyak menuntut. Dan kini setelah menikah, dia harus menelan pil pahit itu. Elsa ternyata cerewet dan penuntut. Elsa tak segan menegurnya jika ia tidak sholat. Elsa juga akan menegurnya jika dia pulang subuh-subuh sehabis menonton orang yang meronda sambil bermain catur atau kartu remi. Elsa adalah seorang perempuan yang merasa dirinya benar dan pintar, batin Yanto sebal. Gara-gara setiap shubuh istrinya nonton ceramah Yusuf Mansyur di teve, Elsa merasa harus mengikuti hal-hal yang dianjurkan Ustadz itu. Sedekah limaratus ribu!
Kekesalannya memuncak.
“Nurut aja apa yang Mas bilang! Kenapa sih maunya kamu tuh bertengkar aja. Kamu tuh istri!Harus manut ama suami!”
Elsa menatap suaminya.
”Elsa akan manut kata-kata Mas, kalau kata-kata Mas menyuruh pada kebaikan. Sedekah buat pembangunan Mesjid kan kebaikan Mas. Kenapa Mas melarang?”
Yanto menekan puntung rokok ke dalam asbak kaca.
”Susah ngomong ama kamu!Menyesal aku nikahin kamu!” seru Yanto seraya berlalu meninggalkan Elsa.
Elsa mendengar suara pintu depan yang dibuka dan ditutup dengan kasar. Elsa menunduk terdiam. Airmatanya jatuh satu satu. Namun cepat dihapusnya airmata itu. Dia mengingat ayat Quran yang dihapalnya,“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Segera diambilnya wudhu. Dalam sholat sunat itu, hatinya memohon kekuatan agar selalu dikuatkan dan disabarkan. Ketika Elsa membaca Quran, matanya terpaku pada ayat:”…dan sesungguhnya Allah menurunkan Al-Quran bukan untuk menyusahkanmu. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bertakwa. Bagi mereka ada rezeki dan ampunan Tuhannya.”
Elsa terisak. Bukan karena kesedihan kali ini, tapi karena kelemahannya yang begitu manusiawi. Tiba-tiba terdengar suara Ibu kost-nya memanggil dari pintu depan. Elsa cepat membereskan mukenanya, mengenakan jilbab ungu lalu keluar kamar. Ditatapnya Ibu Maemunah sedang menenteng  rantang enamel berwarna putih 3 tumpuk.
“Ibu tadi dari selamatan orang yang menikah. Ibu sudah makan enak disana. Eh pulangnya malah dibekali lagi 3 rantang. Padahal tadi pagi Ibu sudah masak Soto Madura buat Bapak. Dirantang bawah ada kue cucur, bugis sama onde-onde kesukaanmu. Ibu jadi ingat sama kamu. Kamu kan paling suka cucur, bugis sama onde-onde. Ini buat kamu saja ya Sa,” seru Ibu Maemunah seraya menyerahkan  rantang itu ke tangan Elsa. Elsa menerimanya dengan terharu.
”Terima kasih Bu,”jawab Elsa.
“Udah ya Ibu pergi dulu. Dimakan tuh makanan. Jangan dikasihin lagi ke orang.”
Elsa mengangguk seraya tersenyum. Ditatapnya punggung Ibu kost-nya itu. Ingatannya terbayang ayat Quran yang tadi dibacanya.
 “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”…dan sesungguhnya Allah menurunkan Al-Quran bukan untuk menyusahkanmu. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bertakwa. Bagi mereka ada rezeki dan ampunan Tuhannya.”
Elsa mengusap tutup panci  yang terasa hangat dengan tangan gemetar.
“Alhamdulillah…”bisiknya. “ ada makanan lagi hari itu. Bukan dari uang suamiku, tapi dariMu ya Allah, lewat perantara Ibu kost,”batinnya lagi.
Makanan itu ditata dalam mangkok-mangkok. Makanan itu banyak dan melimpah. Ada semangkuk padat nasi wangi yang pulen, semangkuk ayam suwir yang gurih dan pedas, semangkuk tumis capcay dengan irisan baso dan sosis sapi. Belum lagi sepiring besar kue cucur yang legit manis, kue bugis yang gurih, dan kue onde-onde bertabur wijen yang lezat. Tiba-tiba Mas Yanto datang masih dengan wajah kusut. Matanya terbelalak tak percaya.
“Dapat uang darimana Sa?Kamu bohongin Mas ya?”
“Engga Mas. Makanan ini rezeki dari Allah. Dikirim lewat Ibu Maemunah.”
Yanto duduk di kursi tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
“Makan!” serunya.
 Elsa bergegas membawa piring dan segelas teh hangat manis kesukaan suaminya. Ditatapnya Yanto yang sedang  makan dengan lahap. Bibirnya tersenyum.
“Enak Mas?” tanyanya.
Yanto mengangguk.
Tet tet tet, suara klakson motor dari pintu depan terdengar. Elsa keluar dan melongok dari pintu. Pak Pos dan motor oranyenya, menunggunya di depan teras. Elsa membenahi jilbabnya dan menghampiri Pak Pos.
“Ada yang bernama Elsa Handayani?”
“Saya sendiri Pak,”jawab Elsa.
Pak Pos menyerahkan sebuah bungkusan segiempat yang lumayan berat beserta selembar formulir.
“Tolong ditandatangani disini,”ujar Pak Pos.
Elsa membaca formulir itu dengan cepat. Tenggorokannya tercekat. Western Union? Limaratus dollar?
“Ini kiriman darimana Pak?”
Pak Pos tersenyum,”Lihat aja alamatnya Bu.”
Elsa menepuk jidatnya.”Oh iya. Saya lupa. Makasih Pak.”
Pak Pos mengangguk sebelum menancap gas dan berlalu untuk menunaikan tugasnya mengirim surat dan paket. Elsa membalik bungkusan coklat itu. Alamatnya dari Bali. Dari James and Martha Collins. Mereka adalah pasangan suami istri dari London yang dengan tabungan yang mereka milki, berkeliling dunia sebelum akhirnya menetap di Bali. Tiga tahun yang lalu, Elsa membukukan hasil perjalanan mereka via internet dengan bayaran tiga juta rupiah. Uang itu digunakannya untuk menambah biaya pernikahannya dengan Mas Yanto.
“Surat dari siapa Sa?”Tanya Yanto.
Elsa lalu menjelaskan tentang surat dan kiriman  royalty itu. Begitu mendengar istrinya mendapat kiriman uang limaratus dollar, mata Yanto langsung membulat,
”Ayo kita cairkan gironya!”
Yanto tertawa-tawa dengan riang sekembalinya mereka dari kantor pos.
“Mas boleh ga pinjem uangnya tiga juta buat dp motor? Ada motor bagus yang Mas incer. RX King!Jadi kalau Mas kerja jadinya lebih cepat. Dan kita pun bisa kemana-mana dengan bebas. Ga harus naik angkot lagi. Jadi hemat duit kan?”
Elsa terdiam. Pikirannya bercabang. Uang sebesar lima juta itu tersimpan dengan rapi di dalam tasnya.
“Sa?Ngomong dong! Aku manusia. bukan batu!
“Yang nyebut Mas batu itu siapa?”
“Habis kamu cuekin suami kaya gitu. Istri apaan  tuh?”
Elsa melengos. Mereka berjalan melewati Mesjid. Ditatapnya  Mesjid yang sedang dalam perbaikan itu dengan tekad bulat.
“Kamu tuh kenapa? Dari tadi diam saja? Awas loh kalo uangnya habis buat beli perhiasan. Harga emas bisa jatuh lagi Sa!”
Elsa masih terdiam mendengar kalimat sinis suaminya. Lamat-lamat terdengar khotbah Ustadz Yusuf Mansyur dari speaker Mesjid. Khotbah tentang keajaiban sedekah yang diputar lewat CD.
“…pada 1990 lalu, ia yakin dan telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menunaikan ibadah haji. Namun, menjelang hari pemberangkatan ia memliliki masalah sehingga batal ke Tanah Haram. Begitu pula pada tahun 2003. Saat itu, Yusuf kembali memiliki segala persiapan untuk berangkat ke Arab Saudi. Namun karena terganjal masalah keluarga, lagi-lagi ia batal untuk menunaikan ibadah haji. Di tengah kondisi yang kurang mengenakkan, tiba-tiba seorang sahabatnya dari luar kota datang dan hendak meminjam uang sebesar Rp 40 juta. Uang tersebut akan digunakan sahabatnya memberangkatkan saudaranya ke Tanah Suci. Karibnya itu memberi jaminan sebuah mobil tua yang kalau dijual harga tertingginya sekitar Rp 30 juta.
”Subhanallah walhamdulillah, karena saya sering menyuruh orang untuk bersedekah, saya diuji bertubi-tubi,” ujar Yusuf Mansyur.
Dengan kesabaran dan keikhlasan, ia pun memberikan uang tersebut kepada kawannya. Sedangkan mobil tua itu ia biarkan saja. Yusuf sempat bertanya pada Allah tentang hikmah apa yang ada dibalik semua ujian kegagalannya berhaji. Setelah pendaftaran haji 2006 ditutup, ia pun pasrah. Tapi diluar dugaan, ia bertemu dengan seorang Habib keturunan Arab yang mengajaknya makan siang.
Di akhir pertemuannya, sang Habib menanyakan kapan berangkat haji.
”Saya cuma katakan, tidak jadi berangkat. Tidak punya uang,” ujarnya.
Allah kemudian menunjukkan Kuasa-Nya. Di saat pendaftaran haji sudah tutup, ia bersama istrinya justru berangkat ke Tanah Haram. Yusuf pun semakin sadar apa yang ada dalam persepsi manusia tidak sepenuhnya benar. Ia pun semakin merasakan kehebatan sedekah yang luar biasa. ”Allah memiliki skenario terbaik,”
Khotbah itu terasa menelusup ke telinga dan hati Elsa . Di depan Mesjid, Elsa menghentikan langkahnya. Wajahnya menyiratkan tekad. Kakinya melangkah ke pelataran mesjid yang penuh dengan bahan bangunan seperti batu bata, semen, kerikil dan lain-lain. Dihampirinya marbot mesjid yang sedang mengomandori proyek pembangunan mesjid itu. Dikeluarkannya amplop coklat berisi uang, diambilnya seratus ribu, lalu memberikan sisa uangnya pada marbot tersebut. Marbot itu terkejut mendapat sumbangan dari Elsa. Dengan mengucapkan salam, Elsa meninggalkan pelataran mesjid dengan tersenyum lega.
Yanto yang melihat dari jauh kejadian tersebut sangat jengkel. Ditatapnya Elsa dengan galak. Setibanya mereka di rumah, Yanto segera mendampratnya dengan kata-kata kasar.
“ Mas kan bilang mau pinjem uang kamu buat dp motor. Kok malah disumbangin semua  uangnya?Wis gila kowi ? ”hardik Yanto.
Elsa menghela nafas dalam-dalam. Ditatapnya laki-laki berkumis dan kasar itu dengan pandangan lembut.
“Masih ada sisa kok Mas. Seratus ribu. Cukup buat masak seminggu.”
Yanto melemparkan puntung rokoknya yang masih panjang ke lantai.
“Trus beli yang lain-lainnya apa cukup segitu? Awas ya kalo minta uang lagi sama Mas!Mas ga percaya lagi ama kamu! Pasti uang yang Mas kasih kamu sedekahin semua. Di rumah makan apa?”
“Mas, uang yang lima juta itu adalah tanda keajaiban dari sedekah yang kita lakukan. Allah menggantinya sedekah kita yang lima ratus ribu dengan uang lima juta. Itu sudah sepuluh kali lipat balasannya sama kita Mas!”
Yanto termangu sesaat. Kepalanya terkulai, menunduk menatap tanah.
“Mas, percayalah. Allah pasti akan meliptrgandakan pahala-Nya bila kita sedekah. Kita ga perlu takut kekurangan. Allah pasti ga akan ngebiarin orang yang sedekah menderita. Ga akan Mas. Baru saja kita mendapatkan keajaiban itu. Apa Mas ga merasa?”
Yanto menatap istrinya dengan mata berkaca-kaca.
“Kita cuma perlu percaya Mas. Percaya! Allah selalu mengawasi kita. Allah tidak pernah menelantarkan kita. Syukuri apa yang ada Mas. Itu lebih berarti daripada membeli motor yang bisa jadi cicilan perbulannya bisa bikin puyeng otak kita.”seru Elsa lembut.
Yanto terdiam. Lidahnya kelu hingga tidak bisa berkata-kata. Perlahan airmata penyesalan mengalir di pipinya yang bercambang.
“Mas salah Dik. Mas salah.”bisik Yanto.
Elsa memeluk Yanto. Dibelainya kepala suaminya dengan rasa syukur.
“Kita hanya harus percaya Mas. Percaya sama Allah. Itu saja.”
Terdengar adzan dari Mesjid. Waktu sholat Dhuhur telah datang. Yanto menatap istrinya dengan mata basah.
“ Ikhlaskan aku buat ngebantu pembangunan mesjid ya Dik? Mas pengen tobat dengan sedekah tenaga Mas.”
Elsa tersenyum.”Iya Mas. Boleh, tapi nanti abis sholat Dhuhur ama makan siang.”
Yanto tersenyum dan mengangguk. Langkahnya terasa ringan ketika menapak menuju mesjid.(rinz)





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar