Minggu, 30 Maret 2014

SAJADAH BIRU





Adzan sudah berkumandang. Waktunya pergi ke mesjid. Saat hendak mengambil sajadah, Ridwan tertegun sejenak. Sajadahnya terlihat lusuh karena terlalu sering digunakan. Bagaimana tidak. Sajadah itu milik mediang almarhum Ayah. Entah berapa tahun usia sajadah itu kini. Yang jelas sajadah itu pasti sudah tua. Akhirnya Ridwan pergi ke mesjid tanpa membawa sajadahnya.
Saat Ridwan pulang. Ibu sedang menjahit pesanan pakaian tetangga seperti biasanya.
“ Makan dulu, Wan?”seru Ibu.
“Iya  Bu.” Lalu membaca bismillah, Ridwan makan malam dengan lauk seadanya. Setelah selesai, Ridwan membuka-buka buku pelajarannya. Baru juga 15 menit Ridwan membaca ulang buku IPS-nya, rasa kantuk menyerangnya. Tak terasa, Ridwan tertidur di atas meja.
Terasa ada yang menjawil pundaknya. Ridwan terbangun dari tidurnya. Dia menoleh ingin tahu siapa yang menjawilnya. Wajahnya terkejut ketika dilihatnya sajadah biru berdiri dibelakangnya dan berkacak pinggang.
“ Kenapa kamu tidak membawa aku saat ke Mesjid?”tanya Sajadah Biru dengan marah.
Ridwan ternganga saking kagetnya.
“ Kamu tahu tidak ya Ridwan, aku ini warisan Ayahmu. Aku sudah bersama Ayahmu sejak lama.”tanya Sajadah Biru.
Ridwan masih terdiam. Lalu Sajadah Biru menariknya dan mendudukkanya  ke atas dirinya.
“ Sudah, kamu diam saja dan lihatlah petualangan yang pernah kami lakukan bersama!”
Sajadah Biru membawa Ridwan melintasi sabut awan yang tipis. Angin dingin menerpa pipinya dengan kencang. Tapi Ridwan tidak takut. Ridwan malah merasa senang. Ditatapnya langit  bertabur bintang.
“Sajadah, bawa aku menuju bintang dong,”teriak Ridwan.
“ Beneran kamu mau melihat bintang yang diatas itu?”tanya Sajadah Biru.
“Bener! Ayo, cepat bawa aku kesana!”
Sajadah Biru melesat ke atas langit, dan tambah ke atas lagi. Lampu-lampu bersinar dari rumah-rumah di bawahnya. Semarak lampu yang berasal dari lampu jalanan dan lampu neon iklan, berkerlap-kerlip dengan indahnya. Bumi terlihat bagai taman hiburan yang penuh dengan lampu. Ridwan tersenyum. Dalam hidupnya ia tidak pernah merasa gembira seperti ini. Apakah dulu Ayahnya mengalami hal yang ia rasakan saat ini?tanya hati kecil Ridwan.
 “ Allah telah memberikan karunia buat anak yang soleh, yang selalu sholat dan pergi ke mesjid dengan penjagaan malaikat. Aku yang menjadi saksi bahwa Ayahmu yang selalu pergi ke Mesjid untuk sholat berjamaah, dijaga oleh malaikat. Malaikat itu mengajaknya terbang ke angkasa seperti yang kau lakukan saat ini.”
“ Lalu  mengapa bukan malaikat yang mengajakku terbang?”tanya Ridwan
“Aku meminta pada Allah agar bisa mengajakmu terbang. Aku ingin memberitahumu, jika kau terus membawa aku ke Mesjid, maka pahala akan mengalir untuk Ayahmu.”
Ridwan terdiam. Tiba-tiba terasa ada yang menjawil pundaknya. Namun kali ini jawilannya tidak keras. Ridwan menoleh ke belakang. Dilihatnya wajah Ibu.
“Ibu? Ibu ikut terbang juga?”
Ibu menatapnya dengan heran.
“Ikut terbang apanya? Ayo tidur dikamarmu! Nanti badan kamu sakit kalau tidur di atas meja seperti ini!”
Ridwan tersentak. Dia tidak terbang ke langit. Dia tidak melayang di antara awan. Tapi, kok pipi dan wajahnya terasa dingin?  Ridwan menatap sajadah biru yang tersampir di kursi. Dia teringat akan kata-kata terakhir yang diucapkan Sajadah Biru. Jika dia terus membawa sajadah biru ke Mesjid, maka pahala akan mengalir untuk Ayahnya. Ridwan tersenyum.
“ Aku akan selalu membawamu ke Mesjid, sajadah biru, selalu,” janji Ridwan.(rinz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar