Add caption |
“Guh,
bagaimana nih? Kita cuman 2 kilometer dari pos terdekat. Kalau mau tidak telat,
kita harus berani turun.”
Hujan
deras membasahi tanah dengan sekejap. Petir menyambar-nyambar dengan ganasnya
di langit yang berawan kelabu. Setiap
mahluk hutan Gunung Gede, Pangrango, berteduh di rerimbunan pohon, mencoba
menghangatkan diri dari serbuan rasa dingin yang menerpa mereka. 2 orang
pemuda, Kenzi dan Tegu, tengah berteduh di bawah pohon dengan mengatupkan
tudung jaket diatas kepala mereka. Kenzi mendekapkan kedua tangannya didepan
dadanya. Rasa khawatir tergambar jelas di wajah orientalnya.
“Kamu
gila apa? Tidak dengar petir menggelegar seperti itu?”ujar Teguh jengkel.
Kenzi
menatap G-Shock birunya.
“Tidak
ada waktu lagi Guh, atau kamu mau kita
dicoret dari MAPALA?”seru Kenzi tak sabar.
“Sabar
Kenzi, sabar. Kamu mau mati tersambar petir hah?!”
“Mati
atau tidak itu urusan Tuhan, Sobat,”sahut Kenzi.
Satu
halilintar menyambar 10 meter diatas langit tempat mereka berteduh. Bunyi pohon
terbelah terdengar dari tempat mereka. Wajah Teguh memucat. Mereka saling berpandangan.
“Kalau
kita diam, kita bisa seperti itu juga Guh,”ujar Kenzi kecut.
Hujan
deras membuat penglihatan kabur. Jarak penglihatan hanya sekitar 2 meter. Kenzi
mengyeletingkan reslueting jaket tebal birunya. Tekad bulat tergambar di
wajahnya. Kakinya melangkah dari tempet mereka berteduh.
“Ayo
Guh!!”seru Kenzi.
Tiba-tiba
sekelebat cahaya berpijar di depan mata Kenzi. Suara ledakan terdengar dekat
sekali di telinganya. Terdengar suara orang memanggilnya. Namun, cahaya yang
membutakan itu merengut kesadarannya. Hanya tercium aroma terbakar yang entah
apa. Lalu, seketika alam mendadak gelap gulita.*
Jemari
Kenzi yang terbalut perban perlahan bergerak. Kenzi mencoba membuka matanya
yang terasa berat. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan ngilu. Seluruh tubuhnya juga
terbalut kain kasa seperti mumi. Kenzi mengerang. Namun hanya geraman pelan
keluar dari mulutnya. Ibunya menggeliat, mencari posisi tidur yang lebih nyaman
sebelum kemudian terjaga. Dengan takjub, ditatapnya jemari Kenzi yang bergerak
patah-patah. Secepat kilat Martha berlari ke tempat tidur Kenzi. “
Kenzi? Anakku, kamu siuman nak?”tanya Martha penuh harap.
Kenzi
mendengar suara ibunya. Namun, dia tidak bisa melihatnya. Matanya gelap total.
Tak ada secercah cahaya yang bisa memantulkan bayangan ibunya. Dirinya panik.
Tangannya yang sakit digerak-gerakkanya dengan kalap. Berulangkali dia menepuk
wajahnya, namun tetap saja gelap itu merajai matanya. Kenzi berteriak, namun hanya
geraman tak jelas keluar dari mulutnya. Ia tidak bisa melihat! Dirinya buta!
Airmatanya merebak dan merembes dari kain kasanya. Dunia seakan berakhir
baginya. Dia buta. Buta!
Martha melihat keadaan anaknya dengan perasaan
hancur. Anak laki-laki yang selalu dibanggakannya kini hanya bisa menunduk tak
berdaya di depannya. Anaknya yang selalu menjadi juara 1 sejak di SD dulu. Yang
menjadi pelatih Tae Kwon Do di 2 Dojo yang mereka milki.. Anaknya yang calon
dokter, yang 5 bulan lagi akan diwisuda. Kini yang bisa ia lakukan hanyalah
memeluk bahu anaknya dan turut menangis. **
Martha
memapah Kenzi ke dalam kamar tidurnya. Tiga bulan berlalu sejak Kenzi tersambar petir di Gunung
Gede, Pangrango. Kini Kenzi duduk di
atas ranjangnya sendiri yang empuk. Kain kasa yang membelit tubuhnya telah
dibuka sebulan yang lalu. Luka bakarnya telah mengelupas. Kulitnya yang baru
mulai tumbuh hingga Kenzi merasa kulitnya gatal dan sedikit kemerahan. Luka
bakar di matanya juga telah sembuh. Dokter berkata petir telah membakar kornea
matanya. Kemampuan melihatnya hanyalah 10 persen. Satu-satunya jalan agar Kenzi
bisa melihat kembali adalah dengan jalan operasi. Itu juga jika ada donor mata
yang sesuai. Pupus sudah hasil kerja kerasnya selama 6 tahun kuliah kedokteran.
Semuanya hilang dalam sekejap gara-gara
dirinya tersambar petir. Kenzi menangis diam-diam diatas bantal. Menangisi
nasibnya hingga dirinya terlelap.
Sesuatu
membuat matanya perih. Kenzi lalu menggosok matanya perlahan. Akhirnya Kenzi
bangkit dari tempat tidurnya. Dengan meraba sekitar dan mengandalkan
ingatannya, Kenzi mencari jendela. Kamarnya terasa pengap. Dia butuh udara
segar. Dirabanya kunci jendela, lalu dibukanya perlahan daun jendela itu. Bermacam
aroma menyerbu hidungnya. Aroma dedaunan yang tajam. Pucuk mawar yang baru
mekar menguarkan aroma lembut dan manis. Aroma jerami dan rerumputan kering dari
sarang burung yang terjemur matahari menusuk-nusuk pula di hidungnya. Kenzi
tertegun. Ada bayangan merah kecil tergambar di matanya yang buta. Bayangan
merah kecil itu menyerupai bentuk anak-anak burung. Mereka bergerak, berkeciapan.
Hati Kenzi tersentak. Dia bisa melihat bayangan anak burung itu. Kenzi
termangu sesaat.
“Kenzi?
Waktunya makan siang Nak,” suara Ibunya membuyarkan lamunan Kenzi.
Kenzi
berbalik. Dan dibalik matanya yang buta, dia bisa melihat bayangan Ibunya memancarkan
siluet merah yang sama. Ibunya memegang sesuatu seperti baki. Dari baki itu
tercium bau lezat yang mengundang selera. Soto ayam Madura kesukaanya! Dengan aroma
bawang goreng dan taburan seledri segar. Ada juga harum sambal ijo yg diulek
kasar dan diberi kucuran minyak panas. Kenzi hampir saja meneteskan air
liurnya. Ibunya bergerak kearah meja. Namun, sandal rumahnya tersangkut pada
karpet Persia empuk yang dihamparkan di kamar Kenzi.
“Aaahh…”jerit
Martha.
Mangkuk
panas berisi soto ayam itu terlempar ke udara dan mendarat berantakan di atas
kasurnya. Kuah kuningnya, telur dan bihun, menyebar cepat diatas sprei putih.
“Kenzi
? Makan siangmu…,”desah Martha menyesal.
Martha
hendak bangkit dari posisinya yang aneh. Badannya setengah terjatuh, namun
tangan Kenzi yang kokoh memeluk perut Ibunya sehingga Ibunya tidak jadi
terjerembab ke atas tumpahan sambal ijo yang pedas luar biasa yang jatuh di
karpet. Posisi Kenzi setengah berlutut di samping Ibunya, memeluk perutnya.
“Aduh
jadi berantakan deh kasur kamu Kenz, Maafin Ibu yang teledor ya? Ibu tidak
hati-hati tadi.”ucap Martha seraya bangkit dan membereskan kekacauan itu.
Kenzi berdiri dengan heran. Ketika tadi menahan
Ibunya, Kenzi merasakan getaran listrik lembut yang berasal dari tubuh Ibunya.
Getaran listrik itu membimbing tangannya untuk menahan Ibunya dari terjatuh.
Ditatapnya siluet Ibunya yang memancarkan sinar kemerahan. Kenzi tertegun. Kini
ia baru menyadari jika matanya bisa melihat benda yang memiliki
panas. Matanya bisa melihat seperti infra merah. Menembus gelap kebutaan
matanya. ***Add caption |
Kenzi
bisa mendengar lalu lalang kendaraan. Hidungnya yang bertambah peka sejak ia
kehilangan matanya, mencium bau karbon dioksida yang berasal dari knalpot
kendaraan. Sebuah warung tenda yang menjual bakso, menguarkan aroma kaldu sapi.
Kenzi tiba-tiba merasa mual. Semua aroma itu menyerbu hidungnya. Berbaur dan
membuatnya pening. Dengan tergesa, Kenzi menutup hidungnya dengan tisu. Dengan
lega ia menarik nafas. Aneka aroma itu sedikit tertahan oleh tisu. Dengan lega
dia bersandar pada mobilnya yang terparkir di luar salon Les Meribles, salon
langganan Ibunya.
Tiba-tiba
dari kejauhan telinganya yang juga bertambah tajam, mendengar bunyi decitan
ban. Ditatapnya asal bunyi itu. Kenzi bisa melihat banyak orang yang
memancarkan sinar kemerahan dari tubuhnya. Tapi ada dua orang yang tengah
terduduk di sebuah mobil, melaju kencang ke arahnya. Sinar kemerahan yang
dipancarkan kedua orang itu berpijar. Di belakang mereka berdua ada satu sosok
yang terbaring di jok belakang. Sinar kemerahan yang dipancarkannya meredup.
Terdengar bunyi klakson yang memekakkan telinga dari mobil kedua orang itu.
Mobil kedua orang itu berusaha menghindari sebuah truk pengangkut tabung gas 3
kilo yang keluar dari area parkiran. Sopir Innova itu membanting stir ke kiri,
tepat ke halaman salon Les Mirables. Mobil itu meluncur bebas melewati halaman
parkir dan menabrak tembok salon. Beberapa saat kemudian banyak wanita
pengunjung salon yang berteriak ketakutan, keluar dari pintu salon.
Kabut asap keluar dari kap mesin mobil. Sopir mobil itu dan kedua
penumpangnya, pingsan tak sadarkan diri. Kenzi yang melihat kejadian itu lewat
mata infra merahnya, bergegas menghampiri. Langkahnya tegap dan tidak
ragu-ragu. Dirabanya pintu mobil yang naas itu. Pijar kemerahan dari tubuh sang
sopir masih memnacar kuat. Dengan perlahan ditariknya tubuh lunglai itu dari
jok . Ada beberapa orang yang membantunya kini. Penumpang yang satunya lagi
juga telah dikeluarkan. Kenzi mengalihkan tatapannya kea rah penumpang yang
tergolek di jok belakang. Gawat. Pijar kemerahan dari tubuhnya semakin meredup.
Kenzi membuka pintu geser mobil dan mulai memeriksa urat nadi di leher sosok
itu. Detak jantungnya lemah dan semakin lemah. Kenzi mencoba memusatkan
konsentrasinya. Namun dia tidak tahu kondisi sosok dihadapannya itu. Yang
pasti, sosok itu tengah dalam keadaan koma dan perlu pertolongan segera.
“Panggil
ambulan! Ada yang sekarat disini!”teriak Kenzi. Sosok itu mulai berhenti
bernafas. Dadanya berhenti memompa oksigen ke dadanya. Pijar kemerahan itu
tambah memudar dari tubuhnya.Kenzi menggelengkan kepalanya.
“Tidak,
tidak! Kamu tidak boleh mati disini! Kamu tidak boleh!”bisik Kenzi. Dipompanya
dada tubuh sosok itu. Namun sosok itu tetap belum bernafas.
“Ayo,
ayo!”ucap Kenzi.
” Tuhan berikan
keselamatan pada orang ini.”doanya penuh
kesungguhan.
Tiba-tiba
tangannya seperti kesemutan. Kenzi merasakan aliran energy listrik mengalir
dari tangannya. Rasanya sakit. Namun otak Kenzi bekerja cepat. Disentuhnya dada
tubuh orang itu. Dan tubuh orang itu melonjak karena kejutan energy listrik
dari kedua tangannya. Kenzi menyentuh tubuh itu sekali lagi. Lalu perlahan, tubuh
orang itu memancarkan pijar kemerahan yang semakin memerah. Kenzi mengulurkan
tangannya hendak meraba nadi, namun tangannya sontak ditarik kembali. Dia takut
listrik dari tangannya itu kembali menyengat orang itu dan malah berakibat
fatal. Kenzi menoleh pada orang-orang yang berkerumun di belakangnya.
“Pak
tolong dilihat, dia sudah bernafas lagi atau tidak?”ucap Kenzi seraya
memundurkan tubuhnya dari mobil.
Bapak
itu memeriksa nadi dan hidung tubuh orang yang tadi diambang kematian
tadi.”Sudah bernafas Dik.”seru Bapak itu.
Kenzi
mengangguk.”Dia harus ke rumah sakit Pak. Harus dirawat segera. “
“Baik,
Dik. Hey Bobbi, kamu bawa mobil kan?Ayo kita ke rumah sakit!”
Kenzi
berjalan perlahan diantara kerumunan orang-orang yang melihat kejadian itu.
Tangannya di sedekapkan ke dadanya. Beberapa meter dari lahan parkir yang penuh
dengan orang, Kenzi berdiri sambil menatap tangannya. Walau matanya tidak bisa
melihat, namun kini kedua tangannya bisa mengalirkan energy listrik yang
menyelamatkan nyawa seseorang. Kenzi menangis. Bukan karena menangisi nasibnya
kali ini, tapi karena bersyukur ia masih diberi kesempatan untuk hidup dan
menolong orang lain.****(rinzay)
Add caption |
ayo baca girls...
BalasHapus