Selasa, 12 Maret 2013

cerpen action fiksi



Add caption

“Guh, bagaimana nih? Kita cuman 2 kilometer dari pos terdekat. Kalau mau tidak telat, kita harus berani turun.”



Hujan deras membasahi tanah dengan sekejap. Petir menyambar-nyambar dengan ganasnya di langit yang berawan  kelabu. Setiap mahluk hutan Gunung Gede, Pangrango, berteduh di rerimbunan pohon, mencoba menghangatkan diri dari serbuan rasa dingin yang menerpa mereka. 2 orang pemuda, Kenzi dan Tegu, tengah berteduh di bawah pohon dengan mengatupkan tudung jaket diatas kepala mereka. Kenzi mendekapkan kedua tangannya didepan dadanya. Rasa khawatir tergambar jelas di wajah orientalnya.
“Kamu gila apa? Tidak dengar petir menggelegar seperti itu?”ujar Teguh jengkel.
Kenzi menatap G-Shock birunya.
“Tidak ada  waktu lagi Guh, atau kamu mau kita dicoret dari MAPALA?”seru Kenzi tak sabar.
“Sabar Kenzi, sabar. Kamu mau mati tersambar petir hah?!”
“Mati atau tidak itu urusan Tuhan, Sobat,”sahut Kenzi.
Satu halilintar menyambar 10 meter diatas langit tempat mereka berteduh. Bunyi pohon terbelah terdengar dari tempat mereka. Wajah Teguh memucat. Mereka saling berpandangan.
“Kalau kita diam, kita bisa seperti itu juga Guh,”ujar Kenzi kecut.
Hujan deras membuat penglihatan kabur. Jarak penglihatan hanya sekitar 2 meter. Kenzi mengyeletingkan reslueting jaket tebal birunya. Tekad bulat tergambar di wajahnya. Kakinya melangkah dari tempet mereka berteduh.
“Ayo Guh!!”seru Kenzi.
Tiba-tiba sekelebat cahaya berpijar di depan mata Kenzi. Suara ledakan terdengar dekat sekali di telinganya. Terdengar suara orang memanggilnya. Namun, cahaya yang membutakan itu merengut kesadarannya. Hanya tercium aroma terbakar yang entah apa. Lalu, seketika alam mendadak gelap gulita.*

Jemari Kenzi yang terbalut perban perlahan bergerak. Kenzi mencoba membuka matanya yang terasa berat. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan ngilu. Seluruh tubuhnya juga terbalut kain kasa seperti mumi. Kenzi mengerang. Namun hanya geraman pelan keluar dari mulutnya. Ibunya menggeliat, mencari posisi tidur yang lebih nyaman sebelum kemudian terjaga. Dengan takjub, ditatapnya jemari Kenzi yang bergerak patah-patah. Secepat kilat Martha berlari ke tempat tidur Kenzi.“ Kenzi? Anakku, kamu siuman nak?”tanya Martha penuh harap.
Kenzi mendengar suara ibunya. Namun, dia tidak bisa melihatnya. Matanya gelap total. Tak ada secercah cahaya yang bisa memantulkan bayangan ibunya. Dirinya panik. Tangannya yang sakit digerak-gerakkanya dengan kalap. Berulangkali dia menepuk wajahnya, namun tetap saja gelap itu merajai matanya. Kenzi berteriak, namun hanya geraman tak jelas keluar dari mulutnya. Ia tidak bisa melihat! Dirinya buta! Airmatanya merebak dan merembes dari kain kasanya. Dunia seakan berakhir baginya. Dia buta. Buta!
 Martha melihat keadaan anaknya dengan perasaan hancur. Anak laki-laki yang selalu dibanggakannya kini hanya bisa menunduk tak berdaya di depannya. Anaknya yang selalu menjadi juara 1 sejak di SD dulu. Yang menjadi pelatih Tae Kwon Do di 2 Dojo yang mereka milki.. Anaknya yang calon dokter, yang 5 bulan lagi akan diwisuda. Kini yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk bahu anaknya dan turut menangis. **
Martha memapah Kenzi ke dalam kamar tidurnya. Tiga bulan  berlalu sejak Kenzi tersambar petir di Gunung Gede, Pangrango.  Kini Kenzi duduk di atas ranjangnya sendiri yang empuk. Kain kasa yang membelit tubuhnya telah dibuka sebulan yang lalu. Luka bakarnya telah mengelupas. Kulitnya yang baru mulai tumbuh hingga Kenzi merasa kulitnya gatal dan sedikit kemerahan. Luka bakar di matanya juga telah sembuh. Dokter berkata petir telah membakar kornea matanya. Kemampuan melihatnya hanyalah 10 persen. Satu-satunya jalan agar Kenzi bisa melihat kembali adalah dengan jalan operasi. Itu juga jika ada donor mata yang sesuai. Pupus sudah hasil kerja kerasnya selama 6 tahun kuliah kedokteran. Semuanya hilang  dalam sekejap gara-gara dirinya tersambar petir. Kenzi menangis diam-diam diatas bantal. Menangisi nasibnya hingga dirinya terlelap.
Sesuatu membuat matanya perih. Kenzi lalu menggosok matanya perlahan. Akhirnya Kenzi bangkit dari tempat tidurnya. Dengan meraba sekitar dan mengandalkan ingatannya, Kenzi mencari jendela. Kamarnya terasa pengap. Dia butuh udara segar. Dirabanya kunci jendela, lalu dibukanya perlahan daun jendela itu. Bermacam aroma menyerbu hidungnya. Aroma dedaunan yang tajam. Pucuk mawar yang baru mekar menguarkan aroma lembut dan manis. Aroma jerami dan rerumputan kering dari sarang burung yang terjemur matahari menusuk-nusuk pula di hidungnya. Kenzi tertegun. Ada bayangan merah kecil tergambar di matanya yang buta. Bayangan merah kecil itu menyerupai bentuk anak-anak burung. Mereka bergerak, berkeciapan. Hati Kenzi tersentak. Dia bisa melihat bayangan anak burung itu. Kenzi termangu  sesaat.
“Kenzi? Waktunya makan siang Nak,” suara Ibunya membuyarkan lamunan Kenzi.
Kenzi berbalik. Dan dibalik matanya yang buta, dia bisa melihat bayangan Ibunya memancarkan siluet merah yang sama. Ibunya memegang sesuatu seperti baki. Dari baki itu tercium bau lezat yang mengundang selera. Soto ayam Madura kesukaanya! Dengan aroma bawang goreng dan taburan seledri segar. Ada juga harum sambal ijo yg diulek kasar dan diberi kucuran minyak panas. Kenzi hampir saja meneteskan air liurnya. Ibunya bergerak kearah meja. Namun, sandal rumahnya tersangkut pada karpet Persia empuk yang dihamparkan di kamar Kenzi.
“Aaahh…”jerit Martha.
Mangkuk panas berisi soto ayam itu terlempar ke udara dan mendarat berantakan di atas kasurnya. Kuah kuningnya, telur dan bihun, menyebar cepat diatas sprei putih.
“Kenzi ? Makan siangmu…,”desah Martha menyesal.
Martha hendak bangkit dari posisinya yang aneh. Badannya setengah terjatuh, namun tangan Kenzi yang kokoh memeluk perut Ibunya sehingga Ibunya tidak jadi terjerembab ke atas tumpahan sambal ijo yang pedas luar biasa yang jatuh di karpet. Posisi Kenzi setengah berlutut di samping Ibunya, memeluk perutnya.
“Aduh jadi berantakan deh kasur kamu Kenz, Maafin Ibu yang teledor ya? Ibu tidak hati-hati tadi.”ucap Martha seraya bangkit dan membereskan kekacauan itu.
Kenzi  berdiri dengan heran. Ketika tadi menahan Ibunya, Kenzi merasakan getaran listrik lembut yang berasal dari tubuh Ibunya. Getaran listrik itu membimbing tangannya untuk menahan Ibunya dari terjatuh. Ditatapnya siluet Ibunya yang memancarkan sinar kemerahan. Kenzi tertegun. Kini ia baru menyadari jika matanya bisa melihat benda yang memiliki panas. Matanya bisa melihat seperti infra merah. Menembus gelap kebutaan matanya.   ***
Add caption

Kenzi bisa mendengar lalu lalang kendaraan. Hidungnya yang bertambah peka sejak ia kehilangan matanya, mencium bau karbon dioksida yang berasal dari knalpot kendaraan. Sebuah warung tenda yang menjual bakso, menguarkan aroma kaldu sapi. Kenzi tiba-tiba merasa mual. Semua aroma itu menyerbu hidungnya. Berbaur dan membuatnya pening. Dengan tergesa, Kenzi menutup hidungnya dengan tisu. Dengan lega ia menarik nafas. Aneka aroma itu sedikit tertahan oleh tisu. Dengan lega dia bersandar pada mobilnya yang terparkir di luar salon Les Meribles, salon langganan Ibunya.
Tiba-tiba dari kejauhan telinganya yang juga bertambah tajam, mendengar bunyi decitan ban. Ditatapnya asal bunyi itu. Kenzi bisa melihat banyak orang yang memancarkan sinar kemerahan dari tubuhnya. Tapi ada dua orang yang tengah terduduk di sebuah mobil, melaju kencang ke arahnya. Sinar kemerahan yang dipancarkan kedua orang itu berpijar. Di belakang mereka berdua ada satu sosok yang terbaring di jok belakang. Sinar kemerahan yang dipancarkannya meredup. Terdengar bunyi klakson yang memekakkan telinga dari mobil kedua orang itu. Mobil kedua orang itu berusaha menghindari sebuah truk pengangkut tabung gas 3 kilo yang keluar dari area parkiran. Sopir Innova itu membanting stir ke kiri, tepat ke halaman salon Les Mirables. Mobil itu meluncur bebas melewati halaman parkir dan menabrak tembok salon. Beberapa saat kemudian banyak wanita pengunjung salon yang berteriak ketakutan, keluar dari pintu salon.
 Kabut asap keluar dari  kap mesin mobil. Sopir mobil itu dan kedua penumpangnya, pingsan tak sadarkan diri. Kenzi yang melihat kejadian itu lewat mata infra merahnya, bergegas menghampiri. Langkahnya tegap dan tidak ragu-ragu. Dirabanya pintu mobil yang naas itu. Pijar kemerahan dari tubuh sang sopir masih memnacar kuat. Dengan perlahan ditariknya tubuh lunglai itu dari jok . Ada beberapa orang yang membantunya kini. Penumpang yang satunya lagi juga telah dikeluarkan. Kenzi mengalihkan tatapannya kea rah penumpang yang tergolek di jok belakang. Gawat. Pijar kemerahan dari tubuhnya semakin meredup. Kenzi membuka pintu geser mobil dan mulai memeriksa urat nadi di leher sosok itu. Detak jantungnya lemah dan semakin lemah. Kenzi mencoba memusatkan konsentrasinya. Namun dia tidak tahu kondisi sosok dihadapannya itu. Yang pasti, sosok itu tengah dalam keadaan koma dan perlu pertolongan segera.
“Panggil ambulan! Ada yang sekarat disini!”teriak Kenzi. Sosok itu mulai berhenti bernafas. Dadanya berhenti memompa oksigen ke dadanya. Pijar kemerahan itu tambah memudar dari tubuhnya.Kenzi menggelengkan kepalanya.
“Tidak, tidak! Kamu tidak boleh mati disini! Kamu tidak boleh!”bisik Kenzi. Dipompanya dada tubuh sosok itu. Namun sosok itu tetap belum bernafas.
“Ayo, ayo!”ucap Kenzi.
” Tuhan berikan keselamatan pada orang ini.”doanya penuh kesungguhan.
Tiba-tiba tangannya seperti kesemutan. Kenzi merasakan aliran energy listrik mengalir dari tangannya. Rasanya sakit. Namun otak Kenzi bekerja cepat. Disentuhnya dada tubuh orang itu. Dan tubuh orang itu melonjak karena kejutan energy listrik dari kedua tangannya. Kenzi menyentuh tubuh itu sekali lagi. Lalu perlahan, tubuh orang itu memancarkan pijar kemerahan yang semakin memerah. Kenzi mengulurkan tangannya hendak meraba nadi, namun tangannya sontak ditarik kembali. Dia takut listrik dari tangannya itu kembali menyengat orang itu dan malah berakibat fatal. Kenzi menoleh pada orang-orang yang berkerumun di belakangnya.
“Pak tolong dilihat, dia sudah bernafas lagi atau tidak?”ucap Kenzi seraya memundurkan tubuhnya dari mobil.
Bapak itu memeriksa nadi dan hidung tubuh orang yang tadi diambang kematian tadi.”Sudah bernafas Dik.”seru Bapak itu.
Kenzi mengangguk.”Dia harus ke rumah sakit Pak. Harus dirawat segera. “
“Baik, Dik. Hey Bobbi, kamu bawa mobil kan?Ayo kita ke rumah sakit!”
Kenzi berjalan perlahan diantara kerumunan orang-orang yang melihat kejadian itu. Tangannya di sedekapkan ke dadanya. Beberapa meter dari lahan parkir yang penuh dengan orang, Kenzi berdiri sambil menatap tangannya. Walau matanya tidak bisa melihat, namun kini kedua tangannya bisa mengalirkan energy listrik yang menyelamatkan nyawa seseorang. Kenzi menangis. Bukan karena menangisi nasibnya kali ini, tapi karena bersyukur ia masih diberi kesempatan untuk hidup dan menolong orang lain.****(rinzay)
Add caption

1 komentar: