Siapa bilang anak mesjid tidak bisa
konyol? Walaupun anak mesjid identik dengan suasana religius, ada kalanya
mereka juga mengalami cerita konyol yang membuat malu. Namun, setelah beberapa
tahun kemudian, cerita-cerita memalukan itu berubah menjadi kenangan indah yang
menjadi inspirasi membuat cerpen.
Ini cerita tentang aku, sepuluh
tahun yang lalu.
Aku dan teman-temanku menjadi
panitia Mesjid Habiburrahaman. Panitia disini mencakup banyak acara. Misalnya
pada saat Lebaran, kami bertugas membagi-bagikan kantong plastik hitam sebagai
tempat sandal bagi jamaah yang hendak melaksanakan sholat Ied. Pada Hari Idul
Adha, kami menjadi tukang timbang daging, tukang menguliti dan banyak lagi.
Namun ada satu cerita cinta yang kalau dikenang sekarang itu adalah cerita yang
membuatku dewasa. Bukan hanya mendewasakan, tapi juga konyol, karena saat itu
aku melakukan hal-hal yang dianggap kurang pantas bagi seorang jilbaber.
Kami menjadi panitia Itikaf di
Mesjid Habiburrahman. Itikaf artinya berdiam diri di mesjid untuk menjalankan
ibadah sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini dicontohkan
Rasulullah saw sendiri. Jika 10 hari terakhir Ramadhan tiba, beliau akan lebih
banyak beribadah, lebih banyak membaca Al-Quran, dan tidak berhubungan badan
dengan istri-istrinya. Itikaf juga bertujuan untuk mengharapkan Lailatul Qadar,
malam yang berkah yang lebih mulia daripada seribu bulan. Pada malam itu
Allah akan mengampuni setiap orang yang meminta ampun, akan mengabulkan doa
setiap orang yang berdoa, dan akan memuliakan orang yang memohon kepadaNya.
Karena itulah banyak orang beritikaf di mesjid untuk mendapatkannya. Tugas
kami sebagai panitia Itikaf adalah mengurus kebutuhan makanan berbuka dan
makanan saat sahur. Selain itu juga kami harus membangunkan para jamaah dan
mengatur pengambilan air wudhu.
Seperti biasa, panitia
perempuan bertanggungjawab pada jamaah perempuan. Kami membuat batas antara
jamaah laki-laki dan perempuan, agar para jamaah yang hendak melaksanakan
itikaf tidak bercampur sehingga menimbulkan virus merah jambu yang
mengganggu pelaksanaan ibadah. Tapi seperti pepatah, manusia hanya bisa
berusaha, Tuhan juga yang menentukan. Virus merah jambu itu terjadi
padaku.
Sebagai seorang jilbaber, aku
berusaha menjaga tingkah lakuku agar selalu sopan. Namun memang aku agak
bandel. Jika melihat sesuatu yang lucu, spontan aku akan tertawa
terbahak-bahak, tanpa mengingat bahwa aku ini jilbaber. Hal yang paling
parah adalah dimana aku jatuh cinta kepada Ketua Panitia Itikafku sendiri,
yaitu Kang Mulky. Ini adalah cinta pertamaku ketika aku sudah mengenakan
kerudung.
Kang Mulky seorang akhtifis mesjid.
Posturnya rata-rata orang Indonesia, berkulit sawo matang, dahinya tinggi tanda
seorang pemikir. Dia adalah anak yatim sehingga menjadi tulang punggung keluarganya.
Pembawaannya pendiam dan tenang. Melihatnya aku seperti menemukan sebuah buku
misteri yang menarik untuk kubaca. Oh iya, dia juga seorang penghafal Quran.
Saat itu dia sudah menghafal 2 juz Al-Quran. Ketika dia membaca surat Ar-Rahman
di luar kepala, aku hanya menatapnya dari saf wanita dengan hati yang meleleh.
Itulah lelaki yang kuidamkan untuk menjadi sumiku. Itulah kali pertama aku
jatuh cinta pada mahluk Tuhan berjenis kelamin laki-laki. Rasa cinta itu aku
pendam dalam-dalam. Maklum, kami berusaha menjaga mata dan hati kami agar tidak
jelalatan, istilah kerennya ghodul bashar.
Tapi lagi-lagi aku melanggar. Cinta terpendam ini membuatku jerawatan. Bahkan
bisulan. Tapi itu bukan karena cinta terpendam, tapi karena kebanyakan makan
telur untuk buka dan sahur.
Pada saat rapat seringkali aku
menatapnya diam-diam. Aku biasanya duduk di paling belakang, pura-pura
memperhatikan rapat, padahal aku memperhatikan Kang Mulky. Saat kita sedang
jatuh cinta, perilaku orang yang kita cintai bergerak dalam gerakan
lambat. Misalnya saja ketika Kang Mulky bercerita tentang jadwal
pembagian makanan untuk sahur.
“Qiyamul lail akan berakhir
pukul 03.45. Makanan sahur akan dibagikan pukul 03.50. Ingat, kuponnya jangan
hilang. Karena pelajaran tahun kemarin, kita kecolongan 100 bungkus nasi. Bukan
apa-apa, makanan itu kan kita beli dari rumah makan. Kalau kelebihan maka kita
rugi dong,”ucapnya dengan nada serius yang sama.
Nah, jika kata-kata itu bergerak
lambat seperti dalam bayanganku, maka akan menjadi,”Jaaaaaaaaaaaaadiiiiiiiiiii
qiiiiiiiiyaaaaaamuuuuullll laaaaaaaiiiiiiil beeeeeeeeeerrraaaakkkkhhhhhhiiiir
pppuuuuukkkkuuuuulllll tttitiiiigggaaa
eeeeemmmmppppaaaaatttt limaaaaa…….”,
Pusing kan? Hehehe, namun dalam
benakku yang keracunan demam merah jambu, hal itu biasa saja. Setiap lirikan
matanya, gerakan tangannya bahkan degup jantungnya, semuanya terlihat melambat.
Setiap kali melihat Kang Mulky, wajahnya tiba-tiba menjadi
lebih jelas dimataku. Aku sering berkhayal, Kang Mulky melamarku dengan
berlutut, di giginya yang putih terselip setangkai mawar merah, dan ditangan
kanannya ada sekotak coklat. Kubayangkan giginya putih bersinar seperti gigi
dalam iklan pasta gigi. Matanya yang bulat jernih, bercahaya seperti iklan obat
tetes mata. Bukan itu saja, tiba-tiba lagu Amir Diab yang Tamali Maak yang artinya
Selalu Denganmu, berkumandang dengan merdunya. Aiiiiiih. Saking tenggelamnya
aku dalam lemunanku, aku tidak sengaja berkali-kali memukul tangan Teh Rosy.
Dia mengaduh seraya berbisik,
”Teh Rini?”tegurnya.
Aku membuka
mataku. Mata-mata peserta rapat itikaf lainnya menatapku penuh selidik.
Pandangan penuh tanda Tanya tersirat di wajah mereka. Kang Mulky menatapku lalu
bertanya,
”Teh Rini
ada yang mau disampaikan?”
Aku menatap
kekanan dan kekiri dengan serba salah. Seperti maling ayam tertangkap basah.
Aku menggelengkan kepalaku seraya tertunduk malu,
” Tidak ada
kang,”ucapku.
Kalau aku
berkulit putih, mungkin saat itu pipiku terlihat merah padam seperti kepiting
rebus. Untung saja aku berkulit sawo muda, coklat coklat manis gitu. Bukan saat
itu saja aku mempermalukan diriku di depan Kang Mulky. Sebagai panitia yang
rumahnya dekat dengan mesjid, aku sering kebagian piket di meja pendaftaran.
Aku akan menunggui meja panitia yang membuka pendaftaran pemesanan makanan
untuk berbuka dan juga sahur. Sebagai panitia Itikaf, kami dipinjami walkie
talkie sebagai sarana pelancar komunikasi kami.
Waktu
itu pukul 10.30. Masa-masa yang kritis karena setelah semalaman bershalat
malam, mata maunya terpejam saja. Suasana mesjid terasa hening. Sayup-sayup
terdengar alunan ayat suci dilantunkan jamaah dari kejauhan. Malam nanti adalah
malam genap. Jamaah yang hendak beritikaf tidak sebanyak jamaah yang datang
pada malam ganjil. Karena kebanyakan orang percaya jika Lailatul Qadar diturunkan
pada malam ganjil. Tapi sebagian ulama mengatakan jika malam Lailatul Qadar dipergilirkan
diatara 10 hari terakhir Ramadhan. Jadi banyak juga yang beritkaf selama 10
hari terakhir.
Karena
saat itu aku dalam tahap jiwa dewasa awal, aku lebih sering
memperturutkan hawa nafsuku, alias masih labil. Maksudnya, disaat yang lain
sedang mengaji Al-Quran, aku malah menyenandungkan lagu Dewa 19 yang Separuh
Jiwaku di frekuensi kosong di walkie talkie-ku. Dengan posisi membungkuk diatas
meja seperti tertidur, aku bersenandung perlahan agar tidak bisa didengar orang
lain.
”Separuh jiwaku, terbang bersama dirimu, saat
kau tinggalkanku, salahkanku, salahkah aku bila aku bukanlah seperti aku yang
dahulu,”senandungku perlahan.
Saat asyik
menyanyi, ada tepukan pelan di bahuku. Karena kaget, aku melemparkan walkie
talkie ke udara. Walkie talkie berwarna biru itu melayang lalu mendarat mulus
dengan mengeluarkan suara patah yang mengerikan. Walkie talkie itu pecah
menjadi 5 bagian yang besar dan ratusan serpihan lain. Seorang jilbaber berkaos
kaki, tidak sengaja menginjak bagian walkie talkie yang besar. Diantara
teriakannya yang singkat, dia meluncur bagai seorang peseluncur es diatas
keramik mesjid yang putih mulus. Sebelum jatuh, dia menarik kaos kawannya
hingga kawannya yang juga berjilbab ikut terjatuh.
Aku terpana,
sebelum tertawa, namun seketika itu juga aku menutup mulutku. Aku masih
ingat aku berada di mesjid. Namun gadis berjilbab yang tadi jatuh, kemudian
menginjak serpihan walkie talkie yang lebih kecil dan kembali terjatuh. Aku tak
kuasa menahan tawaku. Hanya saja pelototan jamaah yang melihat kejadian itu
membuatku menahan tawa. Aku membekap mulutku agar tawa itu tidak meledak.
Akibatnya, pipiku sakit, perutku sakit dan mataku mengeluarkan airmata. Perutku
yang sakit membuatku ingin buang angin alias kentut. Disela-sela usahaku
menahan tawa, aku melepaskan ketenangan perutku dengan kentut perlahan-lahan.
Dut,
dut, dut.
Aku merasa
geli sendiri mendengar suara kentutku. Namun, tiba-tiba,
“Teh Rini?”
Itu suara
Kang Mulky!
Aku
terhenyak. Perlahan-lahan aku membalikkan badanku 180 derajat. Dan disanalah,
pangeran idamanku, berdiri sekitar 1 meter di belakang meja panitia. Dari
wajahnya yang memerah dan salah tingkah, aku yakin Kang Ian mendengar suara
kentutku yang patah-patah barusan. Aduh, malunya. Ingin sekali aku
menyembunyikan wajahku di pasir seperti burung onta. Atau di koper, atau di
sumur atau dimana kek, sehingga aku tidak bertemu dengan Kang Mulky.
Habis sudah harapanku masuk ke dalam daftar wanita yang layak
dijadikan istri olehnya. Malah, aku akan dikenang olehnya sebagai jilbaber
berkentut patah-patah!
Ingin sekali
aku menangis. Ingin sekali aku menangis, ingin sekali aku menghilang!
Aku tak ikut
rapat hari itu karena malu bertemu Kang Mulky.
Itikafku
tahun itu adalah yang terburuk sepanjang aku menjadi panitia. Bacaan Quranku
tidak tamat. Padahal tahun sebelumnya, aku bisa menamatkan bacaan Quran 2 kali
selama seminggu. Setelah jatuh cinta pada Kang Mulky, sholatku jadi tidak khusu.
Bayangannya selalu menari-nari di pelupuk mataku. Ekspresinya yang kaget saat
itu, membuatku ingin pergi jadi TKW ke Arab Saudi.
Akhirnya aku
menumpahan uneg-unegku pada Teh Sofia, sesama panitia yang sudah senior mengaji
1 tahun diatasku. Aku mempercayakan ceritaku, rasa maluku, dan rasa cintaku
padanya. Setidaknya Teh Sofia telah berpengalaman dalam menampung curahan hati
seorang jilbaber konyol sepertiku. Setelah menceritakan segalanya, perasaanku
menjadi lega. Setidaknya aku bias membagi bebanku dengan seseorang yang bisa
kupercayai. Teh Sofia memberiku saran,
”Ya sudah
atuh, Teteh minta ditaarufkan saja sama Kang Mulky melalui guru ngajinya.
Daripada ibadah Teh Rini jadi terganggu gara-gara membayangkan Kang Mulky
terus.”
Aku
mengangguk setuju. Lalu aku minta bantuan Kang David, sahabat Kang Mulky untuk
menaarufkanku. Seminggu
setelah Lebaran Kang David datang ke rumah membawa jawaban yang kutunggu.
”Kang Mulky
sudah beristikharah dan berpikir masak-masak, Teh Rini. Untuk saat ini, beliau
belum siap menikah Teh. Maklum, dia kan anak lelaki satu-satunya. Tanggungannya
banyak.. Jangan sedih ya Teh, mungkin Teh Rini belum berjodoh dengan Kang
Mulky,”ucap Kang David.
Aku menerima
jawaban dari Kang David dengan hati yang sedih dan mendongkol. Apa yang aku
harapkan sih? Aku sudah mempermalukan diriku sendiri di depan Kang Mulky.
Pastilah dia menganggap aku konyol. Sudah pasti dia akan menolakku.
Walau pedih, aku berusaha menabahkan hati. Setidaknya aku tahu bagaiamana
perasaan Kang Mulky kepadaku.
Sebulan
kemudian aku mendapat kabar yang mengejutkan. Kang Mulky akan menikah. Dan
wanita berjilbab yang akan dinikahinya adalah Teh Sofia!
Saat berita
itu kudengar dari mulut Teh Keti sendiri, aku merasa telingaku mendengar suara
singa yang keluar dari kandangnya, gonggongan anjing, lenguhan sapi, cericit
burung, meongan kucing dan ular derik sekaligus.
Yah, hatiku
saat itu porak poranda seperti kebun binatang yang diacak-acak binatang
penghuninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar