Senin, 31 Maret 2014

PENDAR DI MATAMU



PENDAR DI MATAMU 


Ada pendar itu dimatamu. Berapa kali harus kukatakan itu pada diriku sendiri? Engkau begitu dekat, tapi sekaligus begitu jauh. Kau di depanku, tapi aku bahkan tidak bisa bertanya padamu. Senyummu tertuju untuk kami semua yang hadir di ruangan ini. Namun, entah mengapa, setiap kali kau menyapukan pandanganmu kearahku, tatap matamu tertahan dua detik lebih lama daripada pandanganmu pada orang lain. Mengapa oh mengapa? Kau membuat dadaku berdesir pada sebuah pengharapan. Namun aku tidak mau memuja harapan itu. Walau patah hati sudah biasa untukku. Walau pupus harapan sudah terlalu meninggalkan luka untukku.
Jemarimu yang kekar cekatan membuka laptop Sisi yang rusak. Sengaja Sisi memintaku mengantarnya padamu untuk memperbaiki layar laptopnya yang tiba-tiba gelap total. Dan dibalik kerling Sisi, bisa kurasakan niatnya untuk mendekatkanmu padaku. Sisi dan Maria. Mereka kompak untuk menjodohkan aku denganmu. Coba , kedengarannya sangat lucu bukan? Bukankah aku yang pertama mengenalkanmu pada mereka? Secara teori aku lebih dekat denganmu dibanding mereka bukan? Tapi aku butuh mereka untuk mendekatkan kita? Mendekatkan kamu padaku? Aihhh. Pengecutnya aku.
Aku jatuh cinta padamu ketika kau sedang memperbaiki komputerku yang rusak. Saat itu entah mengapa, aku ingin sekali menatapmu lebih lama dari yang biasa kulakukan. Dan saat menatapmu itu, ada kenikmatan menjalar di dadaku. Bahagia. Ya bahagia. Entah kau merasakannya juga atau tidak. Yang jelas, malamnya aku tidak bisa tidur karena memikirkanmu. Tingkah yang seharusnya tidak kulakukan. Karena jelas, dengan hanya menatap wajahmu saja aku menyiksa hatiku dan melupakan Tuhan.
Kebersamaan kita terlalu lama sebagai sahabat. Aku banyak mendengar kisahmu dan perempuan-perempuan itu. Cerita tentang keidealisan dirimu. Cerita tentang keluargamu. Semuanya. Dan aku yakin kau pun tahu cerita  laki-laki temanmu yang membuatku patah hati. Ajaibnya, kita melewatkan tahun-tahun bersama sebagai sahabat. Aku tahu persis kesukaanmu pada komputer, tekhnologi dan makanan pedas. Dan kau tahu tentang kesukaanku pada musik, film dan mie ayam. Bergantian kita saling mentraktir semangkuk mie ayam, atau baso, atau rujak petis yang rasanya pedas dan membuat ingus kita meleleh setelah menyantapnya.
Aku tahu kapan kau sedih. Aku tahu kapan kau bahagia. Bahkan saat kau tidak menceritakannya padaku. Seperti saat Ayahmu yang tiba-tiba sakit. Waktu itu kau memegang jabatan sebagai ketua panitia acara. Dan kami butuh kau disana. Dengan sangat bertanggungjawabnya, kau melakukan kewajiban sebagai ketua panitia. Saat itu kau disana, hadir dan  tersenyum, tapi tidak matamu. Matamu menyorotkan kesedihan dan kebimbangan. Aku merasakannya juga. Sungguh. Dan aku berdoa agar acara kita cepat selesai, agar kau bisa langsung menjenguk Ayahmu di rumah sakit.   Dan aku juga berdoa agar dirimu tidak sedih terus dan cepat riang kembali. Itu bukti aku memperhatikanmu lebih dari yang lain bukan? Lalu kapan aku tahu kau memperhatikanku?
 Saat itu aku sedih karena masalah dengan Mama di rumah. Dan sumpah, aku tidak memberi tahu siapapun tentang hal itu, tapi kau menghiburku dengan leluconmu yang konyol dan membuatku tertawa terbahak-bahak. Lelucon yang membuat wajah cemberutku berubah menjadi wajah gembira. Kalau tidak salah, saat itu aku mulai menyanyangimu sebagai teman. Karena saat itu, yang bisa mengalihkan kesedihan dan kemarahanku dari masalah yang dibuat keluargaku hanya kau. Bahkan ketika kau mendengar bahwa Michael putus denganku dan menikahi Zahra, engkau tahu betapa hancurnya hatiku. Dan kau pun mulai mengajakku ikut dalam segala macam kepanitiaan acara. Benar sekali, luka yang paling dalam sekalipun akan sembuh jika kita mengalihkan pikiran kita pada hal yang lain.  Sejak saat itu setiap perhatianmu, yang terasa biasa untukmu, terasa luar biasa bagiku.
Kau tahu lagu Lucky-nya Jason Meraz yang berduet bareng ama Joshua Pretty? Mungkin saat itu perasaanku seperti lirik lagu itu. Lucky to be in love with our best friend. Itulah yang aku rasakan. Berada di dekatmu sangat membahagiakan. Berbicara denganmu membuat hari-hariku ceria. Aku bahkan merasa kita lebih dekat dari orang yang sedang pacaran. Aku merasa bahagia. Tapi apakah kau juga merasakan hal yang sama denganku?
Kau pernah bilang bahwa kau mengidamkan perempuan dengan wajah cantik hingga kau tidak akan pernah bosan menatapnya seharian. Kau juga ingin perempuan itu berusia sepuluh tahun lebih muda darimu. Aku menghitung usiaku saat itu juga. Kita hanya bertaut sekitar dua tahun. Dan kau menginginkan perempuan yang umurnya berselang sepuluh tahun denganmu?
Aku juga merasa wajahku hanya manis biasa, tidak cantik jelita. Maka saat itu aku mulai bertanya-tanya dalam hati. Apakah semua yang kaukatakan itu merupakan petunjuk agar aku tidak mengharapkanmu? Apakah keinginanmu itu adalah pengusiranku secara perlahan dalam kehidupanmu?
Kalau iya, mengapa tidak engkau katakan terus terang padaku? Hatiku terlanjur menyayangimu tanpa syarat sekian lama ini.  Ya, kau tidak menyuruhku menyukaimu. Tapi tahukah  kau, dirimu yang membuat aku menyukaimu.
Lalu lamaran itupun datang. Aku dilamar seseorang.  Seseorang itu ingin menikahiku walaupun ia tidak mencintaiku. Aku tertawan oleh kenyataan yang diujikan Tuhan padaku. Kalau saja kau tahu betapa bimbang hati ini memutuskan untuk menerima atau menolak lamaran itu. Tapi kau tidak tahu bukan? Aku baru menyadari, kau hanya menganggapku sebagai seorang teman. Tidak lebih. Karena kau bahkan tidak mau berbicara tentang pernikahan bila berada di dekatku.
Namun, entah mengapa, setiap kali kau menyapukan pandanganmu kearahku, tatap matamu tertahan dua detik lebih lama daripada pandanganmu pada orang lain. Ingin aku langsung bertanya, apa yang kau rasakan terhadapku? Sebatas temankah? Atau pernahkah tersirat diriku sebagai pendamping hidupmu?
Dan saat aku memberanikan diri untuk bertanya padamu, di sisi sungai itu, mengapa sinar matamu tiba-tiba berubah menjadi ketakutan?
 Duhai, pangeran impian, aku patah hati saat itu juga. Sebelum engkau mengucapkan jawabannya, sebelum engkau memuntahkan kata-kata setajam silet untuk merobek hatiku jadi dua. Aku patah hati lagi! Tidak hanya itu , aku patah arang.
Detik-detik menuju pelaminan terasa cepat bagiku. Aku tidak kuasa menghentikan degup jantung yang bertalu-talu ingin menyuarakan kesedihan. Dulu ada engkau sebagai penghiburku, namun kini engkaulah yang menorehkan kepedihan ini. Kalau saja saat ini kau tiba-tiba datang dan memohon cintaku, aku bersedia  untuk  melarikan diri bersamamu, dengan gaun pengantinku yang berwarna putih bercorak emas. Aku tidak akan memperdulikan harga diri dan martabat keluarga. Yang kuperdulikan hanya dirimu dan cintamu. Aku tidak perduli pada materi dan harta yang tidak kau miliki. Asalkan bersamamu, aku pasti akan bahagia. Hanya saja, kau tidak datang..
Di hari  itu, akhirnya engkau datang di penghujung hari. Saat tamu-tamu yang lain pulang dan hanya menyisakan sedikit makanan, kau datang bersama Liana,guru TPA. Wajahmu tersenyum padaku dan pada suamiku. Namun tidak matamu. Entahlah mungkin hanya perasaanku saja. Liana menyapaku dengan hangat, kecup pipi kiri dan pipi kananku
“Barakalloh ya Teh, semoga berkah,”ucap Liana dengan hangat.
“ Aamiin, semoga Liana cepat menyusul ya,”balasku.
Liana tersenyum, ditatapnya kedua mataku. Dia mengangguk
“Insyaallah Teh, doakan saja.”
Diam. Engkau hanya diam di belakang Liana. Lalu, kalian pamit pulang.
“Kami pamit pulang dulu Teh.”
“Loh kok? Kalian kan belum makan ?”
Liana tersenyum penuh misteri.
“ Kami datang untuk mendoakan Teteh. Itu yang penting Teh.”
Aku mengangguk dan menangis dalam hati. Ya Rabb, awal pernikahanku dimulai dengan perjuangan menghapus suka kepada seorang hambamu yang  pernah menjadi sahabatku. Dan aku akan berjuang untuk itu. Karena disisiku kini menjulang laki-laki yang Kau takdirkan menjadi pendamping hidupku. Laki-laki yang telah meminangku dengan tulus. Laki-laki yang bersedia menjadi imam dan penanggung jawabku.
Di kamar, aku dan suamiku mengerjakan sholat sunat dua rakaat. Lalu setelahnya, dia membalikkan badannya ke arahku. Wajahnya memang tidak setampan dirimu. Tapi kilau di matanya terlihat tajam. Matanya seakan berbicara banyak.
“ Teteh, sekarang saya sudah menjadi suami Teteh. Saya memohon kepada Allah sifat baik Teteh dan berlindung dari sifat jelek Teteh. Semoga Teteh bisa menerima saya apa adanya saya. Baik itu kelebihan atau kekurangan saya. Jika memang nanti ada sikap saya yang kurang berkenan di hati Teteh, bersabarlah, dan mohonlah pertolongan pada Allah dengan sholat. Sesungguhnya Allah Maha Menolong orang yang selalu minta pertolonganNya. Saya tidak tahu saya akan berjodoh dengan Teteh seperti sekarang. Mungkin sebelum saya Teteh menyukai laki-laki lain. Dan sebelum Teteh saya juga menyukai wanita lain. Dan banyak juga manusia di luar sana yang menanti saya atau Teteh. Tapi ternyata, Allah telah menakdirkan kita berjodoh. Semoga pernikahan ini menjadi rahmat dan berkah bagi kita, aaamiin.”
Lalu suamiku meletakkan tangan kanannya di ubun-ubunku dengan lembut. Doa dari mulutnya terdengar lirih. Tangannya bergetar. Aku mendongak dan mendapati pipi suamiku basah oleh airmata. Aduhai, tatkala aku melihat airmata itu perasaan suka kepadamu hilang seketika. Aku bawa tangannya ke keningku. Kucium jemarinya dengan takzim. Aku menatap laki-laki di depanku ini. Dialah kekasih halalku. Dialah suamiku. Dialah manusia yang dikirim Allah untukku. Aku berjanji dalam hati aku tidak akan menyia-nyiakannya. Dan seiring doaku yang menderas, pandangan mataku kabur oleh air mata. .(rinz)
(teruntuk temanku yang risau menghadapi jodoh dari orangtuanya, Allah Maha Mengetahui hatimu mbak, istikhorohlah dengan sepenuh jiwa, dan saat hatimu mantap menerima, melangkahlah dengan tegar.)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar