Rabu, 19 Maret 2014

Makhluk Ajaib



Makhluk Ajaib


                 Kerangkeng itu terbuka. Makhluk di dalamnya telah menghilang. Kemanakah dia? Aku teringat proses penangkapannya yang menghabiskan tenaga. Belum lagi pertapaanku yang harus aku lakukan selama sebulan penuh. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Padahal aku memiliki banyak permintaan yang hendak kuajukan. Aku meneliti kerangkeng besi. Bagaimana bisa dia membuka kerangkeng yang kukunci itu? Kerangkeng besi tempat menyekap makhluk itu kokoh dan tak terlihat tanda-tanda adanya pengrusakan. Sial! Kemana lagi harus kucari makhluk seperti itu?
Saat aku menemukannya pertama kali, aku sudah menduga bahwa makhluk itu adalah makhluk ajaib. Makhluk hidup yang bisa kita pintai keinginan. Ya, aku percaya makhluk itu bisa mengabulkan keinginanku. Ratusan pengusaha sukses di Jakarta bersaksi tentang makhluk itu. Dan aku menemukan makhluk itu tanpa perantara orang pintar yang biasa memeliharanya, yang menjadikannya pelayan penyugihan para pengusaha yang ingin bertambah kaya.
    Aku membuka lemari, siapa tahu makhluk itu bersembunyi di dalamnya. Kosong. Hanya baju-bajuku yang ada di sana. Aku melongok ke bawah tempat tidur. Nihil. Akhirnya aku duduk di kursi rotan. Aku sulut rokok kretekku. Kemana lagi harus kucari makhluk itu?
    Asap abu-abu mengabut di rumah berdinding papan kasar itu. Gentengnya yang coklat bisa terlihat dari tempatku duduk. Aku memang belum mampu menyekatnya dengan triplek. Uang hasil penjualan tanah dan sapiku habis  kugunakan membeli persyaratan mahar ilmu yang ingin kumiliki. Karena itu, bila hujan datang, banyak tetesan air hujan menetes ke lantai rumah. Tetesan itu menimbulkan noda di lantai yang kadang kulap dengan asal.
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar rumah. Rumah tua itu mulai retak dindingnya. Lantai berkeramik pun sudah kusam karena noda lumpur dan debu yang mengerak. Perabotanya juga sudah lama tertutupi debu. Ada sebuah TV berukuran 26 inci yang sudah lama tak kutonton. Perangkat elektronik pemberian orang-orang yang percaya jika aku sakti, teronggok di atas meja kayu jati. Ada radio, kipas angin, DVD player, dan setumpuk DVD yang berisikan penyanyi dangdut yang manggung di sekitar pesisir Pantura. Sebuah kulkas merek terbaru membeku di sudut ruang. Ah, kalau saja Eni mau menjadi istriku. Rumah dan perabotannya, juga tanah ini akan aku berikan pada dia. Bukan itu saja, hatiku juga akan aku serahkan. Sayang dia menolakku.
Aku menghisap dalam-dalam rokokku. Kepulan demi kepulan keluar dari mulutku. Aku tidak tahu mengapa rokok senikmat ini dilarang. Kalau memang rokok itu terdiri dari hal-hal yang meracuni saraf dan badan, mengapa rokok terus dibuat?     Dasar dagelan orang-orang pintar itu!
Aku memikirkan Eni. Kembang desa yang kucintai semenjak kecil dulu. Hatinya yang keras sangat sulit kululuhkan. Walau aku berjanji akan memberinya motor dan sapi sebagai mas kawin, Eni tetap menolak.
    "Aku tidak butuh motor atau sapi, Mas. Yang aku butuhkan adalah seorang suami yang bisa bersedia menjadi imam yang baik untukku, " kata Eni saat menolakku.
    "Mas juga bisa menjadi imammu, En!" kataku saat itu.
Eni tersenyum sinis. Aduhai,  senyuman sinisnya mampu membuat dadaku berdegup kencang. Eni membetulkan kerudungnya. Tangannya yang kuning langsat tertutupi baju panjang yang tidak menampakkan bentuk tubuhnya. Kakinya pun berkaos kaki. Inilah gadis pujaan hatiku. Terlindung dengan apik bagai telur burung unta yang terjaga.
    "Bagaimana Mas bisa menjadi imamku jika Mas saja tidak pernah sholat? Apalagi Eni dengar dari tetangga dan orangtua Eni, kalau Mas itu suka bertapa di Gunung Merapi. Untuk apa Mas melakukan itu?” sergah Eni dengan suara perlahan. Walaupun pelan, kalimatnya itu bagai menusukkan sembilu di hatiku.
Mas tidak tahu kan, kalau saya benci dengan orang yang melakukan perbuatan musyrik seperti itu!" ucap Eni lagi.
Pernyataan Eni membuatku naik pitam. Dia beraninya menuduhku musyrik!
    "Jangan sembarangan kamu, En! Aku bukan musyrik! Aku juga menyembah Tuhan! Aku hanya menjadikan pertapaanku untuk mencari ilmu yang membuatku tahan senjata! Kamu tahu zaman apa sekarang?
Eni menegakkan tubuhnya dan menatap mataku tajam. Aku meneguk ludah sebelum membalas perkataannya yang kurang ajar. Jarang sekali Eni langsung menatap kedua mataku. Biasanya gadis itu menunduk jika kuajak bicara. Matanya berbicara seakan siap berperang. Hatiku bergidik entah kenapa.
Sekarang zaman carut-marut En! Kalau yang haram saja susah, apalagi yang halal! Banyak yang dibunuh gara-gara uang lima ribu! Aku ini pekerja keras En, aku butuh perlindungan yang bisa kupegang. Kamu jangan asal membenci aku, jika belum tahu alasannya aku berbuat seperti itu! Aku bisa membuatmu tresno jika kau memberiku kesempatan."
 Eni menatapku tajam. Tatapannya menusuk batinku. Tiba-tiba aku merasa gelisah.
    "Itulah kenapa aku tidak mau menjadi makmum-mu! Pikiranmu yang dangkal seperti itu hanya akan membuatku menderita jika mau menikah dengan Mas. Tidak akan ada rasa tresno di hatiku selama Mas masih berbuat kemusyrikan semacam itu. Maaf, lebih baik Mas pergi sekarang! Aku menolak lamaran Mas!"
Aku bergeming dari dudukku. Kurasakan darah berhenti mengalir saat Eni mengucapkan kalimat pedas seperti itu. Hatiku serasa remuk-redam. Bumi seakan terjungkir balik dan membenamkan aku ke dalamnya. Langit terasa runtuh dan menghancurkan kepalaku hingga ke butiran otakku yang terkecil. Aku patah hati! Dan itu membuatku ingin membalas Eni dengan seribu kali lipat penderitaan luka hati, seperti yang dia berikan padaku sekarang.
 Aku akan membalasmu Eni! Aku akan membuatmu bertekuk lutut dihadapanku dan memohon-mohon cintaku. Dan saat itu terjadi , aku akan mempermalukanmu dengan menolakmu! Aku akan membuatmu gila! Aku akan membuatmu gila karena saking cintanya padaku! Yah, lihat saja pembalasanku En! Lihat nanti!
Aku meremas sebungkus rokok kretek sebagai pelampiasan amarahku. Lalu kubuang ke lantai dengan sengaja.  Kurasakan kegelisahan merambati hati Pak Wongso, Ayah Eni. Dia pasti tidak menduga jawaban putrinya atas pinanganku akan berakhir seperti ini. Kemarin aku ancam dia, jika dia menolak lamaranku, sawahnya yang dekat hutan pohon karet akan habis dimangsa hama.
Pak Wongso percaya aku mempunyai kesaktian. Padahal, aku hanya menggertak sambal saja. Aku memang ingin memiliki ilmu kesaktian mandaraguna, tapi seringkali mahar yang kupersembahkan pada calon guruku kalah oleh orang lain yang memang sudah dari sananya berdompet tebal. Dan sekarang Eni, gadis pujaanku menolak dengan tegas, tanpa tedeng aling-aling.
    Maka sore itu aku pergi dari rumahnya dengan dendam membara di hatiku. Aku sudah membulatkan tekad untuk menaklukkan hatinya, bagaimanapun caranya. Kalau aku harus memberikan tumbal bagi jin supaya bisa menaklukkan hati Eni, aku akan melakukannya. Karena itulah aku kembali ke Gunung Merapi untuk bertapa.
   Sudah satu bulan aku bertapa di salah satu ceruk Gunung Merapi. Para senior-ku di bidang keghaiban mengatakan, jika aku ingin keinginanku terkabul, aku harus bertapa di ceruk itu selama sebulan penuh. Mereka membekaliku dengan sebuah cemeti yang terbuat dari ekor kuda yang dibacai mantra-mantra.
Aku masih diperbolehkan makan. Tapi aku dipantang untuk memakan makanan yang telah dimasak terlebih dahulu. Karena itu aku hanya memakan dedaunan dan kelelawar. Kelelawar itu aku sayat lehernya sebelum ku makan. Darahnya aku biarkan mengalir menggenangi tanah gua. Untuk minum, aku pergi ke sebuah mata air yang memancar dekat ceruk. Dan selama sebulan aku melakukan itu, aku merasa ada yang berubah. Rasa kemanusiaannku perlahan musnah. Yang ada pada diriku adalah naluri untuk membunuh dan menaklukkan.

    Tepat sebulan aku bertapa, saat bulan purnama tiba, aku melihat makhluk ajaib itu. Aku sungguh tak mengira, niatku untuk buang hajat untuk pertama kalinya dalam sebulan itu, mengantarku pada pertemuanku dengan mahluk ajaib itu. Tak kukira makhluk pengabul keinginan itu memiliki sosok yang cantik.
 Entah bagaimana, setiap warna di bulunya memancar dengan indahnya, walau malam pekat menyelubungi sumber mata air itu.  Bulunya yang memiliki tiga warna, ungu, hitam dan biru, berpendar indah tertimpa sinar keperakan dari bulan purnama. Paruhnya yang besar berwarna merah tua. Kakinya yang besar juga memiliki warna merah tua. Mata makhluk itu berwarna hitam. Makhluk itu tengah bersimpuh di samping mata air. Rupanya mahluk itu mengenal kata haus juga.
   Dengan mengendap-ngendap aku menghampiri makhluk itu dari belakang. Saat jemariku hendak menangkapnya, makhluk itu berbalik menghadapku dan menampakkan wujud aslinya.
Sosok yang semula seukuran burung Beo itu, berubah menjadi seukuran pohon kelapa. Wajahnya berubah menyeramkan. Taring bermunculan di paruhnya yang melebar. Matanya bersinar merah dan melotot ke arahku. Aku tidak gentar. Para seniorku telah memberitahuku soal perubahan mahluk itu.
   Maka kami pun berkelahi.
 Paruh mahluk itu bertubi-tubi menyerangku. Sayapnya membuat angin keras yang bergulung-gulung mengehempaskanku jauh-jauh. Tapi aku tidak menyerah, aku kembali memburu mahluk itu. Aku mencari-cari  celah untuk melukainya. Entah apa yang merasuk ke dalam tubuhku. Aku menyerang tubuh makhluk itu dengan bertubi-tubi. Bak kesetanan, aku membabatkan cemeti itu kesekujur tubuh makhluk itu. Mahluk itu kembali menyerangku dengan cakarnya berwarna merah darah. Aku mencabut keris pemberian Eyang Kusumo, guru silatku. Aku menangkis setiap serangan dengan keris  dari cakarnya yang tajam.
Entah berapa lama kami berkelahi. Pepohonan di sekitarku mulai porak poranda bagai diterjang angin puyuh. Aku terus memecutkan cemeti itu sampai peluhku bercucuran. Sambil memecut, aku rapalkan mantra-mantra yang menjadi bekalan Eyang Kusumo. Dan tatkala aku lihat mahluk itu berubah ke sosoknya yang semula, aku menghentikan pecutanku dan menangkapnya dengan mudah. Menatap makhluk itu terkulai tak berdaya di tanganku,aku lalu tertawa terbahak-bahak.
Aku, Joko, bisa menangkap makhluk ajaib pengabul keinginan!”teriakanku menggelegar di tengah malam sunyi.
 Malam itu juga aku turun gunung. Makhluk itu kumasukkan dalam karung goni yang kubawa dari rumah.
    Akhirnya aku sampai di rumah. Aku lalu memasukkan makhluk itu ke dalam kerangkeng besi, tempat dulu aku menyimpan burung Murai, yang mati mendadak entah karena penyakit apa. Mungkin saja karena santet kiriman orang. Setelah itu aku pergi mandi di sungai. Tubuhku yang sebulan tak dimandikan, meninggalkan lapisan daki tebal. Aku menggosoknya dengan batu apung yang ada di sekitar sungai.
                Hatiku gembira, sebentar lagi hati Eni akan kutaklukkan dengan bantuan makhluk itu.

 Tapi kini, kerangkeng itu terbuka. Makhluk di dalamnya telah menghilang. Kemanakah dia?
Aku teringat proses penangkapannya yang menghabiskan tenaga. Belum lagi pertapaanku yang harus aku lakukan selama sebulan penuh. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
 Padahal aku memiliki banyak permintaan yang hendak kuajukan. Aku meneliti kerangkeng besi. Bagaimana bisa dia membuka kerangkeng yang kukunci itu?
Kerangkeng besi tempat menyekap makhluk itu kokoh dan tak terlihat tanda-tanda adanya pengrusakan. Sial! Kemana lagi harus kucari makhluk seperti itu?
 Makhluk ajaib di dalamnya telah hilang. Burung Tengkek Buto itu telah menghilang.{sr}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar