PENDAR
DI MATAMU
Ada
pendar itu dimatamu. Berapa kali harus kukatakan itu pada diriku sendiri?
Engkau begitu dekat, tapi sekaligus begitu jauh. Kau di depanku, tapi aku
bahkan tidak bisa bertanya padamu. Senyummu tertuju untuk kami semua yang hadir
di ruangan ini. Namun, entah mengapa, setiap kali kau menyapukan pandanganmu
kearahku, tatap matamu tertahan dua detik lebih lama daripada pandanganmu pada
orang lain. Mengapa oh mengapa? Kau membuat dadaku berdesir pada sebuah
pengharapan. Namun aku tidak mau memuja harapan itu. Walau patah hati sudah
biasa untukku. Walau pupus harapan sudah terlalu meninggalkan luka untukku.
Jemarimu
yang kekar cekatan membuka laptop Sisi yang rusak. Sengaja Sisi memintaku
mengantarnya padamu untuk memperbaiki layar laptopnya yang tiba-tiba gelap
total. Dan dibalik kerling Sisi, bisa kurasakan niatnya untuk mendekatkanmu
padaku. Sisi dan Maria. Mereka kompak untuk menjodohkan aku denganmu. Coba ,
kedengarannya sangat lucu bukan?
Bukankah aku yang pertama mengenalkanmu pada mereka? Secara teori aku lebih dekat denganmu
dibanding mereka bukan? Tapi aku butuh mereka untuk mendekatkan kita?
Mendekatkan kamu padaku? Aihhh. Pengecutnya aku.
Aku
jatuh cinta padamu ketika kau sedang memperbaiki komputerku yang rusak. Saat
itu entah mengapa, aku ingin sekali menatapmu lebih lama dari yang biasa
kulakukan. Dan saat menatapmu itu, ada kenikmatan menjalar di dadaku. Bahagia.
Ya bahagia. Entah kau merasakannya juga atau tidak. Yang jelas, malamnya aku
tidak bisa tidur karena memikirkanmu. Tingkah
yang seharusnya tidak kulakukan. Karena jelas, dengan hanya menatap wajahmu
saja aku menyiksa hatiku dan melupakan Tuhan.
Kebersamaan
kita terlalu lama sebagai sahabat. Aku banyak mendengar kisahmu dan
perempuan-perempuan itu. Cerita tentang keidealisan dirimu. Cerita tentang keluargamu.
Semuanya. Dan aku yakin kau pun tahu cerita
laki-laki temanmu yang membuatku patah hati. Ajaibnya, kita melewatkan
tahun-tahun bersama sebagai sahabat. Aku tahu persis kesukaanmu pada komputer, tekhnologi dan
makanan pedas. Dan kau tahu tentang kesukaanku pada musik, film dan mie ayam.
Bergantian kita saling mentraktir semangkuk mie ayam, atau baso, atau rujak
petis yang rasanya pedas dan membuat ingus kita meleleh setelah menyantapnya.
Aku
tahu kapan kau sedih. Aku tahu
kapan kau bahagia. Bahkan saat kau tidak menceritakannya padaku. Seperti saat
Ayahmu yang tiba-tiba sakit. Waktu itu kau memegang jabatan sebagai ketua
panitia acara. Dan kami butuh kau disana. Dengan sangat bertanggungjawabnya,
kau melakukan kewajiban sebagai ketua panitia. Saat itu kau disana, hadir
dan tersenyum, tapi tidak matamu. Matamu
menyorotkan kesedihan dan kebimbangan. Aku merasakannya juga. Sungguh. Dan aku
berdoa agar acara kita cepat selesai, agar kau bisa langsung menjenguk Ayahmu
di rumah sakit. Dan aku juga berdoa
agar dirimu tidak sedih terus dan cepat riang kembali. Itu bukti aku
memperhatikanmu lebih dari yang lain bukan? Lalu kapan aku tahu kau
memperhatikanku?
Saat itu aku sedih karena masalah dengan Mama
di rumah. Dan sumpah, aku tidak memberi tahu siapapun tentang hal itu, tapi kau
menghiburku dengan leluconmu yang konyol dan membuatku tertawa terbahak-bahak.
Lelucon yang membuat wajah cemberutku berubah menjadi wajah gembira. Kalau
tidak salah, saat itu aku mulai menyanyangimu sebagai teman. Karena saat itu,
yang bisa mengalihkan kesedihan dan kemarahanku dari masalah yang dibuat
keluargaku hanya kau. Bahkan ketika kau mendengar bahwa Michael putus denganku
dan menikahi Zahra,
engkau tahu betapa hancurnya hatiku. Dan kau
pun mulai mengajakku ikut dalam segala macam
kepanitiaan acara. Benar
sekali, luka yang paling dalam sekalipun akan sembuh jika kita mengalihkan
pikiran kita pada hal yang lain. Sejak
saat itu setiap perhatianmu, yang terasa biasa untukmu, terasa luar biasa
bagiku.
Kau
tahu lagu Lucky-nya Jason Meraz yang berduet bareng ama Joshua Pretty? Mungkin
saat itu perasaanku seperti lirik lagu itu. Lucky to be in love with our best
friend. Itulah yang aku rasakan. Berada di dekatmu sangat
membahagiakan. Berbicara denganmu membuat hari-hariku ceria. Aku bahkan merasa
kita lebih dekat dari orang yang sedang pacaran. Aku merasa bahagia. Tapi
apakah kau juga merasakan hal yang sama denganku?
Kau
pernah bilang bahwa kau mengidamkan perempuan dengan wajah cantik hingga kau
tidak akan pernah bosan menatapnya seharian. Kau juga ingin perempuan itu
berusia sepuluh tahun lebih muda darimu. Aku menghitung usiaku saat itu juga. Kita
hanya bertaut sekitar dua tahun. Dan kau menginginkan perempuan yang umurnya
berselang sepuluh tahun denganmu?
Aku juga merasa wajahku hanya manis
biasa, tidak cantik jelita. Maka saat itu aku mulai bertanya-tanya dalam hati.
Apakah semua yang kaukatakan itu merupakan petunjuk agar aku tidak
mengharapkanmu? Apakah keinginanmu itu adalah pengusiranku secara perlahan
dalam kehidupanmu?
Kalau iya, mengapa tidak
engkau katakan terus terang padaku?
Hatiku terlanjur menyayangimu tanpa syarat sekian lama ini. Ya, kau tidak menyuruhku menyukaimu. Tapi
tahukah kau, dirimu yang membuat aku
menyukaimu.
Lalu
lamaran itupun datang. Aku dilamar seseorang.
Seseorang itu ingin menikahiku walaupun ia tidak mencintaiku. Aku tertawan oleh
kenyataan yang diujikan Tuhan padaku. Kalau saja kau tahu betapa bimbang hati
ini memutuskan untuk menerima atau menolak lamaran itu. Tapi kau tidak tahu
bukan? Aku baru menyadari, kau hanya menganggapku sebagai seorang teman. Tidak
lebih. Karena kau bahkan tidak mau berbicara tentang pernikahan bila berada di
dekatku.
Namun,
entah mengapa, setiap kali kau menyapukan pandanganmu kearahku, tatap matamu
tertahan dua detik lebih lama daripada pandanganmu pada orang lain. Ingin aku
langsung bertanya, apa yang kau rasakan terhadapku? Sebatas temankah? Atau
pernahkah tersirat diriku sebagai pendamping hidupmu?
Dan
saat aku memberanikan diri untuk bertanya padamu, di sisi sungai itu, mengapa
sinar matamu tiba-tiba berubah menjadi ketakutan?
Duhai, pangeran impian, aku patah hati saat
itu juga. Sebelum engkau mengucapkan jawabannya, sebelum engkau memuntahkan
kata-kata setajam silet untuk merobek hatiku jadi dua. Aku patah hati lagi!
Tidak hanya itu , aku patah arang.
Detik-detik menuju pelaminan terasa
cepat bagiku. Aku tidak kuasa menghentikan degup jantung yang bertalu-talu
ingin menyuarakan kesedihan. Dulu ada engkau sebagai penghiburku, namun kini
engkaulah yang menorehkan kepedihan ini. Kalau saja saat ini kau tiba-tiba
datang dan memohon cintaku, aku bersedia
untuk melarikan diri bersamamu,
dengan gaun pengantinku yang berwarna putih bercorak emas. Aku tidak akan
memperdulikan harga diri dan martabat keluarga. Yang kuperdulikan hanya dirimu
dan cintamu. Aku tidak perduli pada materi dan harta yang tidak kau miliki. Asalkan bersamamu,
aku pasti akan bahagia. Hanya saja, kau tidak datang..
Di hari itu, akhirnya engkau datang di penghujung
hari. Saat tamu-tamu yang lain pulang dan hanya menyisakan sedikit makanan, kau
datang bersama Liana,guru TPA. Wajahmu tersenyum padaku dan pada suamiku. Namun
tidak matamu. Entahlah mungkin hanya perasaanku saja. Liana menyapaku dengan
hangat, kecup pipi kiri dan pipi kananku
“Barakalloh ya Teh,
semoga berkah,”ucap Liana dengan hangat.
“ Aamiin, semoga
Liana cepat menyusul ya,”balasku.
Liana tersenyum,
ditatapnya kedua mataku. Dia mengangguk
“Insyaallah Teh,
doakan saja.”
Diam. Engkau hanya
diam di belakang Liana. Lalu, kalian pamit pulang.
“Kami pamit pulang
dulu Teh.”
“Loh kok? Kalian
kan belum makan ?”
Liana tersenyum
penuh misteri.
“ Kami datang untuk
mendoakan Teteh. Itu yang penting Teh.”
Aku mengangguk dan
menangis dalam hati. Ya Rabb, awal pernikahanku dimulai dengan perjuangan
menghapus suka kepada seorang hambamu yang
pernah menjadi sahabatku. Dan aku akan berjuang untuk itu. Karena
disisiku kini menjulang laki-laki yang Kau takdirkan menjadi pendamping
hidupku. Laki-laki yang telah meminangku dengan tulus. Laki-laki yang bersedia
menjadi imam dan penanggung jawabku.
Di kamar, aku dan
suamiku mengerjakan sholat sunat dua rakaat. Lalu setelahnya, dia membalikkan
badannya ke arahku. Wajahnya memang tidak setampan dirimu. Tapi kilau di matanya
terlihat tajam. Matanya seakan berbicara banyak.
“ Teteh, sekarang
saya sudah menjadi suami Teteh. Saya memohon kepada Allah sifat baik Teteh dan
berlindung dari sifat jelek Teteh. Semoga Teteh bisa menerima saya apa adanya
saya. Baik itu kelebihan atau kekurangan saya. Jika memang nanti ada sikap saya
yang kurang berkenan di hati Teteh, bersabarlah, dan mohonlah pertolongan pada
Allah dengan sholat. Sesungguhnya Allah Maha Menolong orang yang selalu minta
pertolonganNya. Saya tidak tahu saya akan berjodoh dengan Teteh seperti
sekarang. Mungkin sebelum saya Teteh menyukai laki-laki lain. Dan sebelum Teteh
saya juga menyukai wanita lain. Dan banyak juga manusia di luar sana yang
menanti saya atau Teteh. Tapi ternyata, Allah telah menakdirkan kita berjodoh.
Semoga pernikahan ini menjadi rahmat dan berkah bagi kita, aaamiin.”
Lalu suamiku
meletakkan tangan kanannya di ubun-ubunku dengan lembut. Doa dari mulutnya
terdengar lirih. Tangannya bergetar. Aku mendongak dan mendapati pipi suamiku
basah oleh airmata. Aduhai, tatkala aku melihat airmata itu perasaan suka
kepadamu hilang seketika. Aku bawa tangannya ke keningku. Kucium jemarinya
dengan takzim. Aku menatap laki-laki di depanku ini. Dialah kekasih halalku.
Dialah suamiku. Dialah manusia yang dikirim Allah untukku. Aku berjanji dalam
hati aku tidak akan menyia-nyiakannya. Dan seiring doaku yang menderas,
pandangan mataku kabur oleh air mata. .(rinz)
(teruntuk temanku
yang risau menghadapi jodoh dari orangtuanya, Allah Maha Mengetahui hatimu mbak,
istikhorohlah dengan sepenuh jiwa, dan saat hatimu mantap menerima,
melangkahlah dengan tegar.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar