MENUNGGU KEAJAIBAN
“Menunggu
keajaiban Mas,”ujar Elsa
“Menunggu
keajaiban?”hardik Yanto, suaminya.
Nada tinggi dari
suara suaminya itu seakan menembus gendang telinganya. Diraihnya kemeja Yanto
yang kerahya sudah robek. Lalu diambil juga tempat benang dan jarum dari atas
meja. Mata Elsa memanas.
“Iya, menunggu
keajaiban Mas,” tegas Elsa lirih.
Yanto mendengus.
“Coba sekarang mana keajaiban yang kamu tunggu itu?Mana? Sudah seminggu kita
hidup kekurangan uang. Kamu masak tempe sama
asin terus. Aku juga jadi ga bisa beli rokok!”
Elsa berusaha
menabahkan hatinya yang terasa sakit. Dengan sabar dijahitnya kerah kemeja
suaminya itu.
“ Jangan diam
saja! Coba mana keajaiban yang kamu janjikan? Mana? Nol besar kan?”keluh Yanto
seraya menyulut sebatang rokok lagi.
Elsa menatap suaminya dengan sedih
“Jadi Mas ga
percaya janji Allah dalam Al-Quran?”
“Bukan begitu
maksud Mas. Elsa, kita hidup di dunia ini harus realistis aja deh. Kalau kamu
mengharapkan balasan 10 kali lipat dari balasan sedekah kamu tanpa usaha, itu
namanya konyol! Tidak
akan ada uang yang menghampiri kita dengan segitu gampangnya!”
Yanto dengan
kesal menghempaskan pantatnya ke balai bambu. Hembusan rokoknya menyebabkan
kamar menjadi berkabut.
“Elsa yakin Mas,
balasan dari Allah lebih baik dan lebih besar dari uang yang kita sedekahkan.
Mas harus percaya pada Elsa. Bukan! Mas harus percaya pada Quran! Kan ada ayat
yang menyebutkan, barangsiapa menyedekahkan satu maka balasannya adalah 10 kali
lipatnya, atau seratus kali lipatnya atau seribu kali lipatnya atau berapapun
kali lipat yang Allah hendaki . Kita hanya harus percaya Mas.”
“Mas percaya Sa.
Cuma, uang yang kamu sedekahkan itu gede!Limaratus ribu!Coba bayangkan uang
lima ratus ribu itu kalau dibelanjakan bisa buat beli barang apa saja. Beras, minyak, ayam,
daging sapi, cicilan motor…”
“Rokok!”sela
Elsa sebal.
Yanto menatap
istrinya dengan masam.
” Banyak
tetangga kita yang lebih kaya dari kita
Elsa. Biar saja mereka yang sedekah pada pembangunan mesjid itu. Kita ini
orang miskin. Hidup pas-pasan begini sok sedekah lagi!”
Elsa menurunkan
tangannya dengan kesal.
“Tapi Elsa juga
ingin harta kita ambil bagian dalam pembangunan Mesjid Mas. Ga cuma orang kaya
yang bisa sedekah. Kita juga bisa.”
Elsa menghela nafas,
”Lagipula uang
itu kan uang hasil tabungan Elsa.”
“Iya, tapi dari
Mas juga kan? Mas ngasih duit itu untuk masak, bukan buat disedekahin!”seru
Yanto ikut kesal.
“Allah tidak
akan membiarkan orang yang bersedekah di jalan Allah menderita Mas. Walau kita
ga punya uang buat masak, pasti Allah akan memberi kita rezeki. Bisa saja nanti
siang ada yang ngirim masakan, atau kita diundang kenduri misalnya, atau apa
gitu,”ucap Elsa.
Yanto
mengacak-acak rambutnya.Dia merasa heran mengapa dia dulu pernah jatuh cinta
pada Elsa. Dulu kelihatannya Elsa seorang gadis yang anggun, pikir Yanto. Tipe
gadis yang akan menurut pada suami, manut, patuh, tidak banyak tanya, tidak
banyak menuntut. Dan kini setelah menikah, dia harus menelan pil pahit itu.
Elsa ternyata cerewet dan penuntut. Elsa tak segan menegurnya jika ia tidak
sholat. Elsa juga akan menegurnya jika dia pulang subuh-subuh sehabis menonton orang
yang meronda sambil bermain catur atau kartu remi. Elsa adalah seorang
perempuan yang merasa dirinya benar dan pintar, batin Yanto sebal. Gara-gara
setiap shubuh istrinya nonton ceramah Yusuf Mansyur di teve, Elsa merasa harus
mengikuti hal-hal yang dianjurkan Ustadz itu. Sedekah limaratus ribu!
Kekesalannya
memuncak.
“Nurut aja apa
yang Mas bilang! Kenapa sih maunya kamu tuh bertengkar aja. Kamu tuh istri!Harus
manut ama suami!”
Elsa menatap
suaminya.
”Elsa akan manut
kata-kata Mas, kalau kata-kata Mas menyuruh pada kebaikan. Sedekah buat
pembangunan Mesjid kan kebaikan Mas. Kenapa Mas melarang?”
Yanto menekan puntung rokok ke dalam asbak kaca.
”Susah ngomong ama kamu!Menyesal aku nikahin kamu!” seru
Yanto seraya berlalu meninggalkan Elsa.
Elsa
mendengar suara pintu depan yang dibuka dan ditutup dengan kasar. Elsa menunduk
terdiam. Airmatanya jatuh satu satu. Namun cepat dihapusnya airmata itu. Dia mengingat
ayat Quran yang dihapalnya,“Hai
orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
(mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Segera diambilnya wudhu. Dalam sholat sunat itu, hatinya memohon kekuatan agar selalu
dikuatkan dan disabarkan. Ketika Elsa membaca Quran, matanya terpaku pada ayat:”…dan
sesungguhnya Allah menurunkan Al-Quran bukan untuk menyusahkanmu. Dan berilah
kabar gembira bagi orang-orang yang bertakwa. Bagi mereka ada rezeki dan
ampunan Tuhannya.”
Elsa terisak.
Bukan karena kesedihan kali ini, tapi karena kelemahannya yang begitu
manusiawi. Tiba-tiba terdengar suara Ibu kost-nya memanggil dari pintu depan.
Elsa cepat membereskan mukenanya, mengenakan jilbab ungu lalu keluar kamar.
Ditatapnya Ibu Maemunah sedang menenteng rantang enamel berwarna putih 3 tumpuk.
“Ibu tadi dari
selamatan orang yang menikah. Ibu sudah makan enak disana. Eh pulangnya malah
dibekali lagi 3 rantang. Padahal tadi pagi Ibu sudah masak Soto Madura buat
Bapak. Dirantang bawah ada kue cucur, bugis sama onde-onde kesukaanmu. Ibu jadi
ingat sama kamu. Kamu kan paling suka cucur, bugis sama onde-onde. Ini buat
kamu saja ya Sa,” seru Ibu Maemunah seraya menyerahkan rantang itu ke tangan Elsa. Elsa menerimanya
dengan terharu.
”Terima kasih
Bu,”jawab Elsa.
“Udah ya Ibu
pergi dulu. Dimakan tuh makanan. Jangan dikasihin lagi ke orang.”
Elsa mengangguk
seraya tersenyum. Ditatapnya punggung Ibu kost-nya itu. Ingatannya terbayang
ayat Quran yang tadi dibacanya.
“ “Sesungguhnya
hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”…dan sesungguhnya Allah menurunkan Al-Quran bukan untuk menyusahkanmu.
Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bertakwa. Bagi mereka ada
rezeki dan ampunan Tuhannya.”
Elsa mengusap tutup panci yang terasa hangat dengan tangan gemetar.
“Alhamdulillah…”bisiknya. “ ada makanan lagi hari itu.
Bukan dari uang suamiku, tapi dariMu ya Allah, lewat perantara Ibu
kost,”batinnya lagi.
Makanan itu ditata dalam mangkok-mangkok. Makanan itu
banyak dan melimpah. Ada semangkuk padat nasi wangi yang pulen, semangkuk ayam
suwir yang gurih dan pedas, semangkuk tumis capcay dengan irisan baso dan sosis
sapi. Belum lagi sepiring besar kue cucur yang legit manis, kue bugis yang
gurih, dan kue onde-onde bertabur wijen yang lezat. Tiba-tiba Mas Yanto datang
masih dengan wajah kusut. Matanya terbelalak tak percaya.
“Dapat uang darimana Sa?Kamu bohongin Mas ya?”
“Dapat uang darimana Sa?Kamu bohongin Mas ya?”
“Engga Mas. Makanan ini rezeki dari Allah. Dikirim lewat
Ibu Maemunah.”
Yanto duduk di kursi tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
“Makan!” serunya.
Elsa bergegas
membawa piring dan segelas teh hangat manis kesukaan suaminya. Ditatapnya Yanto
yang sedang makan dengan lahap. Bibirnya
tersenyum.
“Enak Mas?” tanyanya.
Yanto mengangguk.
Tet tet tet, suara klakson motor dari pintu depan
terdengar. Elsa keluar dan melongok dari pintu. Pak Pos dan motor oranyenya,
menunggunya di depan teras. Elsa membenahi jilbabnya dan menghampiri Pak Pos.
“Ada yang bernama Elsa Handayani?”
“Saya sendiri Pak,”jawab Elsa.
Pak Pos menyerahkan sebuah bungkusan segiempat yang
lumayan berat beserta selembar formulir.
“Tolong ditandatangani disini,”ujar Pak Pos.
Elsa membaca formulir itu dengan cepat. Tenggorokannya
tercekat. Western Union? Limaratus dollar?
“Ini kiriman darimana Pak?”
Pak Pos tersenyum,”Lihat aja alamatnya Bu.”
Elsa menepuk jidatnya.”Oh iya. Saya lupa. Makasih Pak.”
Pak Pos mengangguk sebelum menancap gas dan berlalu untuk
menunaikan tugasnya mengirim surat dan paket. Elsa membalik bungkusan coklat
itu. Alamatnya dari Bali. Dari James and Martha Collins. Mereka adalah pasangan
suami istri dari London yang dengan tabungan yang mereka milki, berkeliling
dunia sebelum akhirnya menetap di Bali. Tiga tahun yang lalu, Elsa membukukan
hasil perjalanan mereka via internet dengan bayaran tiga juta rupiah. Uang itu
digunakannya untuk menambah biaya pernikahannya dengan Mas Yanto.
“Surat dari siapa Sa?”Tanya Yanto.
Elsa lalu menjelaskan tentang surat dan kiriman royalty itu. Begitu mendengar istrinya
mendapat kiriman uang limaratus dollar, mata Yanto langsung membulat,
”Ayo kita cairkan gironya!”
Yanto tertawa-tawa dengan riang sekembalinya mereka dari
kantor pos.
“Mas boleh ga pinjem uangnya tiga juta buat dp motor? Ada
motor bagus yang Mas incer. RX King!Jadi kalau Mas kerja jadinya lebih cepat.
Dan kita pun bisa kemana-mana dengan bebas. Ga harus naik angkot lagi. Jadi
hemat duit kan?”
Elsa terdiam. Pikirannya bercabang. Uang sebesar lima
juta itu tersimpan dengan rapi di dalam tasnya.
“Sa?Ngomong dong! Aku manusia. bukan batu!
“Yang nyebut Mas batu itu siapa?”
“Habis kamu cuekin suami kaya gitu. Istri apaan tuh?”
Elsa melengos. Mereka berjalan melewati Mesjid.
Ditatapnya Mesjid yang sedang dalam
perbaikan itu dengan tekad bulat.
“Kamu tuh kenapa? Dari tadi diam saja? Awas loh kalo
uangnya habis buat beli perhiasan. Harga emas bisa jatuh lagi Sa!”
Elsa masih terdiam mendengar kalimat sinis suaminya.
Lamat-lamat terdengar khotbah Ustadz Yusuf Mansyur dari speaker Mesjid. Khotbah
tentang keajaiban sedekah yang diputar lewat CD.
“…pada 1990 lalu, ia yakin dan telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk
menunaikan ibadah haji. Namun, menjelang hari pemberangkatan ia memliliki
masalah sehingga batal ke Tanah Haram. Begitu pula pada tahun 2003. Saat itu,
Yusuf kembali memiliki segala persiapan untuk berangkat ke Arab Saudi. Namun
karena terganjal masalah keluarga, lagi-lagi ia batal untuk menunaikan ibadah
haji. Di tengah kondisi yang kurang mengenakkan, tiba-tiba seorang sahabatnya
dari luar kota datang dan hendak meminjam uang sebesar Rp 40 juta. Uang
tersebut akan digunakan sahabatnya memberangkatkan saudaranya ke Tanah Suci.
Karibnya itu memberi jaminan sebuah
mobil tua yang kalau dijual harga tertingginya sekitar Rp
30 juta.
”Subhanallah walhamdulillah, karena saya sering menyuruh
orang untuk bersedekah, saya diuji bertubi-tubi,” ujar Yusuf Mansyur.
Dengan kesabaran dan keikhlasan, ia pun memberikan uang
tersebut kepada kawannya. Sedangkan mobil tua itu ia biarkan saja. Yusuf sempat
bertanya pada Allah tentang hikmah apa yang ada dibalik semua ujian kegagalannya
berhaji. Setelah pendaftaran haji 2006 ditutup, ia pun pasrah. Tapi diluar
dugaan, ia bertemu dengan seorang Habib keturunan Arab yang mengajaknya makan
siang.
Di akhir pertemuannya, sang Habib menanyakan kapan berangkat
haji.
”Saya cuma katakan, tidak jadi berangkat. Tidak punya uang,”
ujarnya.
Allah kemudian menunjukkan Kuasa-Nya. Di saat pendaftaran
haji sudah tutup, ia bersama istrinya justru berangkat ke Tanah Haram. Yusuf
pun semakin sadar apa yang ada dalam persepsi manusia tidak sepenuhnya benar.
Ia pun semakin merasakan kehebatan sedekah yang luar biasa. ”Allah memiliki skenario terbaik,”
Khotbah itu terasa menelusup ke
telinga dan hati Elsa . Di depan Mesjid, Elsa menghentikan langkahnya. Wajahnya
menyiratkan tekad. Kakinya melangkah ke pelataran mesjid yang penuh dengan
bahan bangunan seperti batu bata, semen, kerikil dan lain-lain. Dihampirinya
marbot mesjid yang sedang mengomandori
proyek pembangunan mesjid itu. Dikeluarkannya amplop coklat berisi
uang, diambilnya seratus ribu, lalu memberikan sisa uangnya pada marbot
tersebut. Marbot itu terkejut mendapat sumbangan dari
Elsa. Dengan mengucapkan salam, Elsa meninggalkan pelataran mesjid dengan tersenyum
lega.
Yanto yang melihat dari jauh
kejadian tersebut sangat jengkel. Ditatapnya Elsa dengan
galak. Setibanya mereka di rumah, Yanto segera mendampratnya dengan kata-kata
kasar.
“ Mas kan bilang mau pinjem uang
kamu buat dp motor. Kok malah disumbangin semua uangnya?Wis
gila kowi ? ”hardik Yanto.
Elsa menghela nafas dalam-dalam.
Ditatapnya laki-laki berkumis dan kasar itu dengan pandangan lembut.
“Masih ada sisa kok Mas. Seratus
ribu. Cukup buat masak seminggu.”
Yanto melemparkan puntung rokoknya
yang masih panjang ke lantai.
“Trus beli yang lain-lainnya apa cukup
segitu? Awas ya kalo minta uang lagi sama Mas!Mas ga percaya lagi ama kamu!
Pasti uang yang Mas kasih kamu sedekahin semua. Di rumah makan apa?”
“Mas, uang yang lima juta itu
adalah tanda keajaiban dari sedekah yang kita lakukan. Allah menggantinya sedekah
kita yang lima ratus ribu dengan uang lima juta. Itu sudah sepuluh kali lipat
balasannya sama kita Mas!”
Yanto termangu sesaat. Kepalanya
terkulai, menunduk menatap tanah.
“Mas, percayalah. Allah pasti akan meliptrgandakan
pahala-Nya bila kita sedekah. Kita ga
perlu takut kekurangan. Allah pasti ga akan ngebiarin orang yang sedekah
menderita. Ga akan Mas. Baru saja kita mendapatkan keajaiban itu. Apa Mas ga
merasa?”
Yanto menatap istrinya dengan mata berkaca-kaca.
“Kita cuma perlu percaya Mas. Percaya! Allah
selalu mengawasi kita. Allah tidak pernah menelantarkan kita. Syukuri apa yang
ada Mas. Itu lebih berarti daripada membeli motor yang bisa jadi cicilan
perbulannya bisa bikin puyeng otak kita.”seru Elsa lembut.
Yanto terdiam. Lidahnya kelu hingga tidak bisa
berkata-kata. Perlahan airmata penyesalan mengalir di pipinya yang bercambang.
“Mas salah Dik. Mas salah.”bisik Yanto.
Elsa memeluk Yanto. Dibelainya kepala suaminya
dengan rasa syukur.
“Kita hanya harus percaya Mas. Percaya sama
Allah. Itu saja.”
Terdengar adzan dari Mesjid. Waktu sholat Dhuhur
telah datang. Yanto menatap istrinya dengan mata basah.
“ Ikhlaskan aku buat ngebantu pembangunan mesjid ya Dik? Mas pengen tobat dengan sedekah
tenaga Mas.”
Elsa tersenyum.”Iya Mas. Boleh, tapi nanti abis
sholat Dhuhur ama makan siang.”
Yanto tersenyum dan mengangguk. Langkahnya terasa
ringan ketika menapak menuju mesjid.(rinz)
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar