Makhluk Ajaib
Kerangkeng
itu terbuka. Makhluk di dalamnya telah menghilang. Kemanakah dia? Aku teringat
proses penangkapannya yang menghabiskan tenaga. Belum lagi pertapaanku yang
harus aku lakukan selama sebulan penuh. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Padahal aku memiliki banyak permintaan yang hendak
kuajukan. Aku meneliti kerangkeng besi. Bagaimana bisa dia membuka kerangkeng
yang kukunci itu? Kerangkeng besi tempat menyekap makhluk itu kokoh dan tak
terlihat tanda-tanda adanya pengrusakan. Sial! Kemana lagi harus kucari makhluk
seperti itu?
Saat aku menemukannya pertama kali,
aku sudah menduga bahwa makhluk itu adalah makhluk ajaib. Makhluk hidup yang bisa kita pintai
keinginan. Ya, aku percaya makhluk itu bisa mengabulkan keinginanku. Ratusan
pengusaha sukses di Jakarta bersaksi tentang makhluk itu. Dan aku menemukan
makhluk itu tanpa perantara orang pintar yang biasa memeliharanya, yang
menjadikannya
pelayan penyugihan para pengusaha yang
ingin bertambah kaya.
Aku membuka lemari, siapa tahu makhluk itu
bersembunyi di dalamnya. Kosong. Hanya baju-bajuku yang ada di sana. Aku
melongok ke bawah tempat tidur. Nihil. Akhirnya aku duduk di kursi rotan. Aku
sulut rokok kretekku. Kemana lagi harus kucari makhluk itu?
Asap abu-abu mengabut di rumah berdinding
papan kasar itu. Gentengnya yang coklat bisa terlihat dari tempatku duduk. Aku
memang belum mampu menyekatnya dengan triplek. Uang hasil penjualan tanah dan sapiku habis
kugunakan membeli persyaratan mahar ilmu yang ingin kumiliki. Karena
itu, bila hujan datang, banyak tetesan air hujan menetes ke lantai rumah. Tetesan itu menimbulkan noda di lantai yang kadang kulap
dengan asal.
Aku mengedarkan
pandangan ke sekitar rumah. Rumah tua itu mulai retak dindingnya. Lantai
berkeramik pun sudah kusam karena noda lumpur dan debu yang mengerak.
Perabotanya juga sudah lama tertutupi debu. Ada sebuah TV berukuran 26 inci
yang sudah lama tak kutonton. Perangkat elektronik pemberian orang-orang yang
percaya jika aku sakti, teronggok di atas meja kayu jati. Ada radio, kipas angin,
DVD player, dan setumpuk DVD yang berisikan penyanyi dangdut yang manggung di
sekitar pesisir Pantura. Sebuah kulkas merek terbaru membeku di sudut ruang.
Ah, kalau saja Eni mau menjadi istriku. Rumah dan perabotannya, juga tanah ini
akan aku berikan pada dia. Bukan itu saja, hatiku juga akan aku serahkan.
Sayang dia menolakku.
Aku menghisap dalam-dalam rokokku. Kepulan demi kepulan keluar dari mulutku. Aku tidak tahu
mengapa rokok senikmat ini dilarang. Kalau memang rokok itu terdiri dari
hal-hal yang meracuni saraf dan badan, mengapa rokok terus dibuat? Dasar dagelan
orang-orang pintar itu!
Aku memikirkan Eni. Kembang desa
yang kucintai semenjak kecil
dulu. Hatinya yang keras sangat sulit kululuhkan. Walau aku berjanji akan
memberinya motor dan sapi sebagai mas kawin, Eni tetap menolak.
"Aku tidak butuh motor atau sapi, Mas.
Yang aku butuhkan adalah seorang suami yang bisa bersedia menjadi imam yang
baik untukku, " kata Eni saat menolakku.
"Mas juga bisa menjadi imammu, En!" kataku saat itu.
Eni tersenyum sinis. Aduhai, senyuman sinisnya mampu membuat dadaku berdegup kencang. Eni
membetulkan kerudungnya. Tangannya yang kuning langsat tertutupi baju panjang
yang tidak menampakkan bentuk tubuhnya. Kakinya pun berkaos kaki. Inilah gadis
pujaan hatiku. Terlindung dengan apik bagai telur burung unta yang terjaga.
"Bagaimana Mas bisa menjadi imamku jika
Mas saja tidak pernah sholat? Apalagi Eni dengar dari tetangga dan orangtua
Eni, kalau Mas itu suka bertapa di Gunung Merapi. Untuk apa Mas melakukan itu?” sergah Eni dengan suara perlahan. Walaupun pelan,
kalimatnya itu bagai menusukkan sembilu di hatiku.
“
Mas tidak tahu kan,
kalau saya benci dengan orang yang melakukan perbuatan musyrik seperti
itu!" ucap Eni lagi.
Pernyataan Eni membuatku naik pitam. Dia beraninya menuduhku musyrik!
"Jangan sembarangan kamu, En! Aku bukan
musyrik! Aku juga menyembah Tuhan! Aku hanya menjadikan pertapaanku untuk
mencari ilmu yang membuatku tahan senjata! Kamu tahu zaman apa sekarang?”
Eni menegakkan
tubuhnya dan menatap mataku tajam. Aku meneguk ludah sebelum membalas
perkataannya yang kurang ajar. Jarang sekali Eni langsung menatap kedua mataku.
Biasanya gadis itu menunduk jika kuajak bicara. Matanya berbicara seakan siap
berperang. Hatiku bergidik entah kenapa.
“
Sekarang zaman carut-marut En! Kalau yang haram saja
susah, apalagi yang halal! Banyak yang dibunuh gara-gara uang lima ribu! Aku
ini pekerja keras En,
aku butuh perlindungan yang bisa kupegang.
Kamu jangan asal membenci aku, jika
belum tahu alasannya aku berbuat seperti itu! Aku bisa membuatmu tresno jika
kau memberiku kesempatan."
Eni menatapku tajam. Tatapannya menusuk
batinku. Tiba-tiba aku merasa gelisah.
"Itulah kenapa aku tidak mau menjadi
makmum-mu! Pikiranmu yang dangkal seperti itu hanya akan membuatku menderita
jika mau menikah dengan Mas. Tidak akan
ada rasa tresno di hatiku selama Mas masih berbuat kemusyrikan semacam itu.
Maaf, lebih baik Mas pergi sekarang!
Aku menolak lamaran Mas!"
Aku bergeming dari
dudukku. Kurasakan darah berhenti mengalir saat Eni mengucapkan kalimat pedas
seperti itu. Hatiku serasa remuk-redam. Bumi seakan terjungkir balik dan
membenamkan aku ke dalamnya. Langit terasa runtuh dan menghancurkan kepalaku
hingga ke butiran otakku yang terkecil. Aku patah hati! Dan itu membuatku ingin
membalas Eni dengan seribu kali lipat penderitaan luka hati, seperti yang dia
berikan padaku sekarang.
Aku akan membalasmu Eni! Aku akan membuatmu
bertekuk lutut dihadapanku dan memohon-mohon cintaku. Dan saat itu terjadi ,
aku akan mempermalukanmu dengan menolakmu! Aku akan membuatmu gila! Aku akan
membuatmu gila karena saking cintanya padaku! Yah, lihat saja pembalasanku En!
Lihat nanti!
Aku meremas
sebungkus rokok kretek sebagai pelampiasan amarahku. Lalu kubuang ke lantai
dengan sengaja. Kurasakan kegelisahan
merambati hati Pak Wongso, Ayah Eni. Dia pasti tidak menduga jawaban putrinya
atas pinanganku akan berakhir seperti ini. Kemarin aku ancam dia, jika dia
menolak lamaranku, sawahnya yang dekat hutan pohon karet akan habis dimangsa
hama.
Pak Wongso percaya
aku mempunyai kesaktian. Padahal, aku hanya menggertak sambal saja. Aku memang
ingin memiliki ilmu kesaktian mandaraguna, tapi seringkali mahar yang
kupersembahkan pada calon guruku kalah oleh orang lain yang memang sudah dari
sananya berdompet tebal. Dan sekarang Eni, gadis pujaanku menolak dengan tegas,
tanpa tedeng aling-aling.
Maka sore itu aku pergi dari rumahnya dengan
dendam membara di hatiku. Aku sudah membulatkan tekad untuk menaklukkan
hatinya, bagaimanapun caranya. Kalau aku harus memberikan tumbal bagi jin
supaya bisa menaklukkan hati Eni, aku akan melakukannya. Karena itulah aku
kembali ke Gunung Merapi untuk bertapa.
Sudah
satu bulan aku bertapa di salah satu ceruk Gunung Merapi. Para senior-ku di
bidang keghaiban mengatakan, jika aku ingin keinginanku terkabul, aku harus
bertapa di ceruk itu selama sebulan penuh. Mereka membekaliku dengan sebuah
cemeti yang terbuat dari ekor kuda yang dibacai mantra-mantra.
Aku masih diperbolehkan makan. Tapi
aku dipantang untuk memakan makanan yang telah dimasak terlebih dahulu. Karena
itu aku hanya memakan dedaunan dan kelelawar. Kelelawar itu aku sayat lehernya sebelum ku makan. Darahnya aku biarkan
mengalir menggenangi tanah gua. Untuk minum, aku pergi
ke sebuah mata air yang memancar dekat ceruk. Dan selama sebulan
aku melakukan itu, aku merasa ada yang berubah. Rasa kemanusiaannku perlahan
musnah. Yang ada pada diriku adalah naluri untuk membunuh dan menaklukkan.
Tepat sebulan aku bertapa, saat bulan purnama
tiba, aku melihat makhluk ajaib itu. Aku
sungguh tak mengira, niatku untuk buang hajat untuk pertama kalinya dalam
sebulan itu, mengantarku pada pertemuanku dengan mahluk ajaib itu. Tak
kukira makhluk pengabul keinginan itu memiliki sosok yang cantik.
Entah bagaimana, setiap warna di bulunya
memancar dengan indahnya, walau malam pekat menyelubungi sumber mata air itu. Bulunya yang memiliki tiga warna, ungu,
hitam dan biru, berpendar
indah tertimpa sinar keperakan
dari bulan purnama. Paruhnya yang besar berwarna merah tua. Kakinya yang besar juga
memiliki warna merah tua.
Mata makhluk itu berwarna hitam. Makhluk itu tengah bersimpuh di samping mata
air. Rupanya mahluk itu mengenal kata haus juga.
Dengan
mengendap-ngendap aku menghampiri makhluk itu dari belakang. Saat jemariku
hendak menangkapnya, makhluk itu berbalik menghadapku dan menampakkan wujud
aslinya.
Sosok yang semula seukuran burung
Beo itu, berubah menjadi seukuran pohon kelapa. Wajahnya berubah menyeramkan.
Taring bermunculan di paruhnya yang melebar. Matanya bersinar merah dan melotot
ke arahku. Aku tidak gentar. Para seniorku telah memberitahuku soal perubahan
mahluk itu.
Maka
kami pun berkelahi.
Paruh mahluk itu bertubi-tubi menyerangku. Sayapnya
membuat angin keras yang bergulung-gulung mengehempaskanku jauh-jauh. Tapi aku
tidak menyerah, aku kembali memburu mahluk itu. Aku mencari-cari celah untuk melukainya. Entah
apa yang merasuk ke dalam tubuhku. Aku menyerang tubuh makhluk itu dengan
bertubi-tubi. Bak kesetanan, aku membabatkan cemeti itu kesekujur tubuh makhluk
itu. Mahluk itu kembali menyerangku dengan cakarnya berwarna
merah darah. Aku mencabut keris pemberian Eyang Kusumo, guru silatku. Aku
menangkis setiap serangan dengan keris
dari cakarnya yang tajam.
Entah berapa lama
kami berkelahi. Pepohonan di sekitarku mulai porak poranda bagai diterjang
angin puyuh. Aku terus memecutkan cemeti itu sampai
peluhku bercucuran. Sambil memecut, aku
rapalkan mantra-mantra yang menjadi bekalan Eyang Kusumo. Dan
tatkala aku lihat mahluk itu berubah ke sosoknya yang semula, aku menghentikan
pecutanku dan menangkapnya dengan mudah. Menatap makhluk itu terkulai tak
berdaya di tanganku,aku lalu
tertawa terbahak-bahak.
“Aku,
Joko, bisa menangkap makhluk ajaib pengabul keinginan!”teriakanku menggelegar di tengah malam sunyi.
Malam itu juga aku turun gunung. Makhluk itu
kumasukkan dalam karung goni yang kubawa dari rumah.
Akhirnya aku sampai di rumah. Aku lalu
memasukkan makhluk itu ke dalam kerangkeng besi, tempat dulu aku menyimpan
burung Murai, yang mati mendadak entah karena penyakit apa. Mungkin saja karena santet kiriman orang. Setelah
itu aku pergi mandi di sungai. Tubuhku yang sebulan tak dimandikan,
meninggalkan lapisan daki tebal. Aku menggosoknya dengan batu apung yang ada di
sekitar sungai.
Hatiku gembira, sebentar lagi hati Eni akan kutaklukkan
dengan bantuan makhluk itu.
Tapi kini, kerangkeng itu
terbuka. Makhluk di dalamnya telah menghilang. Kemanakah dia?
Aku teringat proses penangkapannya
yang menghabiskan tenaga. Belum lagi pertapaanku yang harus aku lakukan selama
sebulan penuh. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Padahal aku memiliki banyak permintaan yang hendak kuajukan. Aku meneliti
kerangkeng besi. Bagaimana bisa dia membuka kerangkeng yang kukunci itu?
Kerangkeng besi tempat menyekap
makhluk itu kokoh dan tak terlihat tanda-tanda adanya pengrusakan. Sial! Kemana
lagi harus kucari makhluk seperti itu?
Makhluk ajaib di dalamnya telah hilang. Burung
Tengkek Buto itu telah
menghilang.{sr}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar